Status Quo Audit BPK
Reda Manthovani ;
Dosen Hukum Pidana Fakultas
Hukum
Universitas Pancasila Jakarta
|
DETIKNEWS, 20 Juni
2016
Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo mengatakan tak ada indikasi korupsi dalam
sengketa pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. "Penyidik kami tidak
menemukan perbuatan melawan hukum dalam pembelian Sumber Waras," katanya
di depan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa, 14/6/2016.
Bahkan sebelumnya
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui salah satu pimpinannya (Basaria
Panjaitan) pada hari Senin, 29/2/2016 pernah menyatakan bahwa hingga saat ini
belum dapat menaikkan kasus pembelian lahan RS Sumber Waras ke tingkat
penyidikan oleh karena belum ditemukan dua alat bukti yang cukup.
Padahal berdasarkan
Laporan LHP BPK atas laporan keuangan Pemprov DKI Tahun 2014 dan diperkuat
Hasil Audit Investigasi BPK tanggal 7/12/2015menyatakan terdapat penyimpangan
dalam tahap perencanaan, penganggaran, pembentukan tim, proses pembelian
lahan RS Sumber Waras, penentuan harga, dan penyerahan hasil sebagaimana
diatur dalam UU No.2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
Beragam pendapat
setelah pernyataan pimpinan KPK di atas, banyak pihak dapat memahami
pernyataan tersebut namun ada juga pihak-pihak yang tidak puas. Bahkan saking
tidak puasnya ada pendapat seorang Profesor Hukum yang mengecam dan
menyatakan: "Kalau temuan BPK diabaikan KPK untuk menjerat Ahok, maka
Suryadharma Ali, Siti Fadilah dan Wafid Muharam harus dibebaskan Dong".
Dengan demikian
setelah pernyataan KPK tersebut, lalu mau dibawa pergi ke mana (quo vadis)
audit BPK tersebut ? Mengapa KPK memiliki pandangan yang berbeda dengan BPK?
Apakah hasil audit BPK harus ditindaklanjuti dengan pemidanaan? Untuk itu, penulis
akan berupaya mengurai pertanyaan tersebut agar dapat mencerahkan publik
secara objektif.
Menurut situs resmi
BPKP, Audit Investigasi adalah proses pengumpulan dan pengujian bukti-bukti
terkait kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara
dan/atau perekonomian negara, untuk memperoleh kesimpulan yang mendukung
tindakan litigasi dan/atau tidakan korektif manajemen.
Proses pembuktikan
suatu tindak pidana, Penuntut Umum harus membuktikan seluruh unsur yang
termuat dalam pasal yang didakwakan. Dalam kasus ini penerapan pasal yang
digunakan adalah Pasal 2 ayat (1) UU No.31/1999 tentang Pemberantasan
Tipikor.
Adapun unsur yang
harus dibuktikan dalam Pasal 2 ayat (1) di atas adalah unsur "Setiap
orang" yang "secara melawan hukum" melakukan perbuatan
"memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi" yang
dapat "merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara".
Singkatnya bahwa
seorang terdakwa dalam kasus korupsi dapat dipidana apabila perbuatannya
telah memenuhi seluruh unsur di atas. Apabila yang terbukti hanya satu atau
dua unsur saja, misalnya unsur "setiap orang" dan"merugikan
keuangan negara" maka si terdakwa tidak dapat dipidana.
Di sisi lain, Audit
Investigasi merupakan proses pengumpulan dan pengujian bukti-bukti terkait
kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara dan/atau
perekonomian negara atau hanya satu unsur dari beberapa unsur dalam pasal 2
ayat (1) UU No.31/1999.
Sehingga, apabila
auditor BPK berpendapat ada unsur "merugikan keuangan negara" namun
menurut penegak hukum tidak ada memenuhi unsur "melawan hukum" maka
kasus tersebut tidak dapat dimajukan ke persidangan. Artinya Audit
Investigasi BPK tidak harus berujung pemidanaan sebagaimana yang diharapkan
oleh seorang Profesor hukum di atas.
Terlebih lagi, unsur
merugikan keuangan negara versi audit BPK masih dapat diperdebatkan. Oleh
karena kerugian negara tersebut timbul disebabkan BPK menggunakan NJOP 2013
(Rp.13.000.000,-) sebagai pedoman padahal transaksi antara Yayasan Sumber
Waras dengan Pemprov DKI menggunakan NJOP tahun 2014 (Rp.20.700.000,-).
Selain itu, BPK juga
menyimpulkan bahwa Pemprov DKI telah melanggar UU No.2/2012 ttg Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Pasal 121 Perpres
No.71/2012 ttg Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum.
Namun penyidik KPK
melihat bahwa pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tersebut
belum dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum pidana
(wederrechtelijk). Oleh karena BPK masih memandang bahwa pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan umum tahapannya diatur dalam UU No. 2/2012.
Padahal untuk
efektifitas dan efisiensi terkait dengan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk kepentingan umum di bawah 5 (lima) hektar dapat dilakukan langsung oleh
instansi yang memerlukan tanah dengan pemegang hak dengan cara jual beli atau
cara lain yang disepakati kedua belah pihak sebagaimana diatur dalam Pasal
121 Perpres No.40/ 2014 tentang Perobahan atas Perpres No.71/2012.
Sehingga transaksi
pengadaan tanah RS Sumber Waras yang luasnya dibawah 5 hektar tidak harus
mengikuti prosedur yang diatur dalam UU No.2/2012. Namun cukup melalui proses
jual beli sebagaimana diatur dalam Perpres No.40/2014.Dengan kata lain
transaksi pembelian tanah eks RS.Sumber Waras tidak terdapat penyimpangan
atau tidak ditemukanadanya Perbuatan Melawan Hukum.
Berdasarkan penjelasan
di atas, maka hasil audit BPK tidak dapat dijadikan landasan untuk menaikkan
kasus pembelian tanah eks RS.Sumber Waras ke tahap penyidikan. Terlihat bahwa
penyidik KPK memandang suatu kasus jauh hingga ke tahap pembuktian di
pengadilan. Hal itu sebagai bentuk praktek Sistem Peradilan Pidana yang
terpadu.
Lalu, bagaimana dengan
nasib audit BPK tersebut? Dengan instrumen yang ada saat ini maka hasil audit
tersebut kemungkinan akan status quo. Oleh karena BPK tetap pada pendiriannya
dan KPK juga demikian. Namun, untuk mengantisipasi kejadian yang sama
terulang dikemudian hari, maka sudah saatnya dipikirkan pembentukan suatu Tim
Ad Hoc untuk menguji hasil audit BPK yang dipandang bermasalah.
Kebutuhan pembentukan
tim mendesak, mengingat banyak unsur pimpinan BPK yang berlatar belakang
Parpol. Sehingga kemungkinan adanya intervensi terhadap auditor dapat
terjadi. Oleh karena itu sebagai bentuk penerapan prinsip check and balance atas suatu kekuasaan
yang diberikan kepada BPK maka sudah sewajarnya upaya banding terhadap audit
BPK dibuat mekanismenya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar