Menakar Wacana Impor Rektor
Jejen Musfah ;
Dosen Pascasarjana FITK UIN
Jakarta;
Pemimpin Redaksi Majalah Suara
Guru
|
KORAN SINDO, 15 Juni
2016
Wacana pemerintah
mendatangkan dosen luar negeri untuk menjadi rektor universitas negeri di
Indonesia menimbulkan pro dan kontra. Ide impor rektor itu bertujuan
meningkatkan kinerja universitas, terutama bidang penelitian yang masih
rendah.
Asumsinya, kualitas
rektor berpengaruh signifikan terhadap kemajuan suatu universitas, khususnya
penelitian. Apakah rektor dari dosen luar negeri yang kompeten akan menjamin
kinerja universitas Indonesia menjadi lebih baik? Melihat faktor kualitas
rektor dalam kelemahan kinerja universitas Indonesia sah-sah saja, tetapi
terlalu menyederhanakan persoalan. Kinerja dan keunggulan universitas
dipengaruhi oleh banyak faktor, rektor sebagai pimpinan tertinggi salah
satunya.
Kriteria Rektor
Pengalaman
universitasuniversitas di Indonesia berikut ini menjelaskan bagaimana banyak
faktor yang perlu dibenahi dalam tata kelola universitas, sebelum kebijakan
impor rektor benar-benar terjadi. Indonesia tidak kekurangan dosen yang
kompeten. Banyak dosen berprestasi dalam bidang akademik, kreatif, inovatif,
bereputasi internasional, dan keluaran universitas terbaik dalam dan luar
negeri.
Dosen teladan atau
terbaik universitas bisa terpilih menjadi rektor, bisa juga tidak. Masalah
kita sesungguhnya bukan pada terkotak-kotaknya dosen ke dalam organisasi
kemasyarakatan (NU, Muhammadiyah, dan HMI), almamater, atau kesukuan. Tetapi,
bagaimana mereka bisa sepakat memilih rektor kompeten yang dianggap mampu
membawa kampus produktif melahirkan karya-karya inovatif dan diakui di dunia
internasional.
Kriteria kompetenbagi
rektor berbeda dengan kriteria kompeten seorang dosen yang ilmuwan. Seorang
ilmuwan yang menghasilkan banyak karya ilmiah di jurnal internasional,
menjadi pembicara di banyak seminar internasional, dan karenanya menjadi terkenal,
belum tentu cocok sebagai rektor universitas. Mampu melahirkan program
kreatif dan inovatif terkait publikasi ilmiah, sekaligus mampu memengaruhi
dosen berorientasi menjadi ilmuwan dengan reputasi internasional misalnya,
adalah dua kriteria yang harus dimiliki setiap calon rektor.
Pemilihan rektor
dengan kriteria kreatif dan inovatif inilah yang seharusnya dilakukan dosen
universitas di Indonesia, dari kelompok mana pun. Dalam hal ini, dua menteri
yang menangani pendidikan tinggi harus pula mengacu pada kriteria pemimpin di
atas.
Suara menteri dalam
pemilihan rektor, baik yang memiliki kuota 35 suara (Menristek Dikti) atau
yang memiliki kuota penuh (100%, yaitu menteri agama), harus diberikan kepada
calon dengan kualifikasi terbaik di antara calon-calon yang dimajukan oleh
universitas. Menggunakan wewenang menteri tersebut untuk memilih calon yang
benar-benar bermutu dan berintegritas jauh lebih baik daripada mengimpor
rektor.
Kemampuan Meneliti
Mengundang dosen luar
negeri menjadi rektor universitas negeri di Indonesia tidak otomatis akan
meningkatkan reputasi universitas di level internasional. Karena, kendala
rektor kita adalah lemahnya kemampuan meneliti dan menulis dosen. Publikasi
ilmiah universitas negeri yang rendah bukan semata ”kesalahan” rektor, tetapi
lemahnya kompetensi meneliti para dosen.
Peluang penelitian
bagi para dosen sudah terbuka lebar, baik di Kemenristek Dikti, di Kementrian
Agama (Kemenag), maupun di kampus masingmasing. Dananya cukup besar meskipun
masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan rasio jumlah dosen, apalagi
dengan dana riset negara-negara berkembang lain.
Banyak dosen
memperoleh dana penelitian, dari yang Rp10 juta hingga Rp200 juta, atau
bahkan lebih, tetapi hasil penelitiannya tidak menghasilkan sesuatu yang baru
sehingga tidak ”dibaca” ilmuwan dunia. Penelitian mereka hanya berakhir di
jurnal atau di lemari perpustakaan.
Maka itu, para rektor
universitas negeri saat ini sedang mendorong para dosen untuk meningkatkan
kemampuan meneliti, meneliti, dan menulis karya ilmiah pada satu sisi, dan
mengirim para dosen kuliah S-2 dan S-3 pada sisi yang lain. Demikian pula
yang dilakukan Kemenristek Dikti, Kemenag, dan Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan (LPDP). Di Indonesia baru ada 5.109 profesor, padahal yang
dibutuhkan 22.000.
Saat ini masih ada
sekitar 50.000 dosen yang masih lulusan S-1. Sesungguhnya Indonesia sedang
dalam fase bergerak maju dalam bidang penelitian dan publikasi internasional.
Memang belum sesuai harapan. Peringkat universitas-universitas ternama
Indonesia masih jauh di bawah Malaysia dan Singapura. Berbagai pihak tidak
berpangku tangan menanggapi ketertinggalan tersebut.
Dana penelitian
tersedia, langganan jurnal internasional sudah dilakukan, penelitian
kolaboratif dengan dosen luar negeri mulai dijalin, penerbitan jurnal
internasional sudah menggeliat, dan workshop penulisan artikel ilmiah
bertebaran. Lalu, apa yang harus dibenahi dalam pendidikan tinggi kita,
khususnya bidang penelitian dan publikasi ilmiah, selain mengganti rektor?
Pertama, dosen dan
menteri terkait memilih calon rektor universitas negeri dari dalam negeri dan
bisa dosen dari dalam atau luar universitas, yang benar-benar kompeten dan
memiliki kriteria pemimpin yang kreatif dan inovatif. Calon rektor dipilih
bukan karena ia berambisi terhadap jabatan itu, tetapi minim prestasi dan
lemah integritas. Dosen dan menteri harus berjiwa layaknya seorang ilmuwan
yang keputusannya harus objektif dan tindakannya profesional.
Tidak memaksakan
seseorang yang tidak kompeten dalam jabatan sangat strategis semisal rektor.
Sekali lagi, kriteria rektor berbeda dengan kriteria seorang ilmuwan. Rektor
yang terbukti tidak mampu meningkatkan publikasi ilmiah kampusnya di level
internasional berkenan mengundurkan diri atau tidak dipilih lagi pada periode
kedua.
Pada saat dilantik,
rektor menandatangani pakta integritas tentang hal ini. Kedua,rektor
menyeleksi dosen dalam rumpun ilmu masingmasing untuk fokus pada penelitian
dan publikasi artikel di jurnal nasional terakreditasi dan jurnal
internasional, selain mengajar. Selama mereka tergabung dalam ”dosen-peneliti”–
katakanlah demikian, mereka tidak boleh menjabat di kampus seperti rektor,
dekan, ketua prodi, kepala pusat bahasa, kepala perpustakaan, dan kepala
pusat penelitian.
Dosen kompeten dalam
penelitian dan menulis artikel ilmiah sering mandul dalam menghasilkan karya
ilmiah setelah menduduki jabatan strategis di kampus. Dosen-peneliti juga
tidak diberi jam mengajar yang banyak–seperti dosen dengan jabatan, tetapi
wajib menghasilkan penelitian yang berpotensi publikasi nasional terakreditasi
atau internasional, minimal satu tahun satu artikel.
Dosen-peneliti yang
kemampuan menelitinya masih standar ditingkatkan melalui pelatihan intensif
di bawah bimbingan dosen-peneliti yang sudah ahli dan berpengalaman.
Indonesia memiliki banyak dosen yang kompeten, kreatif, dan inovatif.
Tugas menteri dan
rektor merangkul mereka, menempatkan mereka ke dalam posisi yang tepat,
mengarahkan, memberi ruang dan fasilitas yang memadai untuk lahirnya
karya-karya baru, dan mengembangkan yang belum matang.
Untuk memperkuat dosen
dan universitas negeri, bisa juga memanggil sebagian kecil anak-anak bangsa
yang ”bersinar terang” di universitas dan perusahaan luar negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar