Razia Warung Makan di Bulan Ramadan
Abdul Mu'ti ;
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta
|
KORAN SINDO, 16 Juni
2016
Pada pekan ini media
massa memberitakan razia warung makan yang buka di siang hari selama Ramadan.
Reaksi masyarakat begitu keras terutama setelah seorang pedagang kecil
dirampas dagangannya oleh Satpol PP.
Dalam tempo singkat
netizen mengumpulkan dana solidaritas yang jumlahnya mencapai ratusan juta
rupiah. Sebuah gambaran betapa kuatnya media sosial sebagai pressure group.
Permasalahan terus menggelinding ketika menteri agama, menteri dalam negeri,
dan pimpinan ormas Islam menyampaikan pandangannya.
Mayoritas pendapat
menyalahkan dan mempermasalahkan razia warung makan. Menteri dalam negeri
bahkan menggunakan otoritasnya mencabut perda ”diskriminatif” yang dianggap
sebagai akar masalah intoleransi.
Telaah Komprehensif
Permasalahan razia
warung dapat dilihat dari tiga perspektif. Dalam perspektif Islam, puasa
Ramadan adalah rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh muslim. Walau merupakan
kewajiban, muslim yang sedang sakit, bepergian, dan lemah fisiknya
mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa. Tidak ada sanksi hukum bagi
mereka yang tidak berpuasa.
Sebagai kewajiban
individual tidak ada paksaan untuk berpuasa. Puasa adalah panggilan untuk
kaum beriman yang dewasa dan kuat. Ketaatan menjalankan sangat ditentukan
oleh kualitas iman individu. Meninggalkan kewajiban merupakan pembangkangan
kepada Tuhan. Merazia warung tampaknya tidak memiliki dasar fikih yang kuat.
Mereka yang diberikan
keringanan untuk tidak berpuasa karena kondisinya memerlukan pelayanan
publik. Keberadaan warung makan diperlukan sebagai unit pelayanan publik dan
ekonomi masyarakat. Walau demikian, dalam perspektif sosial bangsa Indonesia
memiliki tradisi toleransi dan saling menghormati. Mereka yang tidak berpuasa
karena agamanya dan kondisinya seharusnya menghormati mereka yang berpuasa.
Bangsa Indonesia
memiliki budaya tepa selira, tenggang rasa, dan gotong-royong yang kuat.
Membuka warung secara bebas pada Ramadan tidak sesuai dengan budaya bangsa,
melukai perasaan mereka yang berpuasa dan arogansi sekularisme. Sebaliknya,
melarang masyarakat membuka warung juga bertentangan dengan hak memilih dan
mendapatkan pekerjaan.
Melarang berjualan
tanpa alternatif lain akan menimbulkan masalah kesejahteraan. Jalan keluarnya
adalah membuka secara terbatas baik secara waktu maupun pelayanan. Secara
politik, razia warung sebagai ekses otonomi daerah. Sejak pemberlakuan
otonomi daerah berkembang kecenderungan untuk menghidupkan kembali dan
membangun tradisi dan identitas lokal.
Penerbitan ”Perda
Syariah” dimaksudkan sebagai kebijakan untuk membangun keberagamaan sebagai
identitas daerah. Perda keagamaan tidak hanya terkait agama Islam, tetapi
juga agama lain. Beberapa daerah di Papua mendeklarasikan diri sebagai daerah
Injil dan Bali sebagai provinsi Hindu. Perda keagamaan adalah manifestasi
politik identitas dan kebangkitan primordialisme rasial dan agama.
Realitas politik ini
harus dilihat secara seksama dan arif-bijaksana sehingga tidak menimbulkan
opini negatif terhadap muslim sebagai kelompok intoleran. Sebutan ”Perda
Diskriminatif” dapat mendiskreditkan umat Islam sebagai kelompok yang
diskriminatif. Gejala intoleransi berkembang dalam hampir semua agama besar
Indonesia.
Alternatif Solusi
Membatalkan perda
keagamaan secara sepihak oleh menteri dalam negeri bukanlah solusi yang
efektif, bahkan berpotensi menimbulkan masalah baru. Pemerintah Kota Padang
misalnya menyatakan tetap akan mempertahankan Perda Ramadan dan melarang
warung dibuka pada siang hari.
Alasannya untuk
membangun masyarakat yang bertakwa. Pembatalan ”Perda Diskriminatif” bisa
dimaknai sebagai kemenangan kelompok sekuler atas kelompok religius. Secara
politik dan hukum pemerintah perlu menerbitkan pedoman yang memandu
batas-batas kewenangan pemerintah daerah.
Alternatif lain adalah
pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri, melakukan uji materi
rancangan perda sebelum diterbitkan. Selain untuk menghindari terbit perda
yang bertentangan dengan undang- undang, juga untuk menjaga persatuan bangsa
dan membina ketertiban umum. Secara politik langkah ini lebih konstitusional
dan mengurangi kegaduhan.
Diperlukan dialog dan
pendidikan toleransi yang positif. Selama ini ruang dialog yang dilaksanakan
secara tulus dan alamiah terasa masih kurang. Yang terjadi hanyalah dialog
seremonial dan superfisial. Masyarakat hidup dalam toleransi semu. Hal ini
terjadi karena masih ada sekat-sekat sosial karena kurangnya pemahaman
terhadap ajaran agama dan kegamangan dalam menyikapi perbedaan agama.
Persoalan pengamalan
agama terlalu menekankan sisi akidah dan ibadah-ritualnya sehingga kurang
menyentuh aspek sosial dan politik. Pengamalan agama dalam masyarakat majemuk
sangat terkait dengan konteks sosial, hukum, dan politik. Alternatif ini
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya ketaatan beragama dan kesadaran
kebangsaan.
Sungguh melelahkan
jika setiap Ramadan kita terlibat dalam ritual perdebatan tentang pelayanan
warung makan pada Ramadan. Saatnya kita berpikir komprehensif dan melangkah
dengan arif. Banyak agenda kebangsaan yang lebih strategis dan urgen untuk
diselesaikan selain masalah warung makan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar