Rabu, 29 Juni 2016

Andai Sekolah Ibarat Taman

Andai Sekolah Ibarat Taman

Riduan Situmorang ;   Pendidik di Medan; 
Pegiat Sastra dan Budaya di Pusat Latihan Opera Batak, Medan
                                              MEDIA INDONESIA, 27 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KITA mestinya gembira menyaksikan brosur demi brosur berjubel dari se tiap sekolah. Melalui brosur itu, kita akan dapat melihat berderet keunggulan, mulai dari akreditasi, penampakan gedung, keasrian lingkungan, guru-guru pengampu, kegiatan ekstrakurikuler, dan masih banyak lagi. Dari brosur itu, kita seolah dimanjakan melihat masa depan anak. Keanggunan brosur itu tak pelak lagi ibarat metafora masa depan anak kita.

Di sana akan disuguhkan statistika. Disuguhkan pula beragam testimoni dari siswa. Testimoni itu, kalau kata sastrawan AS Laksana, ibarat angle. Jika statistika hanya berupa angka dan hitunghitungan, angle menjadi gambaran utuh dari statistika itu.Apa yang diucap oleh mereka seolah itu yang akan menjadi pengalaman anak kita kelak. Begitulah testimoni. Namun, bagi saya, seperti bahasa Paulo Freire (teoritikus pendidikan asal Brasil), fenomena ini ialah gambaran utuh dari pendidikan kaum tertindas.

Mencari yang superior

Dikatakan demikian karena melalui itu telah nyata bagi kita bahwa sekolah hanya merawat peradaban kaum superior. Mereka yang inferior akan luput dari pemberitaan. Promosi besar-besaran dari sekolah itu pun dominan hanya diperuntukkan bagi orang kaya. Singkatnya, yang pintarlah yang diberitakan, sementara yang di luar kategori pintar akan dianggap tidak ada, dan yang kayalah sasaran pasar, sementara yang miskin biarlah melarat.Inilah kekerasan tersembunyi dalam sekolah, yakni hanya merawat peradaban mereka yang superior.

Lebih celaka lagi, banyak sekolah (favorit) sudah dengan terang-terangan mematok nilai minimum dan juga biaya minimum. Mereka mencari yang superior karena siswa harus dites. Siswa yang tak lulus tes secara otomatis akan ditolak. Di sini tampaklah bahwa sekolah tidak lagi tempat untuk membuat siswa pintar. Sekolah sudah lebih cenderung menjadi perkumpulan orang pintar di satu pihak dan perkumpulan orang `bodoh' di pihak lain.

Sekolah perkumpulan orang pintar ini nantinya akan diampu guruguru besertifikat. Mereka juga akan dijejali dengan beragam les berikut kemewahan fasilitas. Sementara itu, sekolah perkumpulan orang `bodoh' akan diampu guru seadanya dan apa adanya. Jangan tanya fasilitas karena gedung mereka ibarat kandang. Jangan tanya pula apakah mereka akan dijejali les demi les. Tragisnya, pada akhirnya kita akan mengadu mereka dengan ujian yang sama melalui UN. Sungguh tak adil.

Uniknya, hasilnya sangat mencengangkan dan mengejutkan. Betapa tidak, hampir tak ada beda nilai yang signifikan di antara keduanya. Timbul pertanyaan, apakah sekolah perkumpulan orang pintar gagal sehingga nilai UN-nya tak jauh berbeda dengan sekolah perkum pulan orang `bodoh'? Atau, apakah sekolah perkumpulan orang `bodoh' yang berhasil memangkas jarak? Secara logika, mestinya sekolah perkumpulan orang pintar harus jauh lebih tinggi. Lalu, mengapa tak jauh berbeda?

Di sinilah faktor X berkelindan. Ada perjokian dan ada pula inflasi nilai. Pemerintah memang susah mengakui ini, tetapi logika tentu tak bisa dibohongi. Nah, kondisi seperti inilah yang akan hadir pada orangtua, apakah memilih sekolah perkumpulan orang pintar atau sekolah perkumpulan orang `bodoh'. Sudah pasti, orangtua akan memilih sekolah perkumpulan orang pintar tentu dengan segudang konsekuensi. Itu hal lumrah karena kualitas butuh harga.

Mental instan

Namun, dari mana, bagaimana, dan apa indikasi yang kita gunakan untuk mengukur kualitas pendidikan? Apa kah ketika sekolah berhasil membuat siswapintar menjadi pintar, maka sekolah itu berhak disebut berkualitas? Sebaliknya, apakah ketika sekolah gagal membuat `siswa bodoh' menjadi pintar, maka sekolah itu disebut tak berkualitas?

Yang mau saya utarakan di sini ialah betapa tidak adilnya pendidikan kita. Pendidikan kita menjadi tempat berbis nis, bahkan tipe bisnisnya ialah monopoli. Pendidikan kita menjadi tempat berkecamuk dan berkecambahnya kapitalisme. Sudah tentu pada taraf ideal tak ada beda kualitas antara sekolah yang membuat siswa pintar menjadi pintar dan sekolah yang membuat siswa `bodoh' menjadi `bodoh'. Akan tetapi, kita tak lagi peduli. Sekolah persekolah pun tak peduli. Mereka bukan saling mengayomi dan bergandengan tangan. Mereka justru saling bertempur dan memerangi. Mereka bersaing satu sama lain.

Kepedulian kita itu, celakanya membuat mental kita menjadi mental instan pula. Mental ini sebelumnya tertularkan dari mental sekolah yang juga instan, yaitu hanya menerima orang pintar. Melalui mental inilah kita didoktrin bahwa anak hanya akan berhasil dari sekolah tempat perkumpulan orang pintar. Di sini, ukuran keberhasilan segalanya diserahkan pada sekolah. Bahkan, sekolah juga dilegitimasi untuk mendiagnosis dinikan kegagalan siswa. Sekolah yang tak menerima siswa, misalnya, sudah me rupakan diagnosis dini bahwa siswa itu tak akan berhasil.

Istilah yang mereka suguhkan ialah bahwa tidak semua pasien diterima rumah sakit. Ada yang diterima dengan catatan, tetapi ada pula yang ditolak mentah-mentah. Ditolak karena ditengarai bahwa pasien itu tak akan tertolong lagi. Dalam bahasa sekolah, siswa ditolak karena bagaimana pun sekolah tak akan bisa lagi menempa agar siswa itu berhasil. Siswa itu didiagnosis gagal. Bahasa sarkasmenya, `Sudahlah kau keluar saja. Sekolah ini hanya untuk siswa yang pintar. Kau tak layak karena kau bodoh. Sekolah sebagus ini bukan tempatmu. Sekolah sebagus ini bahkan tak akan bisa menempamu. Jadi, jangan cari lagi sekolah lain, ratapilah kegagalanmu!'.

Ah, andai saja sekolah itu ibarat bagaimana kita mengunjungi taman yang penuh dengan bebungaan. Di sana ada anak-anak yang ceria, ada orangtua yang mengayomi, dan lingkungannya terbuka. Semua bebas memasuki taman itu. Tak ada diskriminasi, tidak ada penolakan. Beban menjadi keceriaan, dan pekerjaan menjadi permainan. Pelajaran menjadi kebutuhan dan bukan pemaksaan. Sekolah menjadi keluarga, bukan persaingan berburu piala. Semua berbeda, tetapi harmonis. Adakah sekolah seperti ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar