Governansi Ekonomi,
Bukan Sekadar Perpendek Rantai
Bustanul Arifin ;
Guru Besar UNILA dan Ekonom
Senior INDEF
|
KORAN SINDO, 14 Juni
2016
Memasuki minggu kedua
Ramadan, target pemerintah untuk memperpendek rantai nilai produk pangan
strategis masih belum terlihat mencapai kemajuan yang berarti. Langkah
operasi pasar di yang dilakukan Bulog, PD Pasar Jaya dan beberapa pemerintah
daerah (pemda) di seluruh Indonesia tidak serta-merta menurunkan harga
keseimbangan produk pangan di pasar. Rencana pemerintah untuk menurunkan
harga eceran daging sapi segar sampai Rp80.000 per kilogram belum tercapai
secara mulus.
Harga eceran rata-rata
daging sapi di pasar-pasar tradisional di seluruh Indonesia sampai dengan
Sabtu 10 Juni 2016 masih Rp115.000 atau belum turun secara signifikan. Harga
daging ayam masih Rp32.500, harga gula pasir bahkan merangkak naik menjadi
Rp15.720, harga cabe merah Rp33.600 dan harga bawang merah hanya turun
sedikit menjadi Rp38.160 per kilogram.
Operasi pasar yang
dilakukan pemerintah, pemda, badan usaha milik negara (BUMN), dan badan usaha
milik daerah (BUMD) baru mencapai segmentasi pasar saja. Harga eceran produk
pangan strategis pada tenda-tenda operasi pasar terlihat jauh lebih rendah
dari harga pasar. Misalnya harga daging sapi dijual pada rentang
Rp85.000-90.000 tergantung jenisnya, harga gula pasir dijual Rp14.000.
Harga cabai merah
Rp20.000 dan harga bawang merah Rp25.000 per kilogram. Para pembeli dengan
enteng berbelanja pada tenda-tenda operasi pasar, walau harus mengantre.
Sementara sebagian lain tetap berbelanja di kioskios di dalam los pasar
tradisional dan pasar modern, walaupun dengan harga pasar yang masih mahal.
Segmentasi pasar produk pangan yang tercipta karena operasi pasar tersebut
tidak banyak mengganggu psikologi penjual dan pembeli. Transaksi jual-beli di
pasar masih berlangsung lancar, tidak terdapat gangguan yang berarti.
Sistem perdagangan
produk pangan pokok dan strategis serta segenap sistem rantai nilai atau
rantai pasok yang terbangun bertahun-tahun tampak tidak akan mampu diubah
begitu saja dengan langkah jangka pendek atau terobosan sekalipun.
Memperpendek rantai hanya dengan melakukan operasi pasar atau menugaskan BUMN
dan BUMD dalam sistem rantai nilai produk pangan belum tentu akan memperbaiki
stabilisasi harga pangan dalam waktu singkat.
Pemerintah dan segenap
pengampu kepentingan masih memiliki pekerjaan rumah yang tidak ringan, yaitu
membenahi governansi ekonomi (economic
governace) dari rantai nilai tersebut, sebagaimana yang akan diuraikan
pada artikel ini. Pembenahan di sektor hulu usaha tani melalui perbaikan
sistem produksi dan peningkatan produktivitas masih amat dibutuhkan.
Apabila sistem
produksi di hulu masih menderita efisiensi yang akut, penggunaan teknologi
produksi yang ketinggalan zaman, serta sistem usaha tani tradisional yang
terlalu banyak menggunakan input yang tidak efisien, maka suatu sistem rantai
nilai produk pangan dipastikan juga tidak akan efisien.
Demikian pula sistem
perdagangan yang terlalu tertutup dan dikuasai para pelaku ekonomi beberapa
gelintir saja, tapi dengan posisi yang amat dominan, tentu amat sulit untuk
membangun suatu rantai nilai efisien, yang memberikan kenyamanan atau balas
jasa yang fair bagi petani produsen dan konsumen.
Apabila pelaku
perdagangan produk pangan terkesan menghalang- halangi pelaku ekonomi baru
yang akan masuk ke dalam sistem rantai nilai, entrybarriers seperti itu pasti
akan memperlambat upaya-upaya stabilisasi harga pangan, seperti yang menjadi
tugas pemerintah.
Governansi ekonomi
yang dimaksudkan di sini adalah suatu sistem nilai atau tata kelola yang
menjunjung tinggi keterbukaan dan keadilan. Governansi ekonomi dapat tercipta
melalui pelayanan sistem informasi yang terbuka dan kredibel, data volume
produksi, penjualan, dan konsumsi yang dapat dipercaya para pelaku, data
harga produk dan kualitasnya yang tidak menipu sehingga dapat dijadikan
referensi para pelaku dan perumus kebijakan.
Sistem rantai nilai
produk pangan yang memiliki governansi yang baik tidak harus melibatkan
aparat militer dan tentara yang ditugaskan di desa-desa untuk sekadar
memastikan target-target pembelian produksi pangan yang dihasilkan petani.
Benar, bahwa rantai nilai produk pangan yang melibatkan impor memiliki
dimensi permasalahan yang tidak sederhana, bahkan multidimensi, mulai
ekonomi, politik, dan sosialkultural .
Suatu sistem rantai
nilai yang tidak dilandasi oleh modal sosial atau tingkat kepercayaan (trust) yang tinggi antarpelaku, maka
sistem tersebut dapat mengarah pada suatu distorsi yang pasti akan menghambat
stabilisasi pangan. Dan bahkan lebih berbaya bagi sistem perekonomian
dibandingkan dengan sinyalemen mafia atau kartel pangan, sebagaimana sering
disampaikan para pejabat.
Contoh terbaru tentang
potensi persoalan governansi ekonomi pada sistem rantai nilai produk pangan
adalah tentang impor sapi bakalan pada 2016 ini yang mencapai 600.000 ton,
setara daging dan tambahan impor daging beku secondary cut sebanyak 10.000 ton lagi. Rencana impor sapi pada
kuartal kedua Mei- Agustus 2016 sebesar 250.000 ton setara daging belum
sepenuhnya dapat direalisasikan, karena proses pengapalan sapi dari Australia
perlu waktu yang tidak sebentar.
Solusi jangka pendek
yang ditempuh pemerintah adalah membuat prioritas tambahan impor daging beku,
khusus untuk mengantisipasi permintaan pada Ramadan dan Idul Fitri.
Setidaknya, di sini terdapat dua potensi masalah baru dalam governansi
ekonomi yang saling berkaitan.
Pertama, stakeholders
atau pelaku lama importir daging sapi merasa diperlakukan tidak adil karena
pemerintah tibatiba menunjuk 10 perusahaan baru untuk melakukan impor daging secondary cut tersebut. Importir
daging yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Importir Daging Sapi (Apsidi)
yang konon telah memiliki jaringan distribusi dan rantai pendingin,
sebagaimana disyaratkan, justru tidak dilibatkan dalam impor daging beku
tersebut. Apakah langkah pemerintah tersebut memang dimaksudkan untuk
menghilangkan entry barriers dalam sistem rantai nilai pangan? Waktu jualah
yang akan menjawabnya.
Kedua, konsumen daging
sapi dan kebanyakan masyarakat Indonesia tidak terlalu terbiasa melakukan
konsumsi langsung daging beku, sehingga daging impor secondary cut tersebut belum tentu laku keras di pasaran.
Maksudnya, daging beku asal impor tersebut tidak cukup mudah untuk mampu
menembus jaringan pengecer daging di pasar tradisional, yang umumnya telah
terafiliasi dengan jaringan pedagang daging yang lama.
Apakah hal ini ada
hubungannya dengan tindakan negara melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) yang telah menghukum denda beberapa industri penggemukan sapi (feedloter) atas tuduhan persaingan
usaha tidak sehat, sehingga terdapat perlawanan (retaliasi) dari pelaku
ekonomi tersebut, waktu jualah yang akan menjawabnya Contoh potensi masalah
baru governansi ekonomi dalam rantai nilai daging sapi seperti inilah yang
perlu secara integratif dipertimbangkan dalam upaya stabilisasi harga pangan
pokok dan strategis.
Upaya memperpendek
rantai nilai daging sapi dengan membawa sapi secara langsung dari peternak di
Nusa Tenggara Timur (NTT), wajib disertai langkah-langkah perbaikan
governansi rantai nilai. Langkah yang ditempuh dengan menekan harga beli sapi
di tingkat peternak sampai Rp33.000 per kilogram berat sapi hidup, demi untuk
menekan harga eceran daging sapi sampai Rp80.000 tentu tidaklah bijak.
Maksudnya, langkah
untuk menyenangkan konsumen perkotaan dengan cara mengorbankan kesejahteraan
peternak sapi di daerah pedesaan, tentu bukan contoh governansi ekonomi yang
baik. Tugas utama pemerintah untuk memperbaiki infrastruktur pedesaan,
jaringan distribusi, dan fasilitas perdagangan, serta perbaikan birokrasi
perizinan dan pemihakan kebijakan lain yang lebih kondusif jauh akan mampu
memperbaiki governansi ekonomi rantai nilai yang lebih.
Persoalan inefisiensi
rantai nilai produk pangan yang bersifat struktural pasti mensyaratkan solusi
kebijakan yang lebih struktural juga. Langkah pintas untuk memperpendek
rantai, pasar murah, operasi pasar, dan lain-lain adalah syarat cukup (necessary condition), tapi perbaikan
governansi ekonomi berupa kemudahan perizinan, perlakuan adil dan terbuka
kepada segenap stakeholders, plus
pembenahan infrastruktur, sistem informasi dan lain-lain adalah syarat
lengkap (sufficient condition)
stabilisasi harga pangan yang lebih berjangka panjang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar