Brexit dan Konsekuensinya
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
MEDIA INDONESIA,
27 Juni 2016
ADA banyak hal yang
dapat kita diskusikan dari hasil referendum rakyat Inggris, Kamis (23/6),
akhirnya memutuskan keluar dari Uni Eropa (UE).
Dari sisi emosi,
hampir semua pihak khususnya yang memilih untuk remain (tetap di UE) terkejut
dengan hasil yang ada karena dalam dua minggu berturut-turut mayoritas
lembaga poling mengunggulkan kubu ini dibandingkan leave (meninggalkan UE). Rasa
percaya diri yang kuat juga menghinggapi para pemimpin Eropa yang dalam
menit-menit menjelang pemungutan suara, masih yakin bahwa Inggris tidak akan
hengkang.
Kepanikan, kecewa dan
kemarahan pun memuncak ketika KPU Inggris mengumumkan pihak leave mencapai
51,9% dan remain 48,1%. Jumlah pemilih yang ikut referendum mencapai lebih
dari 30 juta orang, dan menurut BBC angka kepesertaan ini tertinggi
dibandingkan pemilu-pemilu Inggris sejak 1992. Inggris pun resmi keluar dari
UE (Britain exit atau Brexit).
Kegeraman para
pemimpin Eropa tampak dari pernyataan Presiden UE yang menyatakan kecewa. Dia
menegaskan pembicaraan Inggris keluar dari UE harus menunggu Perdana Menteri
baru yang akan dipilih pada Oktober nanti. Ia kesal karena negara-negara
anggota UE tidak dapat segera memutuskan langkah selanjutnya setelah hasil
referendum, dan merasa seperti disandera oleh konflik politik internal
Inggris. Inggris dan UE harus segera membahas pelaksanaan pasal 50, yang
intinya bahwa keinginan dan proses pengunduran diri dari EU harus segera
dilakukan maksimal dalam dua tahun. Negara-negara anggota EU mengkhawatirkan
suasana yang tidak pasti selama masa transisi, akan memperburuk dampak
ekonomi negatif, tidak hanya kepada Inggris tetapi juga negara-negara di
sekitarnya. Secara eksternal, bagaimana dampaknya untuk Indonesia?
UE dan variasi keanggotaan
Prinsip utama yang
perlu kita yakini bahwa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang bisa
berdiri sendiri termasuk Inggris. Kita harus melihat Brexit sebagai keputusan
politik rakyat Inggris untuk menolak dominasi kepemimpinan UE, namun secara
de facto ekonomi Inggris tetap bagian dari Eropa secara umum dan khususnya
UE. Walaupun sudah tidak dominan lagi, ekspor Inggris paling besar diserap
oleh pasar UE, kemudian Amerika Serikat dan diikuti oleh sejumlah negara
lain. Demikian pula UU, tidak dapat mengabaikan Inggris begitu saja karena
negara ini memiliki keunggulan komparatif di sektor jasa, pendidikan dan
pelayan publik. Yang lebih menjadi pertanyaan, kerja sama apa yang akan
dirintis oleh UE dan Inggris paska Brexit.
Kita juga perlu
memahami bahwa meskipun terlihat homogen, negara-negara di Eropa juga sangat
heterogen dilihat dari berbagai sisi. Misalnya, tidak semua negara di Eropa
adalah anggota UE, atau tidak semua negara Ue memakai mata uang euro. Ada
banyak format kerja sama yang dapat dipilih oleh Inggris agar tetap
terintegrasi dengan pasar dan menjaga agar Eropa tetap menjadi pasar yang
menyerap produk ekspornya. Model kerja sama yang dikenal antara lain mulai
format kerja sama European Economic Area (EEA), European Free Trade
Association (EFTA), EU Custom Union (EUCU) hingga kerja sama bilateral.
Apa yang membedakan
format tersebut satu dengan format lain terutama dalam
kesepakatan-kesepakatan seperti Free
Movement of Goods (FMG), Free
Movement of Services (FMS), Free
Movement of Capitals (FMC), Free
movement of Persons (FMP), Contribution
to EU Budgets, Application to EU Laws, EU Regulations dan Possibility of Independently Negotiate
trade aggreements within EU.
Format kerja sama
Beberapa negara Eropa
yang tidak menjadi anggota UE akan memilih format kerja sama sesuai dengan
kepentingan dalam negeri mereka masing-masing. Beberapa format yang dipilih kemudian
menjadi model kerja sama yang saat ini mungkin tengah dipertimbangkan oleh
Inggris.
Polandia dan
kawan-kawan (2015) menyebutkan setidaknya ada empat model kerja sama yang
dapat dipilih oleh Inggris untuk berhubungan dengan UE dan negara lain di dalam
zona Eropa. Pertama, adalah model Norwegia di mana Inggris dapat bekerja sama
dengan UE menggunakan format EEA dan EFTA. Dalam model ini, Inggris dan UE
menjalankan kesepakatan mulai dari FMS hingga kemungkinan melakukan negosiasi
secara otonom dengan UE seperti yang telah disebutkan di atas. Perbedaannya
bahwa Inggris hanya perlu menjalankan 350 peraturan yang terkait dibandingkan
dengan 1.000an peraturan yang harus dilakukan bila menjadi anggota UE. Beberapa
peraturan yang berpeluang dirundingkan terutama terkait dengan FMP atau
imigrasi yang selama ini memang menjadi pokok masalah.
Model kedua, adalah
model Swiss yaitu kerja sama yang dilakukan bersama UE hanya dilandasi
kesepakatan EFTA dan bilateral kedua pihak. Sampai saat ini, Swiss dan UE
memiliki sekitar 120 perjanjian perdagangan bilateral. Dalam model ini,
kesepakatan kerja sama dengan model Norwegia, namun perbedaannya sebagai
anggota EFTA, Inggris dapat merundingkan aturan atau perjanjian apa saja di
dalam UE yang dapat dijalankan dan yang ditolak.
Model ketiga, adalah
model Turki. Dalam model ini, kesepakatan yang bisa dicapai terutama dalam
soal FMG dan tidak kerja sama lainnya.
Turki saat ini bisa
bebas melakukan ekspor-impor dengan tarif yang rendah namun dalam soal
kebebasan warga negara Turki untuk bekerja di negara UE masih dibatasi. Turki
juga belum mendapatkan kewajiban untuk melakukan iuran untuk UE; berbeda
apabila ia menjadi anggota UE atau tergabung dalam kerja sama EEA dan EFTA.
Keuntungan dari
negara-negara yang menjalankan model-model tersebut dibandingkan dengan
menjadi anggota UE adalah dalam hal kontrol atas sumber daya alam,
agrikultur, dan masalah dalam negeri. Satu hal yang perlu dicatat bahwa
agrikultur adalah sektor yang sangat diproteksi oleh UE sehingga kebijakan
dalam soal ini harus diputuskan secara bersama oleh negara-negara anggota UE.
Keluar dari EU, membuat Inggris bisa menentukan kebijakan agrikulturnya
sendiri.
Model-model tersebut
juga ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Model Norwegia walaupun
relatif independen dari intervensi Brussel (pusat pemerintahan UE) tetap
dikritik karena dalam kesepakatan hubungan perdagangan, Norwegia tetap
didominasi oleh EU. Tuntutan Norwegia untuk masuk ke UE sudah menjadi
konsumsi debat politik dalam negeri, namun dua kali referendum yang dilakukan
(1972 dan 1994), rakyat Norwegia tetap bahagia dalam format kerja sama yang
mereka miliki dengan UE selama ini.
Model Swiss juga
dianggap tidak terlalu cocok buat Inggris yang sektor ekonominya sangat
variatif dibandingkan dengan Swiss. Swiss punya banyak kesepakatan dengan UE,
tetapi untuk urusan keuangan mereka tidak punya kesepakatan yang
membahagiakan. Sektor keuangan Swiss masih dibebani oleh sejumlah tarif yang
tidak menguntungkan buat investor bila mereka ingin merebut pasar Eropa.
Selain itu, Swiss
tidak punya kebebasan untuk masuk ke pasar UE untuk bidang jasa keuangan.
Padahal kita tahu Inggris sangat besar dan terkemuka di sektor tersebut. Di
sisi lain UE pernah mengkritik model Swiss sebagai model gagal, karena Swiss
menolak otoritas yang lebih besar darinya padahal UE sangat ingin punya
wewenang lebih atas negara-negara anggotanya.
Sementara model Turki
sangat tidak cocok buat Inggris, dan dianggap kemunduran apabila Inggris
tiba-tiba beralih ke model tersebut. Tapi kita belum tahu juga bila
situasinya seperti sekarang, apakah kemudian akan ada pertimbangan lain untuk
menganut model ini. Ada yang mengatakan bahwa ada kesamaan antara Turki
dengan Inggris yakni bahwa mereka membutuhkan EU tetapi tidak menyukai EU.
Bagi Indonesia
Dalam jangka pendek,
Indonesia dan negara-negara berkembang lain yang menyandarkan ekspornya di
sektor manufaktur dan agrikultur mungkin justru bisa diuntungkan dengan
keluarnya Inggris dari Eropa.
Produk-produk
agrikultur negara berkembang seperti minyak kelapa sawit, kopi, atau teh
adalah produk yang sangat kompetitif di pasar Eropa. Petani-petani minyak
nabati (kedelai, bunga matahari, dll) di Eropa selama ini menikmati proteksi
yang dilakukan oleh UE terhadap impor minyak nabati kelapa sawit Indonesia. Apabila
peraturan di Inggris lebih longgar, niscaya produk-produk tersebut lebih
terserap di pasar Eropa.
Namun saya juga masih
pesimistis kemungkinan itu bisa berjalan karena produk-produk yang sudah
terintegrasi dalam global supply chain,
maka tata kelolanya tidak lagi diarahkan oleh sebuah kedaulatan hukum tunggal
negara tertentu tetapi juga melibatkan non-state
actors seperti konsumen, serikat buruh, asosiasi perdagangan, atau LSM. Bentuk
tantangan yang harus dihadapi misalnya berupa hambatan non-tarif berupa
sertifikasi dan bentuk lain yang mirip, yang menyebabkan biaya produksi kita
menjadi lebih besar daripada produsen di Eropa sendiri.
Terkait agrikultur,
patut dicermati aturan UE terkait kerja sama dengan negara-negara non-UE. Skema
UE terbilang cukup kaku untuk negara-negara non-UE, bahkan belakangan
Indonesia termasuk yang dipersulit untuk melakukan ekspor CPO ke UE. Bila
Inggris tertarik untuk berinvestasi ke sektor ini, ada poin negosiasi
bilateral tambahan yang perlu dikejar Indonesia.
Dampak negatif
seandainya Inggris keluar dari EU terhadap Indonesia mungkin berjalan secara
tidak langsung, khususnya melalui Tiongkok.
Inggris bagi Tiongkok
dapat disebut sebagai Hongkong-nya Tiongkok di Eropa. Perdagangan mata uang
yuan terbesar kedua di dunia adalah Inggris setelah Hong Kong bahkan Bank
Sentral China, juga telah memiliki rencana untuk membuka cabangnya di London.
Apalagi sejak IMF menentapkan yuan sebagai special drawing rights (mata uang yang bisa dijadikan sebagai mata
uang transaksi perdagangan dunia).
Asian Infrastructure
Investment Bank (AIIB) yang dimotori oleh Tiongkok adalah jalan lain untuk
mencegah efek buruk pada perekonomian Asia.
Inggris yang
memutuskan untuk menjadi anggota AIIB adalah mitra yang bisa diakses tanpa
melalui UE. Ini perlu dimanfaatkan Indonesia.
Artinya, dengan Brexit
ini, ada peluang-peluang baru yang akan berkembang. Selain jalur kerja sama
bilateral dengan Inggris bisa dikembangkan dengan lebih intensif, UE pun
pasti menjadikan Brexit sebagai preseden untuk melakukan
penyesuaian-penyesuaian. Ke depan, ada harapan baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar