Muhammadiyah, Harmonisasi Pikir dan Zikir
Saifullah Yusuf ;
Wakil Gubernur Jawa Timur dan
Ketua PB NU
|
JAWA POS, 27 Juni
2016
HAMPIR setiap tahun saya mendapat kesempatan
bertemu dengan para pengurus Muhammadiyah. Setiap bulan puasa, para pimpinan
persyarikatan se-Jawa Timur itu berkumpul di Universitas Muhammadiyah Malang
dalam sebuah forum kajian. Kajian itu selalu dihadiri para tokoh dari
pimpinan pusat.
Kehadiran saya setiap tahun sejak tujuh tahun
itu melengkapi pergaulan saya dengan sejumlah tokoh ormas Islam yang
didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut. Lantas, apa kesimpulan dari hasil
pergaulan panjang dengan organisasi yang berdiri jauh hari sebelum
kemerdekaan RI itu?
Sulit membayangkan Indonesia tanpa
Persyarikatan Muhammadiyah. Persyarikatan itu ikut menyemaikan bibit
pergerakan nasional yang kemudian melahirkan kemerdekaan.
Tak hanya sampai di situ. Sebagai persyarikatan
modern, Muhammadiyah berada di garis depan dan berada di tengah pusat pusaran
pembangunan Indonesia merdeka sebagai bangsa yang modern, beradab, dan
bermartabat.
Hingga kini Muhammadiyah melanjutkan peran
yang luar biasa dalam ikut membentuk Indonesia yang kita cita-citakan dan
Jawa Timur yang kita dambakan. Jika kita rumuskan secara sederhana,
kontribusi terpokok Muhammadiyah bagi Indonesia dan Jawa Timur adalah
menyiapkan generasi yang diistilahkan dalam Alquran sebagai ulil albab, yakni
orang-orang yang tercerahkan.
Secara sederhana, Alquran mendefinisikan ulil
albab sebagai mereka yang bisa menjumpai dan belajar dari ayat-ayat Allah.
Bukan hanya yang tersurat atau tekstual. Tetapi, juga yang tersurat melalui
fenomena penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam (QS Ali
Imran (3):190).
Lebih lanjut, Alquran memerinci ciri-cirinya
sebagai berikut: "Yaitu, orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi..." (QS Ali Imran (3):191).
Sejak awal berdiri Persyarikatan Muhammadiyah
bukanlah sekadar "organisasi" (organization), melainkan sebuah
"gerakan" (movement). Kesimpulan tersebut bahkan diperkuat melalui
hasil riset salah seorang peletak dasar ilmu politik di Indonesia, yakni alm
Dr Alfian, melalui disertasinya.
Muhammadiyah melakukannya lewat aktivitas
pendidikan dan pengajaran, pelayanan kesehatan, pemberdayaan perempuan,
penyejahteraan ibu dan anak, serta pembinaan generasi muda. Untuk melakukan
itu, Muhammadiyah memiliki berbagai institusi atau lembaga pendukung yang
luar biasa dilihat dari jumlah, sebarannya di Indonesia, serta cakupan
masyarakat yang terlayani. Kita mengenalnya secara singkat sebagai
"amal-amal Muhammadiyah".
Salah satu tujuan yang senantiasa terpelihara
di balik penyelenggaraan berbagai amal persyarikatan itu adalah terbangunnya
harmoni di antara pikir dan zikir. Juga, menyatunya identitas kesalihan
ritual dengan sosial, terbangunnya kecerdasan intelektual, sosial dan emosional
dengan kecerdasan spiritual.
Jika kita gambarkan melalui khazanah Alquran
(QS An Nahl (16):11-15), harmonisasi pikir dan zikir yang senantiasa
diikhtiarkan Muhammadiyah itu dapat digambarkan sebagai terbentuknya sejumlah
kualitas berikut: Kemampuan memikirkan (tafakkarun); Kemampuan memahami
(takqilun); Kemampuan mengambil pelajaran (tadzakkarun); Kemampuan bersyukur
(tasykurun); dan Kemampuan untuk mencari dan mendapatkan petunjuk (tahfadun).
?Indonesia dan Jawa Timur membutuhkan orang-orang yang tercerahkan yang
memiliki kualitas-kualitas tersebut di atas. Sejarawan besar dari Inggris,
Arnold Toynbee, dalam salah satu teorinya menyatakan, orang seperti itu
sebagai "minoritas kreatif".
Orang-orang yang tercerahkan atau minoritas
kreatif itu adalah orang-orang yang menempatkan dirinya sebagai pelaku ketika
orang-orang di sekeliling mereka secara keliru memosisikan diri sebagai
penonton. Mereka tetap bisa memelihara optimisme dan harapan mereka di tengah
orang-orang yang salah kaprah dengan berlomba-lomba pesimistis dan cepat
berputus asa.
Orang-orang yang tercerahkan dan pemilik
kualitas minoritas kreatif adalah mereka yang berhasil mengharmonisasi pikir
dan zikir mereka. Orang-orang seperti itulah yang akan membuat Indonesia
berjaya menjemput masa depannya yang gemilang.
Indonesia harus berterima kasih kepada
Muhammadiyah karena tanpa lelah sejak zaman sebelum kemerdekaan terus
mengontribusikan persyarikatannya untuk membentuk kualitas manusia Indonesia
yang tercerahkan atau ulil albab itu.
Saya sendiri saat ini sedang menggalang sebuah
gerakan bernama Gerakan Peduli Tetangga. Saya ingin kita sama-sama bergerak
di level yang terbawah, dalam komunitas paling kecil dan bertumpukan orang
per orang yang tidak bergantung pada orang lain dan menunggu peran orang
lain. Saya ingin mengajak masyarakat Jawa Timur untuk aktif menjadi pencari
jalan keluar dari masalah-masalah kecil dan sederhana dalam lingkungan
terdekat dan terkecil mereka.
Gerakan Peduli Tetangga itu jelas membutuhkan
minoritas kreatif, ulil albab atau orang-orang yang tercerahkan yang, antara
lain, terus diupayakan pembentukannya oleh Muhammadiyah. Karena itu, bagi
saya dan Muhammadiyah, sinergi bukan hanya kebutuhan tetapi kenisacayaan.
Kerja sama di antara kami bukan cuma sebuah "kemungkinan yang
terbuka", tetapi "keharusan dan amanat zaman yang harus kita
ikhtiarkan". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar