Minggu, 26 Juni 2016

Razia Warung Makan di Bulan Ramadan

Razia Warung Makan di Bulan Ramadan

Abdul Mu'ti ;   Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
                                                   KORAN SINDO, 16 Juni 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada pekan ini media massa memberitakan razia warung makan yang buka di siang hari selama Ramadan. Reaksi masyarakat begitu keras terutama setelah seorang pedagang kecil dirampas dagangannya oleh Satpol PP.

Dalam tempo singkat netizen mengumpulkan dana solidaritas yang jumlahnya mencapai ratusan juta rupiah. Sebuah gambaran betapa kuatnya media sosial sebagai pressure group. Permasalahan terus menggelinding ketika menteri agama, menteri dalam negeri, dan pimpinan ormas Islam menyampaikan pandangannya.

Mayoritas pendapat menyalahkan dan mempermasalahkan razia warung makan. Menteri dalam negeri bahkan menggunakan otoritasnya mencabut perda ”diskriminatif” yang dianggap sebagai akar masalah intoleransi.

Telaah Komprehensif

Permasalahan razia warung dapat dilihat dari tiga perspektif. Dalam perspektif Islam, puasa Ramadan adalah rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh muslim. Walau merupakan kewajiban, muslim yang sedang sakit, bepergian, dan lemah fisiknya mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa. Tidak ada sanksi hukum bagi mereka yang tidak berpuasa.

Sebagai kewajiban individual tidak ada paksaan untuk berpuasa. Puasa adalah panggilan untuk kaum beriman yang dewasa dan kuat. Ketaatan menjalankan sangat ditentukan oleh kualitas iman individu. Meninggalkan kewajiban merupakan pembangkangan kepada Tuhan. Merazia warung tampaknya tidak memiliki dasar fikih yang kuat.

Mereka yang diberikan keringanan untuk tidak berpuasa karena kondisinya memerlukan pelayanan publik. Keberadaan warung makan diperlukan sebagai unit pelayanan publik dan ekonomi masyarakat. Walau demikian, dalam perspektif sosial bangsa Indonesia memiliki tradisi toleransi dan saling menghormati. Mereka yang tidak berpuasa karena agamanya dan kondisinya seharusnya menghormati mereka yang berpuasa.

Bangsa Indonesia memiliki budaya tepa selira, tenggang rasa, dan gotong-royong yang kuat. Membuka warung secara bebas pada Ramadan tidak sesuai dengan budaya bangsa, melukai perasaan mereka yang berpuasa dan arogansi sekularisme. Sebaliknya, melarang masyarakat membuka warung juga bertentangan dengan hak memilih dan mendapatkan pekerjaan.

Melarang berjualan tanpa alternatif lain akan menimbulkan masalah kesejahteraan. Jalan keluarnya adalah membuka secara terbatas baik secara waktu maupun pelayanan. Secara politik, razia warung sebagai ekses otonomi daerah. Sejak pemberlakuan otonomi daerah berkembang kecenderungan untuk menghidupkan kembali dan membangun tradisi dan identitas lokal.

Penerbitan ”Perda Syariah” dimaksudkan sebagai kebijakan untuk membangun keberagamaan sebagai identitas daerah. Perda keagamaan tidak hanya terkait agama Islam, tetapi juga agama lain. Beberapa daerah di Papua mendeklarasikan diri sebagai daerah Injil dan Bali sebagai provinsi Hindu. Perda keagamaan adalah manifestasi politik identitas dan kebangkitan primordialisme rasial dan agama.

Realitas politik ini harus dilihat secara seksama dan arif-bijaksana sehingga tidak menimbulkan opini negatif terhadap muslim sebagai kelompok intoleran. Sebutan ”Perda Diskriminatif” dapat mendiskreditkan umat Islam sebagai kelompok yang diskriminatif. Gejala intoleransi berkembang dalam hampir semua agama besar Indonesia.

Alternatif Solusi

Membatalkan perda keagamaan secara sepihak oleh menteri dalam negeri bukanlah solusi yang efektif, bahkan berpotensi menimbulkan masalah baru. Pemerintah Kota Padang misalnya menyatakan tetap akan mempertahankan Perda Ramadan dan melarang warung dibuka pada siang hari.

Alasannya untuk membangun masyarakat yang bertakwa. Pembatalan ”Perda Diskriminatif” bisa dimaknai sebagai kemenangan kelompok sekuler atas kelompok religius. Secara politik dan hukum pemerintah perlu menerbitkan pedoman yang memandu batas-batas kewenangan pemerintah daerah.

Alternatif lain adalah pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri, melakukan uji materi rancangan perda sebelum diterbitkan. Selain untuk menghindari terbit perda yang bertentangan dengan undang- undang, juga untuk menjaga persatuan bangsa dan membina ketertiban umum. Secara politik langkah ini lebih konstitusional dan mengurangi kegaduhan.

Diperlukan dialog dan pendidikan toleransi yang positif. Selama ini ruang dialog yang dilaksanakan secara tulus dan alamiah terasa masih kurang. Yang terjadi hanyalah dialog seremonial dan superfisial. Masyarakat hidup dalam toleransi semu. Hal ini terjadi karena masih ada sekat-sekat sosial karena kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama dan kegamangan dalam menyikapi perbedaan agama.

Persoalan pengamalan agama terlalu menekankan sisi akidah dan ibadah-ritualnya sehingga kurang menyentuh aspek sosial dan politik. Pengamalan agama dalam masyarakat majemuk sangat terkait dengan konteks sosial, hukum, dan politik. Alternatif ini memungkinkan tumbuh dan berkembangnya ketaatan beragama dan kesadaran kebangsaan.

Sungguh melelahkan jika setiap Ramadan kita terlibat dalam ritual perdebatan tentang pelayanan warung makan pada Ramadan. Saatnya kita berpikir komprehensif dan melangkah dengan arif. Banyak agenda kebangsaan yang lebih strategis dan urgen untuk diselesaikan selain masalah warung makan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar