Satu-satunya Cara Mengalahkan Ahok
Heru Margianto ;
Wartawan Kompas.com;
Meminati isu-isu politik dan
keberagaman
|
KOMPAS, 22 Juni 2016
Mari berandai-andai.
Jika Anda akan maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 nanti, strategi apa yang
akan Anda ambil untuk mengalahkan petahana? Kira-kira, apa yang membuat warga
Jakarta enggan untuk memilih Ahok?
Mari kita tengok
sebentar survei terbaru yang dirilis Manilka
Research and Consulting, Minggu (19/6/2016). Survei yang dilakukan Juni 2016 itu mendapatkan,
elektabilitas Ahok berada di urutan teratas, 49,3 persen, mengungguli 17 nama
lainnya.
Di bawah Ahok ada
Ridwan Kamil di posisi kedua dengan elektabilitas 9,3 persen. Selanjutnya ada
Yusril Ihza Mahendra 6,8 persen, Yusuf Mansur 6,5 persen, dan Tri Rismaharini
6 persen. Selengkapnya tentang hasil survei baca: Survei: Elektabilitas Ahok
Belum Tersaingi.
Dengan elektabilitas
yang kukuh, apa yang bisa dipertarungkan di panggung pilkada? Anda mau beradu
program? Mari simak survei kepuasan masyarakat Jakarta atas kinerja Ahok.
Dalam survei yang
dilakukan Manilka didapati, tingginya elektabilitas Ahok karena publik
mengaku puas dengan kinerja pemprov DKI Jakarta.
Tingkat kepuasannya
mencapai 67,5 persen. Tiga sektor kepuasan publik adalah di bidang pendidikan,
kesehatan, dan penanganan banjir.
Angka kepuasan itu
lebih rendah dibanding hasil survei Charta Politika yang dilakukan sekitar
medio Maret 2016. Charta Politika mendapatkan, angka kepuasan publik mencapai
82,8 persen. Rinciannya, sebanyak 21,8
persen menyatakan sangat puas dan 61 persen mengaku cukup puas. Baca: Charta
Politika: 82,8 Persen Warga Jakarta Puas akan Kinerja Ahok.
Dari dua survei itu
tentu tidak bisa serta merta ditarik kesimpulan bahwa tingkat kepuasan publik
menurun. Dua survei yang dilakukan dua lembaga berbeda mestiya memiliki
sejumlah catatan berbeda. Lain halnya jika survei dilakukan oleh lembaga yang
sama dengan maksud mencari hasil longitudinalnya dalam periode tertentu.
Kembali pada
pertanyaan semula, apa yang harus dilakukan berhadapan dengan petahana yang
elektabilitasnya begitu kukuh?
Hanya ada satu cara:
menggerus kredibilitasnya. Pilkada masih tahun depan. Masih ada waktu yang
sangat cukup untuk mengikis kredibilitas Ahok.
Setidaknya ada tiga
isu yang selama ini kerap dimainkan dalam pertarungan pilkada untuk menggerus
kredibilitas lawan. Ketiga hal itu menyangkut program kerja, kelemahan
personal, dan hal-hal menyangkut masalah hukum.
Program kerja
Pertama, persoalkanlah
kinerja petahana dan kampanyekanlah harapan. Mengkritik kinerja petahana
biasanya adalah amunisi paling mudah untuk meraih dukungan publik. Setelah
itu, kandidat baru akan menjual harapan bahwa mereka akan melakukan kinerja
yang lebih baik.
Jokowi dan Basuki
berhasil menggunakan strategi ini pada Pilkada DKI Jakarta 2012. Dengan
mengusung semboyan “Jakarta Baru”, keduanya menjual harapan akan Jakarta yang
lebih baik.
Pasangan ini menohok
kinerja Fauzi Bowo soal macet, banjir, dan birokrasi pemerintahan yang
bertele-tele. Strategi ini mengena dengan baik. Ada rasa frustrasi pada sebagian warga
Jakarta akan semrawutnya kehidupan di kota ini. Sosok Jokowi yang dipandang
sukses saat memimpin Solo menjadi ruang harapan baru akan Jakarta yang lebih
baik.
Di era Basuki saat
ini, kinerja apa yang bisa dipersoalkan dan mengubah pilihan voters?
Macet? Makin ke sini
kita mahfum mengatasi macet bukan persoalan sehari dua hari. Problem utama adalah buruknya sistem
transportasi yang membuat masyarakat Jakarta lebih senang menggunakan
kendaraan pribadi ketimbang kendaraan umum.
Di eranya, Ahok
menambah ratusan bus Transjakarta. Rute-rute baru juga ditambah. Ahok
mengatakan, rute Transjakarta harus ada di setiap rute transportasi umum yang
ada saat ini.
Untuk mengatasi macet,
Pemprov DKI Jakarta juga tengah mempersiapkan sistem jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP). Mass Rapit Transportation (MRT) dan Light Rapit Transportation juga tengah
dibangun.
Banjir? Normalisasi
sungai berjalan. Yang paling dramatis, dengan segala protes atas kebijakannya,
Ahok berhasil melakukan penataan atas Kampung Pulo di Kampung Melayu, Jakarta
Timur, yang bertahun-tahun menjadi langganan banjir. Tak ada lagi cerita
tentang banjir di tempat itu.
Seiring dengan itu,
pasukan oranye bentukan Pemprov DKI Jakarta juga menunjukkan kinerja yang
menuai apresiasi. Sungai-sungai dibersihkan. Mereka sigap menanggapi laporan
warga.
Penggusuran? Ahok
menerapkan model baru melanjutkan apa yang dilakukan Jokowi yaitu merelokasi
warga ke rumah susun. Kawasan yang digusur kemudian terlihat ditata menjadi
lebih baik.
Di tempat baru,
sejumlah fasilitas diberikan cuma-cuma. Kebijakan ini, suka tidak suka, meski
ada yang mengkritik keras, jauh lebih baik ketimbang era Sutiyoso yang
menggusur tanpa memberi solusi tempat baru bagi warga tergusur.
Soal program, sejauh
ini pun belum ada pertarungan wacana mengenai rencana membangun Jakarta yang
lebih baik. Perjalanan masih panjang. Para calon masih disibukkan mencari
kendaraan politik untuk maju dalam pilkada.
Personal
Kedua, menohok sisi
personal lawan yang dianggap sebagai kelemahan atau kekurangan. Ini juga
jurus klasik yang selalu diterapkan dalam setiap pilkada.
Strategi jenis ini
harus pintar-pintar dimainkan. Bisa berhasil, bisa juga malah gagal total.
Takaran kampanyenya harus pas, jangan sampai berlebihan agar menghasilkan
efek yang maksimal. Isu yang biasanya dimainkan adalah soal rekam jejak,
kelemahan personal, tak jarang melebar ke isu SARA.
Pengalaman di Jakarta,
isu SARA tak laku jadi bahan dagangan. Di Pilkada DKI Jakarta 2012, Rhoma
Irama di-bully habis-habisan di
media sosial ketika menyerukan memilih pemimpin seagama.
Masih di tahun yang
sama, Nahcrowi Ramli juga menuai kritik keras saat melontarkan kalimat
“haiyaaa Ahook” dalam debat calon wakil gubernur yang disiarkan sejumlah
stasiun televisi. Simpati publik atas pasangan Foke-Nachrowi merosot setelah
insiden itu.
Soal sasaran personal,
Ahok memiliki sejumlah catatan yang kerap dijadikan “gorengan” untuk
menyerang dirinya. Mempersoalkan identitas Ahok sebagai non-Muslim dan
Tionghoa jelas tidak laku di Jakarta.
Yang masih kerap
dimainkan untuk menurunkan kredibilitasnya adalah karakternya yang
meledak-meledak, temperamental, kata-katanya yang dinilai tidak santun.
Bisa jadi sebagian
warga Jakarta gerah dengan karakter ini. Tapi, banyak juga yang tidak
mempersoalkannya. Terbukti, elektabilitas Ahok tinggi.
Bagi sebagian orang,
“kegalakan” Ahok adalah bagian dari perjuangannya membereskan aneka persoalan
di Jakarta. “Kegalakan” atau malah “ketidaksantunan” bisa jadi juga dianggap
mereprensentasikan kekesalan mereka atas praktik politik dan birokrasi yang
ruwet di Jakarta selama ini.
Setidaknya, sejauh ini
kita melihat “keburukan” personal Ahok dalam rupa SARA dan karakter
personalnya tidak mempan menjadi peluru jitu menghancurkan kredibilitasnya.
Penyimpangan hukum
Masih adakah peluru
lain yang bisa dimainkan? Ada. Yang ketiga adalah mencari celah persoalan
hukum.
Ahok selama ini
mem-branding dirinya sebagai politisi jujur dan bersih. Jauh dari korupsi. Ia
transparan mengungkap asal muasal hartanya. Rasanya, ia satu-satunya politisi
di Indonesia yang berani dan siap melakukan pembuktian terbalik soal
asal-usul kekayaannya.
Ia juga memposisikan
diri sebagai politisi yang melawan dengan keras politik transaksional yang
acap terjadi dalam tubuh partai politik. Ia tak gentar keluar dari Gerindra
dan bebas merdeka sebagai politisi independen.
Ingat, Ahok adalah
peraih penghargaan Bung Hatta
Anti-Corruption Award 2013 untuk kategori pimpinan daerah. Ia dinilai
sebagai figur yang bersih dan transparan sejak menjadi anggota DPRD Belitung,
Bupati Belitung, anggota DPR RI, dan saat menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Ketika publik muak
dengan sepak terjang partai politik dan praktik korupsi para politisi, Ahok
menghadirkan diri sebagai sosok politisi harapan publik. Tak heran jika 1
juta KTP dukungan untuk maju melalui jalur independen berhasil diraihnya.
Branding sebagai
politisi bersih adalah kekuataannya yang paling paripurna. Persis di titik
itulah ia diuji kini. Kasus reklamasi, pembelian lahan RS Sumber Waras, dan
tuduhan aliran dana pegembang ke "Teman Ahok" adalah ujian itu.
Ahok lovers pasti
geram. Sementara, haters bersukacita. Kampanye negatif adalah hal yang lumrah
dalam demokrasi. Jika dimaknai secara benar, kampanye negatif justru
menyehatkan. Ia mempersoalkan apa yang selayaknya perlu dibenahi.
Yang harus diwaspadai
adalah kampanye hitam. Jika kampanye negatif mengangkat persoalan-persoalan
nyata, kampanye hitam berisi fitnah dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Keduanya punya tujuan sama: menggerus kredibilitas lawan.
Apakah sejumlah
tudingan yang kini terarah pada Ahok merupakan kampanye hitam atau
negatif? Ahok dan tim dituntut menari
dengan cantik dalam gendang yang sedang ditabuh lawan.
Yang harus diwaspadai
Ahok tentu bukan dirinya, tapi juga kawan-kawan di timnya yang selama ini
mendukungnya. Bisa jadi celah yang terbuka ada di sana.
Di tengah pertarungan
politik, kadang yang memprihatinkan justru bukan para politisinya, tapi
lovers dan haters-nya yang acapkali kehilangan rasionalitas mereka.
Pemimpin yang berdiri
di atas singgasana puja-puji akan kehilangan kontrol yang sehat dari publik
sebagai pemilik demokrasi.
Sebaliknya, lawan
politik yang semata-mata hanya ingin menjatuhkan dengan menghalalkan segala
cara adalah racun yang mematikan bagi akal sehat kita.
Sementara, mereka yang
berada di luar pertikaian, kerap membenci politik karena kebenaran obyektif
tidak pernah menjadi tujuan para politisi. Para politisi hanya sibuk mencari
kebenaran versi mereka demi kemenangan mereka semata.
Di luar para politisi
yang tengah bertarung, masyarakat Jakarta punya hati nurani untuk melihat
kebenaran sedang berdiri di mana. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar