Pergeseran Pola Komunikasi Politik Indonesia
Suko Widodo ;
Dosen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA POS, 28 Juni
2016
PEMILU 2019 di Indonesia akan ditentukan oleh
mereka yang tiga tahun dari sekarang berusia di bawah 40 tahun. Dalam
perspektif teori generasi, para pemilih itu merupakan kelompok generasi
milenium atau diebut generasi Y (terlahir antara 1981-1994) dan kelompok
generasi net atau disebut generasi Z (terlahir 1995-2010).
Meski dua kelompok generasi tersebut memiliki
perbedaaan, dalam kontes era informasi keduanya punya karakter sama: melek
teknologi informasi. Dua kelompok generasi itu memiliki perbedaan secara
signifikan dalam pola komunikasinya jika dibandingkan dengan generasi baby boomer (1946-1964) dan generasi X
(1965-1980) yang selama ini menjadi penguasa partai politik.
Pengamat politik dari Center for Strategic and
International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte (2015) pernah menyatakan,
partai-partai yang tidak melakukan regenerasi akan tergilas pada Pemilu 2019.
Sebab, tokoh yang kini menguasai partai-partai tersebut sudah tidak laku lagi
tiga tahun yang akan datang.
Pembaruan menjadi kunci utama dalam manajemen
komunikasi politik. Logikanya sederhana, jika parpol sebagai produsen pesan
politik tidak bisa mendesain pesan dalam kerangka berpikir publik, tidak akan
terjadi pelibatan publik.
Padahal, tindakan memilih sangat ditentukan
oleh proses-proses komunikasi politik yang memerlukan waktu. Seperti tahapan
waktu untuk membuat tertarik, pengembangan minat, dan pengelolaan massa.
Beda Penguasa, Beda
Pemilih
Dalam tradisi praktik politik di Indonesia,
ada sebuah konsep yang disebut tim atau regu penggerak pemilih (guraklih).
Konsep itu menjelaskan adanya praktik pendampingan dan pengawasan langsung
terhadap warga pemilih oleh sebuah kelompok partisipan parpol. Pola tersebut
mungkin bisa diterapkan pada masa silam. Atau pada kelompok di atas 40 tahun
yang masuk kategori generasi baby boomer dan generasi X. Tapi, sangat sulit
diterapkan untuk kelompok generasi milenium dan generasi net yang jumlahnya
mayoritas pada masa mendatang.
Kelompok yang saya sebut mayoritas itu
cenderung memiliki cara tersendiri dalam memproses informasi bagi dirinya.
Ditunjang dengan beragamnya medium informasi, mereka yang mayoritas lebih
"mengandalkan" sumber informasi nonkonvensional.
Bahkan, generasi net juga mengabaikan media
massa. Mereka lebih memanfaatkan dan akrab dengan gadget yang menyediakan
aneka sarana komunikasi. Gadget memberikan kemudahan bagi mereka dalam
mengakses sekaligus mengekspresikan pikiran dan perasaan.
Dalam konstelasi di mana penguasa parpol masih
cenderung berpola komunikasi tradisional dan konvensional, sementara
mayoritas pemilih berpola komunikasi modern, peluang miskomunikasi otomatis akan
besar.
Kehadiran teknologi informasi yang kini
mendominasi sarana komunikasi kaum muda ke depan akan menggeser ruang
komunikasi politik. Seperti pertemuan umum dan media massa. Demikian pula,
kalangan tua sudah banyak melakukan "migrasi" pola komunikasi
dengan memanfaatkan sarana teknologi informasi.
Karena itu, jika parpol masih tetap berkutat
dalam pola komunikasi tradisional dan konvensionalnya, sangat mungkin akan
gagal dalam mengedukasi, memengaruhi, sekaligus menggerakkan warga pemilih.
Kaum pemilih mayoritas bakal sulit mengasosiasikan diri dengan para tokoh tua
yang kini bercokol di partai politik.
Konsekuensi Strategi
Komunikasi Politik
Knowing your audience! Ketahuilah audiens
(sasaran komunikasi). Itu pesan klasik dalam komunikasi politik yang
sekiranya tetap bisa dijadikan kunci menyusun strategi komunikasi politik
pada masa depan.
Pola komunikasi mayoritas pemilih yang
berkarakter beda dengan masa pemilu sebelumnya selayaknya dipahami betul oleh
parpol. Parpol harus paham apa yang menjadi wacana publik, medium yang
dipakai, dan bagaimana menarik publik untuk terlibat dalam pusaran pesan
komunikasi politiknya.
Generasi mayoritas pemilih adalah generasi
melek internet yang telah menjadikan media sosial sebagai ruang komunikasi
publiknya. Sampai saat ini, sudah ada 88,1 juta pengguna internet aktif di
Indonesia (2015).
Jumlah itu pun diperkirakan dapat terus
bertambah. Fenomena tersebut juga berimplikasi pada penurunan rata-rata waktu
masyarakat dalam menonton televisi. Itulah alasan saya menyebut bahwa media
semasif televisi pun mulai dianggap sebagai media konvensional.
Parpol secepatnya harus mendesain strategi
komunikasi politik berbasis kondisi riil penggunaan media (using medium) kaum
pemilih mayoritas. Menurut laman We Are
Social (Februari 2016), ada tiga fenomena utama di kalangan mayoritas
kaum muda Indonesia. Yaitu, jumlah pengguna internet Indonesia terus naik,
mereka lebih sering mengakses internet dan aktif dalam media sosial.
Pergeseran pola komunikasi mayoritas penduduk
(baca: pemilih) pada media sosial adalah keniscayaan yang tidak bisa
dihentikan. Peristiwa relatif sama ketika berlangsung pegeseran model
komunikasi politik di Indonesia dari pertemuan publik (massa) di media massa
(televisi) pada 2004.
Hadirnya medium baru selayaknya menjadi
pertimbangan utama bagi pendesain komunikasi politik untuk meraih kemenangan
dalam pemilihan. Ke depan, kaum pemilih mungkin mengabaikan praktik
komunikasi lama seperti baliho, selebaran, dan sejenisnya. Media sosial yang
kini terus berkembang menjadi bagian penting dalam proses komunikasi politik.
Yang tidak kalah penting, karakter kaum
netizen yang menghendaki keegaliteran, transparan, dan aktif-ekspresif harus
pula menjadi pertimbangan penting dalam mendesain praktik komunikasi politik.
Lebih dari sekadar sarana pemenangan, media
sosial juga akan menjadi sarana mendegradasi eksistensi parpol dan tokohnya.
Akhirnya, riset-riset komunikasi politik akan menjadi kunci dasar dari sebuah
strategi pemenangan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar