Kasus Hak Tanah Sumber Waras
Romli Atmasasmita ;
Guru Besar Emeritus Universitas
Padjadjaran
|
KORAN SINDO, 23 Juni
2016
Proses pengadaan tanah
oleh Pemda DKI melalui transaksi pelepasan hak atas tanah Yayasan Kesehatan
Sumber Waras (YKSW) kepada Pemda DKI dengan pemberian ganti kerugian sebesar
Rp755.689.550.000,00.
Penggantian itu
berdasarkan perhitungan nilai jual objek pajak (NJOP) dilokasialamat KyaiTapa
sebesar Rp20.755.000,00/m2 dengan luas tanah 36.410 m. Transaksi terjadi di
hadapan notaris Tri Firdaus Akbarsyah SH (Akta Notaris Nomor 37 tanggal 17
Desember 2014).
Akta notaris tersebut
ditandatangani oleh pihak Pemda DKI diwakili Kepada Dinas Kesehatan Pemda
DKI, dan pihak YKSW diwakili oleh pengurusnya.
Di dalam akta notaris
tersebut disetujui klausul-klausul antara lain semua gugatan perdata atau
tuntutan pidana merupakan tanggung jawab pihak Pemda DKI.
Di dalam proses
transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW ketika itu (2014), terdapat fakta
bahwa status tanah tersebut ketika terjadi transaksi pelepasan hak, tidak
dalam keadaan ”clean and clear”.
Yaitu, pertama, status
tanah RS Sumber Waras belum jelas hak kepemilikannya. Selain itu, tanah juga
sedang dalam proses gugatan perdata antara pengurus YKSW, Kartini Mulyadi
dkk, dan anggota pengurus lain I Wayan Suparmin (IWS).
Kedua, YKSW masih
menunggak pajak bumi dan bangunan (PBB) selama kurang delapan tahun senilai
Rp10.603.718.309,00 (sepuluh miliar enam ratus tiga juta tujuh ratus delapan
belas ribu tiga ratus sembilan rupiah).
Total tunggakan
terdiri atas PBB terutang dan denda administrasi sesuai basis data SIM PBB-P2
Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta sehingga pihak YKSW termasuk wajib
pajak (WP) yang tidak patuh. Penetapan nilai tanah hak guna bangunan (HGB)
YKSW ditetapkan berdasarkan NJOP.
Sedangkan baik
Undang-Undang (UU) Nomor 2/2012 dan perpres pelaksanaannya hanya dapat
dilakukan oleh tim penilai (appraisal). Adapun peraturan menteri keuangan
terkait pengadaan tanah hanya mengatur tentang dana operasional dan
pendukung.
Dispute mengenai letak
tanah seharusnya tidak hanya membaca sertifikat Badan Pertanahan Nasional
(BPN), melainkan juga perlu dilihat lokasinya secara riil untuk mengetahui
kondisi nyata.
Aspek hukum pidana
tidak hanya menemukan kebenaran formal berdasarkan dokumen/ surat, melainkan
juga kebenaran materiil dari suatu peristiwa dengan mengetahui secara faktual
dan motivasi dari suatu perbuatan terkait kasus ini adalah kebijakan Pemda
DKI.
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen dan bagian dari sistem peradilan
pidana sesuai dengan UU Badan Pemeriksa Keuangan dan UU KPK seharusnya tetap
berpegang pada hasil audit BPK, sekalipun ada perbedaan penilaian mengenai
kerugian negara.
KPK harus menghormati
antarsesama lembaga, apalagi hasil audit investigasi BPK adalah atas
permintaan BPK.
Dan, BPK berdasarkan
UUD dan UU BPK merupakan lembaga audit negara yang diakui, serta pelanggaran
atas rekomendasi BPK RI merupakan tindak pidana dan dapat diancam pidana.
BPK RI telah
menyerahkan hasil audit investigasi pada 7 Desember 2015 dengan kesimpulan
telah terjadi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya sebesar
Rp173.129.550.000,00 (seratus tujuh puluh tiga miliar seratus dua puluh
sembilan juta lima ratus lima puluh ribu rupiah).
Persoalan kekeliruan
hasil penghitungan bukanlah kewenangan pihak siapa pun, termasuk KPK, untuk
memberikan penilaian.
Masing-masing lembaga
telah diatur kewenangannya dalam undangundang sendiri, serta tugas dan
wewenang KPK berdasarkan UU KPK Nomor 30/2002 tidak termasuk memberikan
penilaian ada-tidak ada kerugian negara.
Pernyataan KPK yang
menyatakan secara terbuka di dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III
DPR RI bahwa dalam kasus YKSW tidak terdapat unsur perbuatan melawan hukum
terlalu dini dan terdapat kekeliruan tafsir mengenai ketentuan Pasal 121 di
dalam perubahan Perpres 40/2014.
Yang pada intinya,
pertama, perubahan luas lahan dan terkait hubungan transaksional langsung
dengan pemegang hak atas tanah, diperkuat oleh Pasal 53 PerKa BPN Nomor
5/2012 yang telah diubah dengan PerKa BPN Nomor 6/2015 tentang petunjuk
teknis pelaksanaan pengadaan tanah.
Peraturan Kepala
(PerKa) BPN yang sesungguhnya merupakan salah satu saja dari seluruh tahapan
penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, di samping tahap
perencanaan, tahap persiapan, dan tahap penyerahan hasil (Pasal 13 UU Nomor
2/2012).
Kekeliruan tafsir
hukum dan ketidaktelitian Pemda DKI atas ketentuan pasal tersebut yang
mengakibatkan seluruh prosedur tahapan dalam UU aquodianggap tidak perlu
diikuti sepenuhnya.
Pertanyaannya, jika
demikian tafsir hukum tersebut, bagaimana suatu Perpres dan PerKa BPN dapat
menegasikan seluruh ketentuan UU dengan dalih apa pun. Bahkan, jika benar
demikian, Perpres dan PerKa BPN batal demi hukum (van rechtnieteg).
Bukti-bukti temuan BPK
RI menunjukkan bahwa seluruh tahapan pengadaan tanah terkait transaksi
pelepasan hak atas tanah HBG YKSW tertanggal 17 Desember 2014 tidak didahului
dengan dokumen pendukung dan pembentukan satuan kerja.
Namun, kemudian
seluruh dokumen terkait telah dilengkapi Pemda DKI dengan pembubuhan
tanggal-mundur (back-date) hasil
audit investigasi BPK RI terdapat tujuh penyimpangan.
Pola pembubuhan
tanggal mundur pada dokumen pendukung juga di dalam Peraturan Gubernur DKI
mengenai penetapan NJOP tertanggal 27 Desember 2013.
Tetapi, pembubuhan
paraf pada peraturan gubernur DKI tersebut terjadi pada 21 Januari 2014
merupakan perbuatan melawan hukum, bahkan merupakan perbuatan dengan sengaja
(dolus) bukan semata-mata
kekeliruan atau kelalaian (culpa).
Terkait kasus
pelepasan hak atas tanah atas nama pengurus YKSW, tidaklah relevan
menghubungkannya dengan pengertian lex
posteriori derogat lege priori, lex specialis derogat lege generali,
ataupun perihal ”in dubio pro reo”.
Pengertian hukum yang
pertama suatu kemustahilan bahwa Perpres Nomor 40/2014 merupakan lex specialis terhadap ketentuan yang
sama (Pasal 121) di dalam Perpres Nomor 71/2012 karena sifatnya hanya
perubahan demi kepastian hukum yang telah disesuaikan dengan perkembangan
kebutuhan pengadaan tanah di bawah 5 ha.
Pengertian kedua
adalah mustahil jika peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
dapat menegasikan berlakunya suatu undang- undang.
Dan, pengertian hukum
ketiga terkait kasus YKSW, tidak ada keragu-raguan mengenai tafsir hukum atas
perpres perubahan dimaksud (2014) dan PerKa BPN (2015). Secara hierarkis dan
rumusan ketentuan tersebut telah memenuhi asas lex certa.
Yang tidak kalah pentingnya
dari kasus transaksi pelepasan hak atas tanah YKSW dan Pemda DKI adalah, jika
temuan dan rekomendasi BPK RI tidak ditindak lanjuti oleh Pemda DKI dan KPK,
tetap bersikukuh pada pendirian bahwa tidak ada unsur melawan hukum dalam
kebijakan Pemda DKI.
Maka, terhentinya
kasus ini pada tahap penyelidikan merupakan preseden buruk dalam tata kelola
negara berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan dibenarkan.
Selain itu, diikuti
oleh pejabat daerah provinsi, kotamadya, dan kabupaten di seluruh Indonesia
dalam transaksi pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Quo
vadis KPK? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar