Masalah Hukum Pengurus Baru Partai Golkar
Salim Haji Said ;
Guru Besar Ilmu Politik
Universitas Pertahanan Indonesia; Pengajar Tetap pada Sekolah Staf dan
Komando (Sesko) TNI;
Pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian (PTIK)
|
KOMPAS, 04 Mei 2016
Judul
di atas adalah tema berita utama di halaman 2
harian Kompas terbitan 27 Mei 2016. Pada alinea pertama berita
tersebut terbaca, "Sejumlah kader Partai Golkar yang pernah tersangkut masalah hukum masuk dalam
kepengurusan partai itu periode 2016-2019 yang dipimpin Setya Novanto."
Pada
bagian selanjutnya (alinea kedua) berita tersebut dijelaskan lebih jauh,
"Dari 75 orang yang ditunjuk menjadi pengurus harian Dewan Pimpinan
Pusat (DPP) Partai Golkar yang disusun tim formatur pimpinan Novanto pada Rabu (25/5) dini hari, tiga
orang di antaranya tercatat bekas
narapidana. Mereka adalah Ketua Harian
Nurdin Chalid, Ketua Bidang Olahraga Fahd A Rafiq, dan Ketua Bidang Pemenangan
Pemilu Wilayah Jawa Timur, Sigid Haryo Wibisono."
Di
samping secara terinci mengulas keterlibatan dan keputusan hukum yang
menempatkan tiga pengurus DPP Partai Golkar itu pada posisi sebagai
bekas kriminal, harian Kompas juga mengingatkan pembacanya, "Novanto
juga pernah tersangkut kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil
Presiden untuk minta saham PT Freeport Indonesia pada tahun 2015. Kasus
itu membuat Novanto menyatakan mundur
dari posisinya sebagai ketua DPR."
Bukan sebuah kejutan
Berita
ini amat berguna untuk menyadarkan pembaca mengenai kualitas Partai Golkar,
di samping juga bermanfaat bagi
pencatatan sejarah perkembangan peradaban politik Indonesia. Akan tetapi,
berita ini sama sekali bukan sebuah kejutan.
"Nasib"
yang menimpa Golkar itu amat jelas
konsisten dengan karakter awal partai tersebut. Rezim Orde Baru pimpinan
Presiden Soeharto telah melahirkan,
membesarkan, dan mendidik Golkar menjadi kelompok tanpa idealisme dan karena
itu sangat pragmatis.
Sebagai
alat kekuasaan Soeharto, Golkar memang tidak diperlukan memiliki idealisme
sendiri. Tujuan sudah dirumuskan
rezim: tugas tunggal dan misi
terpenting Golkar hanya berteriak
"setuju" pada semua keputusan penguasa. Menoleransi
idealisme dalam Golkar hanya akan merepotkan rezim otoriter Orde Baru.
Dengan
latar belakang seperti itulah kita harus mengerti terus berkembang biaknya
pragmatisme dalam partai tersebut. Dari dulu sampai hari ini.
Reformasi
Golkar (menjadi Partai Golkar) di bawah pimpinan Akbar Tandjung pada awal
reformasi terbukti gagal. Ibarat dokter, Akbar Tandjung tidak berhasil mengobati
penyakit kronis Golkar yang
menjangkiti kelompok politik itu (pada mulanya tidak disebut partai)
semenjak kelahirannya. Pragmatisme dalam bentuk mendapatkan kekuasaan dengan
segala cara-dulu dengan uang dan kekuasaan, kini melulu dengan uang-ternyata
kini sudah merupakan watak melekat pada Partai Golkar.
Menyadari
merosotnya pencapaian Partai Golkar pada beberapa pemilu terakhir ini, ketua
baru partai tersebut, Setya Novanto , berjanji memimpin partainya mendapatkan 20 persen suara dalam Pemilu 2019. Seperti kita
ketahui, pada Pemilu 2014, Partai Golkar hanya mendapatkan 14,75 persen, dan
berada di bawah pencapaian PDI Perjuangan, setelah sebelumnya pernah
memperoleh suara lebih banyak dari partai pimpinan Megawati Soekarnoputri
itu.
Terhadap
kecemasan sejumlah pengamat politik menyangkut citra partai rusak karena
dipimpin sejumlah tokoh yang pernah atau masih punya persoalan hukum, Novanto
dengan yakin menafikannya. "Tidak sampai enam bulan (menjabat) citra
Golkar pasti akan membaik. Saya jamin itu," kata Novanto kepada pers
setelah ia terpilih memimpin partai tersebut lewat Musyawarah Luar Biasa
Golkar di Bali.
Riuh
rendahnya kecaman kepada Golkar-sebagai
warisan Orde Baru-di awal masa reformasi ternyata tidak berhasil membuat Partai
Golkar mengecil menjadi partai gurem. Apalagi hilang tersapu dari panggung
politik Indonesia. Bahkan, sejarah mencatat, partai ini pernah menjadi
pemenang pemilu pada era awal reformasi. Pengalaman sejarah bertahannya
Golkar tersebut mungkin saja berperan meyakinkan para pemimpin Partai
Golkar bersepakat memberi mandat
kepada Novanto memimpin Golkar, sekaligus memilih beberapa pembantunya yang bekas kriminal.
Ladang penelitian
Melihat
kenyataan demikian, yang mungkin
penting menjadi topik penelitian ilmuwan politik, terutama komentator
terkemuka Golkar akhir-akhir ini, Hanta Yudha, adalah apa sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat
kita? Bagaimana memaknai fenomena bertahannya Golkar sebagai salah satu
partai terbesar Indonesia? Apakah masyarakat Indonesia memang senang pada
partai yang pernah menjadi alat pendukung kekuatan otoriter?
Lebih
jauh lagi, apakah masyarakat Indonesia merasa negeri ini memang lebih pantas
dan lebih baik dipimpin oleh rezim otoriter? Atau adakah penjelasan lain dari
fenomena bertahannya Partai Golkar di panggung politik Indonesia?
Ketika
suara partai-partai Islam merosot dari pemilu ke pemilu-padahal semua mereka
menderita di bawah rezim Orde Baru-Partai Golkar bikinan rezim Orde Baru
(baca: Soeharto) sanggup bertahan
sebagai salah satu partai besar. Bahkan mereka pernah memenangi pemilu setelah era Orde Baru.
Apakah
ini juga harus ditafsirkan Partai Golkar dipimpin sejumlah bekas kriminal
bukan soal bagi masyarakat Indonesia? Kita tunggu saja janji Novanto apakah
dia bersama kepengurusannya bisa
berhasil mencapai suara 20 persen pada pemilu mendatang, sebagai yang ia
janjikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar