Solusi Murah yang "Nggampangke"
Agung Dwi Laksono ;
Peneliti di Puslitbang
Humaniora dan Manajemen Kesehatan Badan Litbang Kementerian Kesehatan; Mantan
Wartawan Jawa Pos
|
JAWA POS, 23 Juni
2016
PRO dan kontra tentang
peluncuran program pendidikan dokter layanan primer (selanjutnya disingkat
DLP) oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang hangat-hangatnya. Tak
kurang dua opini telah hadir di Jawa Pos: "Menyorot Rencana Program
Dokter Layanan Publik" (20/6) serta "Program Dokter Layanan Primer
dan Isomorfisme" (22/6).
Kebijakan yang didukung penuh Kemenkes itu seperti membentur tembok beton.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang notabene adalah perwakilan profesi dokter
menentang keras kebijakan tersebut.
Menciptakan Superman
Sudah seharusnya, sebagai
sebuah bangsa, kita memang tidak hanya melihat dengan kacamata
"kota" atau "Jawa-Bali". Kenyataannya, di luar sana masih
banyak wilayah yang tidak tersentuh pelayanan kesehatan.
Kacamata yang dipakai Kemenkes adalah kacamata sistem. Melihat secara luas
kebutuhan masyarakat atas pelayanan kesehatan. Dan kondisi riil sekarang,
memang ketersediaan pelayanan kesehatan hanya menumpuk pada lokasi-lokasi
tertentu. Masih banyak tersisa wilayah di republik ini yang butuh kehadiran
pemerintah dalam hal bidang kesehatan. Banyak sekali puskesmas di daerah
terpencil, perbatasan, dan kepulauan yang minim kehadiran tenaga kesehatan.
Sebuah puskesmas di
Pegunungan Bintang, Papua, misalnya, dikepalai seorang perawat lulusan SPK
yang setara SLTA. Dia ternyata sendirian di puskesmas tersebut. Kader
kesehatan yang notabene lulusan atau bahkan tidak lulus sekolah dasar (SD)
dilatih untuk mampu memberikan obat di Distrik Bokondini, Tolikara, Papua.
Masih banyak lagi kisah serupa dari setiap pojok negeri ini.
Kemenkes sedang berupaya
menciptakan superman khusus di bidang kesehatan. Bagaimana tidak, DLP
sepertinya akan mengatasi seluruh upaya pelayanan kesehatan, dari hulu sampai
hilir. Mereka akan menjalankan fungsi beberapa petugas kesehatan, mulai
preventif, promotif, kuratif, sampai rehabilitatif.
Menurut penulis,
sepertinya kebijakan DLP ini terlihat masuk akal. DLP adalah solusi praktis
termurah untuk mengatasi kecukupan pelayanan kesehatan yang masih banyak
bolong-bolong di negeri yang luasnya nauzubillah ini.
Pendekatan terbaik
pelayanan kesehatan memang seharusnya team based. Kerja sama antara berbagai
tenaga kesehatan, baik antara medis yang menangani kuratif dan rehabilitatif
maupun kesehatan masyarakat yang menangani preventif-promotif. Tetapi, tentu
saja pendekatan seperti itu butuh biaya cukup besar untuk mewujudkannya
menjadi suatu kondisi yang ideal.
Kebijakan untuk
menghadirkan one man show berupa DLP adalah sebuah pilihan yang praktis,
murah, dan masuk akal. Bayar satu untuk beberapa fungsi. Faktor kecepatan
sangat dibutuhkan untuk dapat memenuhi target dengan segera. Apalagi, target
tersebut juga terkait untuk memenuhi kebutuhan pelayanan BPJS Kesehatan.
Kebijakan yang
"Nggampangke"
Solusi kebijakan yang
diambil dengan menciptakan DLP memang terlihat praktis, murah, dan cepat,
tapi terkesan nggampangke, terlalu menganggap mudah. Jauh sebelum menentang
kebijakan program pendidikan DLP, IDI telah berteriak bahwa keberadaan tenaga
dokter di Indonesia ini sudah cukup. Secara proporsi dibanding jumlah penduduk
sudah terpenuhi. Tidak perlu lagi membuka kelas-kelas baru pendidikan
kedokteran. Yang masih bermasalah hanya distribusinya. Para dokter banyak
menumpuk di perkotaan dan daerah-daerah tertentu yang masyarakatnya dinilai
mempunyai perekonomian cukup bagus, mampu bayar.
Seharusnya kebijakan yang
diambil bukan sekadar kebijakan praktis jangka pendek, tetapi juga memikirkan
dampaknya dalam jangka panjang. Kebijakan yang diambil seharusnya yang
berdampak pada redistribusi penumpukan para tenaga dokter tersebut. Bukan
sekadar menambah jumlah tenaga dokter.
Kemenkes sudah sepatutnya
memikirkan instrumen kebijakan jangka panjang. Instrumen kebijakan yang bisa
menjadi penyeimbang daya tarik antarwilayah. Sehingga tenaga dokter tidak
hanya menumpuk pada daerah yang surplus. Namun juga mendorong untuk
terdistribusi pada wilayah-wilayah lain yang dinilai kering. Kebijakan jenis
itu memang sangat berat, cenderung membutuhkan waktu lama bila dibandingkan
dengan kebijakan DLP yang instan. Tetapi, bukankah memang itu tugas
pemerintah?
IDI sebagai perwakilan
profesi dokter sepertinya sudah berhitung bahwa "kecukupan"
(kemampuan, Red) dokter untuk melakukan segalanya sangat tidak mungkin.
Menjalankan kompetensi medis saja, bila dilakukan dengan benar, masih akan
kekurangan waktu bila dilakukan secara single fighter di sebuah puskesmas.
Apalagi masih dibebani dengan tugas lain. Belum lagi ternyata merangkap
jabatan sebagai kepala puskesmas.
Sepertinya, kehadiran DLP
hanya akan ada secara fisik, tetapi pada akhirnya akan banyak fungsi
pelayanan kesehatan yang terbengkalai.
Tentu saja kebijakan program pendidikan DLP ini pilihan yang mudah dan
menggembirakan bagi Kemenkes. Nanti Kemenkes bisa berdalih bahwa kewajiban
menyediakan pelayanan kesehatan sudah terpenuhi di setiap wilayah. Tetapi,
lagi-lagi target untuk benar-benar menyehatkan masyarakat menjadi
terpinggirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar