Peringatan Brexit untuk Indonesia
Jean Couteau ;
Penulis Kolom UDAR RASA Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 26 Juni 2016
Banyak pengamat di
Indonesia menyatakan bahwa peristiwa Brexit tidak relevan untuk Indonesia.
Saya tidak setuju. Ketidaksetujuan saya berdasarkan perspektif sosio-historis
jangka panjang.
Uni Eropa dan
Indonesia dapat dilihat sebagai produk historis dari kecenderungan yang
serupa: suatu upaya untuk membangun entitas yang melampaui determinasi
setempat dan melahirkan realitas politik baru yang lebih majemuk nan
"universal". Di Indonesia, asumsinya ialah latar belakang
sosio-kultural kemelayuan, ditambah dengan kesatuan politik kolonial,
merupakan landasan obyektif yang cukup kokoh untuk melampaui sejarah
permusuhan, perbedaan bahasa dan agama dari suku-suku Nusantara. Didirikan
atas asumsi ini, Indonesia lalu dibekali dan diperkokoh dengan perangkat
ideologis kebersamaan (Pancasila-Bhinneka Tunggal Ika) yang cukup ampuh.
Hasilnya relatif sukses. Dibantu penjalinan ekonomi yang semakin erat,
Indonesia kini tampil, secara luar, sebagai negara yang bangunan semakin kuat
dan di mana aneka lapis identitas (agama, suku, bahasa, ras, dan lain-lain)
dapat berkoeksistensi di bawah naungan kebangsaan yang tunggal.
Sejarah konstruksi
Eropa beranjak dari pikiran yang serupa. Asumsi dasarnya ialah bahwa
kebersamaan nilai politik (demokrasi), eratnya hubungan ekonomi di antara
negara sesama maju, serta kebersamaan kultural tertentu (latar belakang
Kristen yang tersekularisasi) merupakan dasar obyektif yang cukup kuat,
apabila direkayasa dengan jitu, untuk melampaui batasan yang terlahir dari
nasionalisme sempit dan identitas kultural bangsa-bangsa lokal. Jadi tujuan
para pendiri Uni Eropa ialah membangun suatu entitas baru-semacam federasi
bangsa-di mana identitas nasional lokal (Perancis, Jerman, Inggris, Belanda,
dan lainnya) berdampingan tanpa masalah dengan identitas Eropa. Namun, dan
menariknya jika dibandingkan dengan Indonesia, peran yang diberikan pada
ideologi kebersamaan adalah minor. Hanya demokrasi yang dikedepankan. Di
Eropa, yang diharapkan bakal menjadi unsur pemersatu utama ialah ekonomi,
diperkokoh oleh keadilan sosial, sesuai dengan angan-angan social democracy.
Ternyata sejarah tidak
mengenal asumsi. Kita bisa mempelajari banyak hal dari Referendum Inggris,
termasuk untuk Indonesia. Yang pertama ialah bahwa napas sejarah sangatlah
panjang. Yang tak terpikirkan bagi suatu generasi bisa menjadi kenyataan
generasi-generasi berikut. Di Eropa, 10 tahun yang lalu, tak terbayangkan
bahwa gerakan ultra-nasionalis (UKIP di Inggris, Front Nasional di Perancis
dan Pegida di Jerman) bisa turut menentukan agenda politik dan mengancam
eksistensi Uni Eropa. Tetapi, impian buruk kini sudah menjadi kenyataan.
Demikian pula di Indonesia. Bukankah identitas religius kini kerap dianggap
lebih utama, dalam kehidupan sosial, dari identitas kebangsaan? Suatu impian
buruk bagi mereka yang memimpikan suatu Indonesia yang majemuk, adil, dan
makmur.
Namun, apabila hal-hal
di atas ini sampai terjadi, bukanlah secara kebetulan. Di Eropa, angan-angan
kebersamaan yang dibangun atas dasar suatu ekonomi yang dinamis nan
berkeadilan sosial tinggi berbenturan dengan situasi di mana kapitalisme
global memperluas jarak sosial miskin-kaya serta mempermiskin rakyat kecil dengan
membuatnya terpaksa bersaing dengan buruh-buruh asing atau keturunan asing di
negaranya sendiri-dan, secara tidak langsung, di negara berkembang. Tidak
mengherankan jika hal ini mengancam posisi partai-partai sosial-demokrat
sebagai wakil dari rakyat kecil dan sebaliknya menguntungkan posisi
partai-partai ultra-kanan yang anti asing, bahkan kerap rasis. Xenofobia
menjadi wajah dari resistensi terhadap kapitalisme global.
Sudah jelas bahwa yang
terjadi di Eropa dan Inggris dengan Brexit-nya merupakan pelajaran bagi
Indonesia. Pertama, persatuan suatu entitas/bangsa majemuk tidak pernah
selesai. Harus senantiasa menjaga keseimbangan struktural di antara semua
komponennya. Kedua, pertumbuhan ekonomi an sich tidak cukup untuk menjamin
persatuan-pertumbuhan Inggris relatif tinggi. Jadi, apabila bentuk Indonesia
dari kapitalisme global gagal melahirkan rasa kebersamaan yang berkeadilan
dan sebaliknya mempertajam ketegangan antarkelompok (kelas sosial, suku,
pulau, agama, ras), tak mustahil-bahkan sudah mulai terjadi-bahwa
"agama" (atau etno-nasionalisme di dalam beberapa kasus), akan,
secara sadar atau tidak sadar, menjelma menjadi "bahasa perlawanan"
terhadap kapitalisme tersebut.
Yang jelas, kalau
suatu masyarakat gagal mengelola kompleksitas sosialnya, ia bisa saja
melahirkan badut rasis (Farage, Le Pen) yang tak mustahil menjadi monster. Di
Indonesia, hati-hati dengan calon badut yang sudah memperlihatkan batang
hidung sucinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar