NU dan Kemandirian Ekonomi Umat
A Helmy Faishal Zaini ;
Sekretaris Jenderal Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama
|
KORAN SINDO, 27 Juni
2016
Nahdlatul Ulama (NU)
sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan memiliki peran strategis dalam
kehidupan umat. NU didirikan paling tidak, dalam hemat saya, bertujuan untuk
kemaslahatan umat.
Kemaslahatan yang
dimaksud bukan hanya kemaslahatan akidah umat, tetapi lebih dalam dari itu
menyangkut aspek-aspek kesejahteraan hidup. NU dalam sejarahnya memiliki
komitmen untuk memandirikan sekaligus menyejahterakan kehidupan umat.
Pelbagai gerakan sebagai upaya untuk memandirikan ekonomi umat silih berganti
dicoba.
Jika kita tengok
sejarah, kita akan menemukan istilah ecenomiche mobilisatie. Istilah ini
sesungguhnya adalah istilah yang hendak ingin menggambarkan bahwa NU adalah
organisasi yang bukan hanya mengarahkan umatnya untuk meraih kebahagiaan di
akhirat kelak dan mengesampingkan kesejahteraan di dunia, tetapi NU selalu
berusaha untuk menyeimbangkan proporsi keduanya. Persis sebagaimana yang ada
dalam doa sapu jagat yang sangat familier di kalangan warga NU: rabbana
atiina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah.
Mabadi Khairu Ummah
Pada 1938, NU
mendirikan apa yang ketika itu disebut dengan importhandel dan exporthandel,
yang keduanya diperuntukkan guna mengurusi kegiatan ekspor impor atau
perdagangan luar negeri. Hal ini diputuskan secara resmi di Muktamar Menes,
Banten.
Setahun setelah
keputusan tersebut, yakni pada tahun 1939 pada forum muktamar yang digelar di
Magelang, sebagai sebuah upaya untuk memberi landasan dalam menjalankan
ekonomi dan bisnis, NU merumuskan konsep mabadi khairu ummah yang berisi tiga
poin utama. Ketiga poin itu adalah: as-shidqu
(kejujuran), alwafa bil ahdi
(menepati janji), dan at-taat-taawun
(saling tolong-menolong).
Tiga prinsip tersebut
adalah landasan yang harus dipegangi oleh warga NU dalam segala hal, utamanya
menyangkut kegiatan ekonomi dan bisnis. Dengan tiga prinsip tersebut,
turbulensi dan mekanisme berbisnis warga NU diharapkan bisa berjalan dengan
lancar, stabil, dan yang paling utama adalah berkah. Apa yang disebut
terakhir, yakni keberkahan, adalah tujuan paling paripurna yang
dicita-citakan konseptor mabadi khairu ummah di atas.
Sebagai bagian dari
upaya mengembangkan dan menyempurnakan tiga pilar tersebut, pada tahun 1940
KH Mahfud Shiddiq yang kala itu bertindak sebagai ketua HB NU (istilah
sekarang ketua umum PBNU) menambahkan dua prinsip penyempurna yang terdiri
atas: al-adalah (keadilan) dan Istiqomah (konsistensi).
Maka jelas, pada tahun
1940 mabadi khairo ummah yang
berisikan lima prinsip kemandirian ekonomi yang harus diimplementasikan saat
berbisnis diharapkan bisa menjadi alas pijak bagi kemandirian ekonomi umat.
Persoalannya hari ini adalah fakta berbicara jumlah warga miskin di Indonesia
masih sangat banyak.
Dan jika kita
menggunakan random sampling atau katakanlah survei dengan responden acak,
mayoritas yang warga yang tidak berdaya secara ekonomi—untuk mengganti dan
menghindari kata miskin— adalah warga NU. Ini adalah tantangan besar yang harus
kita jawab bersama. Terlebih masalah ekonomi merupakan salah satu bidang
penting yang diamanatkan oleh Mumtamar 33 NU di Jombang 2015 lalu.
Kondisi yang demikian
memaksa kita untuk terus berbenah dan mencari solusi terbaik guna mengangkat
kemandirian ekonomi umat. Dalam hemat saya pada tataran paling elementer,
warga NU harus memiliki dua kecerdasan utama. Pertama kecerdasan spiritual,
kedua, kecerdasan ekonomi.
Dua kecerdasan
tersebut penting diungkap mengingat masih banyaknya kalangan yang selalu
menjadikan dua kecerdasan tersebut sebagai seolah- olah dua entitas yang
saling berlawan, berseberangan, atau bahkan bermusuhan satu sama lain hingga
tidak mungkin untuk dipadupadankan atau dikawinkan. Hal tersebut menurut
hemat saya tidak sepenuhnya benar.
Pandangan seperti itu
bisa dikatakan bukan saja keliru, tetapi juga salah. Pada praktiknya memang
benar, ekonomi kapitalisme yang ada hari ini cenderung memisahkan aspek
ekonomi dengan spiritualitas. Namun sejatinya hal itu di kalangan warga NU
bisa ditepis dengan argumen mabadi khairo ummah di atas. Lima prinsip yang
tertuang dalam mabadi khairo ummah merupakan aspek spiritualitas yang bisa
kita balurkan dalam setiap praktik berbisnis dan menjalankan roda ekonomi
sehari-hari.
Apalagi jika kita cek
literatur, termasuk salah satunya dari hadis asyaddunnas adzaban yaumal
qiyamati almakhfil albathil yang memiliki arti siksaan paling berat pada hari
kiamat, adalah bagi orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan hidup
menganggur. Ini fakta bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri sangat tidak menyukai
orang yang cenderung tidak mandiri dan berpangku tangan dalam menjalani hidup
sehari-hari.
Salah satu upaya dalam
memandirikan ekonomi umat dewasa ini adalah dengan membuka akses
seluas-luasnya bagi umat untuk berbisnis dengan tanpa mengesampingkan prinsip
dasar berbisnisyangtertuangdi mabadi khairo ummah.Semua bisnis hari ini
sesungguhnya trennya adalah bisnis komunitas. Banyak kalangan menciptakan
komunitas baru dalam rangka membuka sindikasi jaringan berbisnis.
Misalnya sebut saja
menjamurkan bisnis online semisal ojek online, antar jemput online, dan
sebagainya. Semuanya, dalam bahasa saya, sesungguhnya sedang menciptakan
komunitas. Dari komunitas itu pelanpelan dibangun trust (kepercayaan/as-shidqu).
Dan dari trust itulah bisnis dan roda perekonomian dijalankan.
Di NU, kita
sesungguhnya sudah memiliki basis komunitas tanpa perlu membangun dan
menciptakan sebagaimana yang dilakukan aneka bisnis berbasis online lainnya.
Modal besar berupa sudah tersedianya komunitas tersebut harus dimanfaatkan
untuk bisnis komunitas. Salah satu implementasinya adalah dalam wujud Kartanu
yang menyediakan beragam fitur kemudahan beramal maupun berbisnis bagi warga
NU.
Kartanu ke depan
memiliki empat fungsi utama. Pertama, sebagai tabungan masa depan. Kedua, sebagai
alat pembayaran (e-payment). Ketiga, sebagai alat pembayaran asuransi.
Keempat, Kartanu memiliki benefit seperti tersedianya beragam discount dan
poin belanja di gerai-gerai yang telah bekerja sama.
Dalam perjalanannya, Kartanu
tersebut juga hadir dalam bentuk e-Kartanu yang merupakan aplikasi mobile
apps (semacam aplikasi yang bisa diunduh di ponsel) yang bisa digunakan oleh
warga NU. Dalam e- Kartanu tersebut pelbagai fasilitas akan disediakan
utamanya dalam menunjang bisnis warga NU.
Sebut saja misalnya
kehadiran NUmart dan WarNU. Dua kanal tersebut bisa digunakan sebagai lahan
bisnis berdagang bagi warga NU. Ini yang dalam bahasa saya disebut sebagai
”sudah terciptanya komunitas”.
Alakuli hal, dengan
adanya Kartanudane-Kartanuini, PBNU sangat berkomitmen untuk mengawal
kemandirian ekonomi umat sebagai sebuah khidmat untuk menuju tercapainya
tatanan masyarakat yang adil, makmur, sejahtera, dan berkah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar