Memperjuangkan Kedaulatan NKRI
di Laut China Selatan
Surya Wiranto ;
Staf Ahli Menko Polhukam
Bidang Kedaulatan Wilayah dan
Kemaritiman
|
MEDIA INDONESIA,
28 Juni 2016
MENANGGAPI isu hangat
soal Laut China Selatan (LCS) merupakan hal paling krusial saat ini karena
menyangkut kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di perairan dan yurisdiksi
Indonesia. Terlebih lagi, LCS memiliki potensi sumber daya alam yang sangat
besar dari berbagai macam sektor, seperti perikanan, minyak, dan gas bumi. Karena
itu, tak ayal Tiongkok yang mengklaim Laut Natuna sebagai daerah tradisional
tangkapan nelayan Tiongkok merupakan pelanggaran berat karena mereka berupaya
mengekspansi wilayah berdaulat NKRI. Traditional
fishing ground Tiongkok yang hanya berlandaskan sejarah dan artefak kuno
tidak bisa menjadi acuan dasar sebuah pengakuan wilayah yang berdaulat.
Wilayah Natuna
merupakan bagian integral dari wilayah NKRI dan negara lain tidak berhak
memasuki wilayah itu, apalagi mengeksplorasi hasil alamnya. Selain itu,
perairan yurisdiksi ZEEI yang tumpang-tindih dengan klaim 9 DL China, seluas
83.315,62 km2 atau seluas 6 kali pulau Bali yang terkooptasi oleh klaim 9DL
China, harus dipertahankan, pasalnya di perairan tersebut telah ditetapkan
melalui perjanjian landas kontinen 2 negara antara Indonesia-Malaysia dan
Indonesia-Vietnam, yang sudah menjadi hukum positif Indonesia, serta sebagai
penguatan terhadap klaim unilateral ZEEI sepanjang 200 Nm. Silang sengkarut
sengketa di LCS terus-menerus dilakukan pemecahan masalahnya oleh pemerintah,
praktisi hukum, akademisi, dan praktisi geodesi serta diplomat Indonesia
melalui berbagai forum nasional hingga internasional.
Pemerintah juga telah
menyatakan sikap tegas dalam memperjuangkan kedaulatan NKRI di Laut China
Selatan, dan menolak intimidasi, agresi, serta tindakan kekerasan yang
dilakukan kapal RRT, dan senantiasa berpedoman pada Trisakti dalam menjaga
keutuhan NKRI.
Dalam upaya pemecahan
polemik LCS tersebut, ada tiga perbedaan sudut pandang yang sangat mendasar. Para
diplomat berpandangan bahwa Indonesia dan RRT tidak ada overlapping klaim di LCS dan senantiasa mengedepankan solusi
damai, cukup bangga menjadi mediator, dan honest
peace broker dalam menyelesaikan sengketa tersebut. Perspektif ini
tiba-tiba berubah setelah Menlu Tiongkok pada 17 Juni 2016 menyatakan dengan
tegas bahwa antara RI dan RRT ada overlapping claims.
Para akademisi
berpedoman pada pakem ilmu dan aturan hukum nasional maupun internasional,
termasuk UNCLOS pada 1982 yang juga tidak mengakui adanya klaim 9 dashed
lines RRT karena tidak berdasar hukum dan tidak sesuai dengan perhitungan
klaim wilayah laut yang diperhitungkan dari daratan (pulau, karang,
dangkalan, surut terendah, dll) sesuai dengan teori land dominated the seas.
Kedua, perspektif di
atas sudah benar, tapi pada umumnya hanya melihat persoalan dari the yure dan
das sein dari dasar-dasar hukum dan dasar-dasar teori yang menjadi
pedomannya, kurang melihat kenyataan-kenyataan di lapangan bahwa telah terjadi
tindak pidana dan pelanggaran hukum yang dilakukan kapal-kapal ikan Tiongkok
yang dikawal kapal coastguard-nya, termasuk pernyataan tegas dari
pejabat-pejabat militer Tiongkok tentang adanya overlapping claim antara RI
dan RRT.
Para penegak kedaulatan
dan hukum di laut, di lain pihak, lebih melihat the facto dan das sollen
daripada kejadian-kejadian di lapangan dan praktik hukum internasional,
termasuk UNCLOS pada 1982 yang disimpangkan. Penguasaan wilayah perairan
yurisdiksi NKRI di Laut China sudah lama dilakukan RRT sejak mereka
menyatakan dengan tegas bahwa wilayah tersebut adalah wilayah teritorial
mereka yang telah didepositkan ke Sekjen PBB.
Fakta di lapangan,
sejak 2008 hingga Juni 2016, kapal PSDKP-KKP dan Kapal TNI-AL yang menangkap
kapal ikan Tiongkok di ZEEI LCS selalu dipaksa melepaskan kapal ikan tersebut
dengan cara intimidasi lewat radio komunikasi dan men-jamming radio
komunikasi kapal. Hal ini merupakan tindakan 'hostile intent' atau niat
bermusuhan. Di samping itu, tindakan membayang-bayangi, manuver memotong
haluan kapal pemeriksa, serta menubruk kapal ikan yang sedang digandeng kapal
pemeriksa, berdasarkan analisis ancaman (dalam ilmu militer), merupakan
tindakan bermusuhan hostile act dari kapal coastguard Tiongkok.
Tindakan-tindakan
semacam ini bagi aparat penegak kedaulatan dan hukum dianggap pelanggaran
berat terhadap kedaulatan dan hak berdaulat NKRI. Sebagaimana perspektif
militer, 'kenali lawan sebelum berperang' (seni berperang gaya Sun Tzu) yang
selalu menganalisis niat-niat dan tindakan-tindakan calon lawan, untuk
mempersiapkan strategi dan taktik untuk menghadapinya. Dari hasil skenario
simulasi tindakan-tindakan kapal-kapal Tiongkok tersebut diperoleh beberapa
alternatif cara bertindak yang dapat dilakukan aparat penegak kedaulatan dan
hukum di laut. Alternatif terbaik merupakan course of action atau tindakan yang akan dilakukan aparat penegak
kedaulatan dan hukum di laut.
Tindakan berupa henrikhan atau penghentian,
pemeriksaan, dan penahanan terhadap kapal yang dicurigai melakukan tindakan
pidana di laut sudah merupakan protap (prosedur tetap) yang dipedomani setiap
aparat penegak kedaulatan dan hukum di laut. Termasuk tindakan paksa dengan
menembakkan senjata juga bagian dari 'upaya paksa' yang dilakukan aparat bila
kapal yang akan diperiksa melarikan diri, melakukan tindakan-tindakan
berbahaya seperti manuver yang akan menabrakkan kapal ke kapal aparat, dan
mengunci kemudi dengan tetap lari dengan kecepatan tinggi sebagaimana sering
dilakukan kapal-kapal pencuri ikan Tiongkok.
Sebagai tindak lanjut,
diperlukan upaya dalam penguatan hukum kepemilikan wilayah RI di Utara Natuna
terhadap klaim unilateral ZEEI. Antara lain, perlu dilakukan pendepositan
peta NKRI yang dilengkapi dengan titik-titik koordinat ke UN DOALOS dan
Sekjen PBB, dan perlunya revisi UU No 5/1983 tentang ZEEI serta UU No 1/1973
tentang Landasan Kontinen sesuai dengan UNCLOS 1982, dan penambahan koordinat
titik-titik zonasi perairan NKRI. Upaya hukum ini sesuai dengan semangat Nawa
Cita yang ingin membangun NKRI dari pinggiran (kawasan perbatasan), khususnya
pembangunan infrastruktur nonfisik berupa hukum laut untuk memperkuat batas
maritim NKRI.
Instruksi Presiden
Jokowi di atas KRI Imam Bonjol-388 di perairan Natuna pada 23 Juni 2016 menjadi
semangat juang punggawa TNI-AL sebagai penegak kedaulatan dan aparat penegak
hukum lainnya dalam menjalankan tugas sebagai tulang punggung negara di
wilayah kemaritiman NKRI. Visi presiden yang serius dalam bidang kemaritiman
itu menjadi bukti bahwa Indonesia memang sudah teruji sebagai negara maritim.
Dari gambar tersebut
nampak "the facto"
overlapping claims antara 9 dashed lines RRT dengan klaim unilateral ZEEI
dan landas kontinen Indonesia di Laut China Selatan. Wilayah ZEEI yang
terkooptasi oleh klaim 9 dashed lines seluas 83.315,62 km2 atau seluas 6 kali
pulau Bali dan landas kontinen seluas 33.392,20 km2.
Dari keterangan gambar
di atas nampak bahwa penangkapan ikan yang sering dilakukan oleh nelayan RRT
selalu berada di wilayah "de facto" overlapping claims antara klaim unilateral ZEEI dengan klaim 9
dashed lines China. Hal ini menunjukkan bahwa RRT secara konsisten menjaga
wilayah teritorinya baik dengan pembuatan hukum maupun deposit ke Sekjen PBB.
Di lapangan senantiasa menjaganya dengan kapal nelayan (yang diduga para
militer/komponen pendukung China), yang dikawal oleh kapal Coast Guard nya.
Tindakan-tindakan
tersebut merupakan bagian dari upaya state
practice untuk menunjukkan kepada dunia terhadap positif occupation China terhadap penguasaan
wilayah maritim di Laut China Selatan. Kegigihan 2 kapal pengawal (Coast Guard China) terlihat dari olah
gerak kapal tersebut (warna merah), yang terus menerus mengejar KRI Imam
Bonjol-388 yang menggandeng kapal ikan tangkapan Han Tan Cou-19038 hingga
menjelang masuk ke laut teritorial Indonesia. Tindakan intimidasi lewat radio
komunikasi (hostile intent) serta
manuver berbahaya (hostile act)
juga dilakukan kapal Coast Guard kedua
(bawah) dengan memotong haluan KRI.
Sebagai anak bangsa mari sama-sama
menjaga kedaulatan dan hak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia dari
ancaman apa pun karena laut merupakan masa depan rakyat Indonesia. Jalesveva jayamahe!!! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar