Andai Sekolah Ibarat Taman
Riduan Situmorang ;
Pendidik di Medan;
Pegiat Sastra dan Budaya di Pusat
Latihan Opera Batak, Medan
|
MEDIA INDONESIA,
27 Juni 2016
KITA mestinya gembira menyaksikan brosur demi
brosur berjubel dari se tiap sekolah. Melalui brosur itu, kita akan dapat
melihat berderet keunggulan, mulai dari akreditasi, penampakan gedung,
keasrian lingkungan, guru-guru pengampu, kegiatan ekstrakurikuler, dan masih
banyak lagi. Dari brosur itu, kita seolah dimanjakan melihat masa depan anak.
Keanggunan brosur itu tak pelak lagi ibarat metafora masa depan anak kita.
Di sana akan disuguhkan statistika. Disuguhkan
pula beragam testimoni dari siswa. Testimoni itu, kalau kata sastrawan AS
Laksana, ibarat angle. Jika
statistika hanya berupa angka dan hitunghitungan, angle menjadi gambaran utuh
dari statistika itu.Apa yang diucap oleh mereka seolah itu yang akan menjadi
pengalaman anak kita kelak. Begitulah testimoni. Namun, bagi saya, seperti
bahasa Paulo Freire (teoritikus pendidikan asal Brasil), fenomena ini ialah
gambaran utuh dari pendidikan kaum tertindas.
Mencari yang superior
Dikatakan demikian karena melalui itu telah
nyata bagi kita bahwa sekolah hanya merawat peradaban kaum superior. Mereka
yang inferior akan luput dari pemberitaan. Promosi besar-besaran dari sekolah
itu pun dominan hanya diperuntukkan bagi orang kaya. Singkatnya, yang
pintarlah yang diberitakan, sementara yang di luar kategori pintar akan
dianggap tidak ada, dan yang kayalah sasaran pasar, sementara yang miskin
biarlah melarat.Inilah kekerasan tersembunyi dalam sekolah, yakni hanya
merawat peradaban mereka yang superior.
Lebih celaka lagi, banyak sekolah (favorit)
sudah dengan terang-terangan mematok nilai minimum dan juga biaya minimum.
Mereka mencari yang superior karena siswa harus dites. Siswa yang tak lulus
tes secara otomatis akan ditolak. Di sini tampaklah bahwa sekolah tidak lagi
tempat untuk membuat siswa pintar. Sekolah sudah lebih cenderung menjadi
perkumpulan orang pintar di satu pihak dan perkumpulan orang `bodoh' di pihak
lain.
Sekolah perkumpulan orang pintar ini nantinya
akan diampu guruguru besertifikat. Mereka juga akan dijejali dengan beragam
les berikut kemewahan fasilitas. Sementara itu, sekolah perkumpulan orang
`bodoh' akan diampu guru seadanya dan apa adanya. Jangan tanya fasilitas
karena gedung mereka ibarat kandang. Jangan tanya pula apakah mereka akan
dijejali les demi les. Tragisnya, pada akhirnya kita akan mengadu mereka
dengan ujian yang sama melalui UN. Sungguh tak adil.
Uniknya, hasilnya sangat mencengangkan dan
mengejutkan. Betapa tidak, hampir tak ada beda nilai yang signifikan di
antara keduanya. Timbul pertanyaan, apakah sekolah perkumpulan orang pintar
gagal sehingga nilai UN-nya tak jauh berbeda dengan sekolah perkum pulan orang
`bodoh'? Atau, apakah sekolah perkumpulan orang `bodoh' yang berhasil memangkas
jarak? Secara logika, mestinya sekolah perkumpulan orang pintar harus jauh
lebih tinggi. Lalu, mengapa tak jauh berbeda?
Di sinilah faktor X berkelindan. Ada perjokian
dan ada pula inflasi nilai. Pemerintah memang susah mengakui ini, tetapi
logika tentu tak bisa dibohongi. Nah, kondisi seperti inilah yang akan hadir
pada orangtua, apakah memilih sekolah perkumpulan orang pintar atau sekolah
perkumpulan orang `bodoh'. Sudah pasti, orangtua akan memilih sekolah
perkumpulan orang pintar tentu dengan segudang konsekuensi. Itu hal lumrah
karena kualitas butuh harga.
Mental instan
Namun, dari mana, bagaimana, dan apa indikasi
yang kita gunakan untuk mengukur kualitas pendidikan? Apa kah ketika sekolah
berhasil membuat siswapintar menjadi pintar, maka sekolah itu berhak disebut
berkualitas? Sebaliknya, apakah ketika sekolah gagal membuat `siswa bodoh'
menjadi pintar, maka sekolah itu disebut tak berkualitas?
Yang mau saya utarakan di sini ialah betapa
tidak adilnya pendidikan kita. Pendidikan kita menjadi tempat berbis nis,
bahkan tipe bisnisnya ialah monopoli. Pendidikan kita menjadi tempat
berkecamuk dan berkecambahnya kapitalisme. Sudah tentu pada taraf ideal tak
ada beda kualitas antara sekolah yang membuat siswa pintar menjadi pintar dan
sekolah yang membuat siswa `bodoh' menjadi `bodoh'. Akan tetapi, kita tak
lagi peduli. Sekolah persekolah pun tak peduli. Mereka bukan saling mengayomi
dan bergandengan tangan. Mereka justru saling bertempur dan memerangi. Mereka
bersaing satu sama lain.
Kepedulian kita itu, celakanya membuat mental
kita menjadi mental instan pula. Mental ini sebelumnya tertularkan dari
mental sekolah yang juga instan, yaitu hanya menerima orang pintar. Melalui mental
inilah kita didoktrin bahwa anak hanya akan berhasil dari sekolah tempat
perkumpulan orang pintar. Di sini, ukuran keberhasilan segalanya diserahkan
pada sekolah. Bahkan, sekolah juga dilegitimasi untuk mendiagnosis dinikan
kegagalan siswa. Sekolah yang tak menerima siswa, misalnya, sudah me rupakan
diagnosis dini bahwa siswa itu tak akan berhasil.
Istilah yang mereka suguhkan ialah bahwa tidak
semua pasien diterima rumah sakit. Ada yang diterima dengan catatan, tetapi
ada pula yang ditolak mentah-mentah. Ditolak karena ditengarai bahwa pasien
itu tak akan tertolong lagi. Dalam bahasa sekolah, siswa ditolak karena
bagaimana pun sekolah tak akan bisa lagi menempa agar siswa itu berhasil.
Siswa itu didiagnosis gagal. Bahasa sarkasmenya, `Sudahlah kau keluar saja. Sekolah ini hanya untuk siswa yang pintar.
Kau tak layak karena kau bodoh. Sekolah sebagus ini bukan tempatmu. Sekolah
sebagus ini bahkan tak akan bisa menempamu. Jadi, jangan cari lagi sekolah
lain, ratapilah kegagalanmu!'.
Ah, andai saja sekolah itu ibarat bagaimana
kita mengunjungi taman yang penuh dengan bebungaan. Di sana ada anak-anak
yang ceria, ada orangtua yang mengayomi, dan lingkungannya terbuka. Semua
bebas memasuki taman itu. Tak ada diskriminasi, tidak ada penolakan. Beban
menjadi keceriaan, dan pekerjaan menjadi permainan. Pelajaran menjadi
kebutuhan dan bukan pemaksaan. Sekolah menjadi keluarga, bukan persaingan
berburu piala. Semua berbeda, tetapi harmonis. Adakah sekolah seperti ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar