Borges dan Cerita yang Meragukan
AS Laksana ;
Sastrawan; Pengarang; Kritikus
Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 27 Juni
2016
ADA banyak penulis
bagus di muka bumi, tapi bagi saya Jorge Luis Borges (1899–1986), penulis
Argentina, adalah yang paling menjengkelkan.
Kita sudah sering
mendengar atau membaca tuturan orang mengenai fiksi dan realitas. ”Masalah
mendasar pada fiksi adalah ia harus bisa dipercaya. Realitas boleh saja tidak
masuk akal,” kata Tom Wolfe, penulis dan wartawan sekaligus salah seorang
pelopor New Journalism. Satu Tom lagi, yakni Tom Clancy, menyatakan hal yang
kurang lebih sama.
Banyak contoh yang
bisa kita sebutkan tentang hal itu. Misalnya, di dalam realitas seseorang
bisa mendapatkan keberuntungan yang tidak diduga-duga. Dia bertemu teman lama
yang memberinya pekerjaan seperti yang diinginkannya tepat saat dirinya
membutuhkan pekerjaan itu.
Di dalam fiksi, jika
Anda menceritakan orang yang terlunta-lunta mencari pekerjaan, kemudian
mendapatkan begitu saja pekerjaan itu karena pemberian teman lama, fiksi Anda
akan dianggap tidak masuk akal dan itu berarti fiksi yang buruk. Para pembaca
tidak memercayai cerita yang tidak masuk akal dan mereka akan menganggap Anda
penulis yang kurang sanggup menggunakan nalar.
Di dalam realitas,
seseorang yang melakukan pembunuhan dan divonis penjara 24 tahun karena
kejahatan yang dilakukannya bisa lancar-lancar saja mencalonkan diri menjadi
ketua partai politik setelah menjalani masa hukuman hanya empat setengah
tahun.
Kemudian, dia
dipuja-puja oleh para penjilatnya dan orang-orang itu mendukungnya maju dalam
pemilihan presiden. Dan dia betul-betul terpilih menjadi presiden. Seandainya
hal itu terjadi di dalam fiksi, pembaca tidak akan percaya bahwa ada
masyarakat sedungu itu, memilih seorang pelaku kejahatan menjadi presiden.
Realitas juga memberi
kita fakta bahwa seseorang yang sedang dikurung di dalam sel penjara bisa
terus menjadi ketua umum PSSI dan merasa tidak perlu mundur karena malu atau
tertekan. Mungkin dia merasa tidak bersalah.
Tentu tidak selamanya
hal-hal yang tidak masuk akal itu buruk. Ada juga hal baik yang tidak masuk
akal di dalam realitas. Ketika saya menonton Unforgiven, garapan Clint
Eastwood, saya tidak percaya bahwa itu betul-betul garapan dia.
Clint seumur hidup
hanya bermain film tembak-tembakan dengan akting yang begitu-begitu saja,
tidak banyak bicara dan lebih banyak menembak. Ketika dia menggarap film
sendiri, menyutradarai dirinya sendiri sebagai pemain utama, ternyata filmnya
bagus. Sulit dipercaya bahwa aktor yang sepanjang karirnya di dunia film
hanya menembak ke sana kemari itu bisa membuat film bagus.
Film tersebut beredar
pada 1992 dan saya menyangka itu film pertama Clint Eastwood. Rupanya, itu
film ke-16 dia. Jadi, sambil menembak ke sana-kemari, Clint Eastwood sudah
menyutradarai 15 film –tidak satu pun saya kenal– sebelum melahirkan
Unforgiven yang memberinya dua piala Oscar untuk film terbaik dan sutradara
terbaik. Itu sebuah capaian yang tidak terduga. Skenario film tersebut
selesai ditulis pada 1976 dan ditolak oleh siapa pun karena dianggap terlalu
remeh serta kacangan.
Dari sebuah website,
saya mendapatkan informasi bahwa Sonia Chernus, kolega Clint Eastwood dan
seorang penulis skenario, menulis memo kepada Clint setelah membaca skenario
Unforgiven. ”Sebaiknya kita buang saja barang sampah ini... Saya tidak
menemukan secuil pun hal bagus di dalamnya. Jadi, saya kira lebih baik kita
lupakan saja,” tulisnya.
Clint menyepakati
saran tersebut dan tidak pernah membaca skenario itu. Kemudian, saat mencari
cerita untuk film baru yang akan dikerjakan, dia membaca The Cut-Whore
Killings –judul awal Unforgiven– dan tertarik untuk memfilmkannya. Dia tidak
menyadari bahwa skenario itulah yang dimaksud oleh Sonia Chernus.
Pada 2003 dia
melahirkan satu lagi hal yang tidak masuk akal. Dia menyutradarai Mystic
River, dan bagus lagi. Film itu meraih dua piala Oscar, satu untuk Sean Penn
(aktor utama) dan satu lagi untuk Tim Robbins (aktor pembantu). Saya sudah
percaya bahwa Clint Eastwood bisa membuat film bagus. Yang tidak masuk akal
sekarang ini adalah Sean Penn.
Dia aktor kelas
kambing dan mendapatkan perhatian dari media hanya karena suatu saat pernah
menjadi suami penyanyi Madonna. Kualitas terbaik yang dia miliki di masa
mudanya adalah mabuk-mabukan dan menghajar orang. Dalam Mystic River dia
bermain sangat bagus. Saya bahkan tidak pernah berpikir bahwa dia bisa
berakting.
Kadang saya merindukan
realitas tidak masuk akal seperti itu. Saya pikir akan sangat menyenangkan
ketika pada suatu hari, yang mungkin tidak akan pernah terjadi, mendadak ada
kabar bahwa Eva Arnaz atau Mandra membuat film, dan film mereka bagus sekali.
Tetapi, kita jauh
lebih sering mendapati hal-hal tidak masuk akal yang buruk. Mungkin itu
konsekuensi wajar saja dari kondisi kita. Semakin awut-awutan sebuah
masyarakat, ia akan melahirkan semakin banyak hal yang tidak masuk akal. Dan
kita tidak bisa berbuat apa-apa terhadap realitas. Sebab, kehidupan dan
realitas di dalamnya adalah ciptaan Tuhan. Setidaknya itulah yang diyakini
mayoritas penduduk bumi.
Jadi, realitas boleh
tidak masuk akal dan kita tidak bisa memprotesnya karena ia ciptaan Tuhan.
Fiksi harus masuk akal karena ia ciptaan nalar manusia.
Realitas di dalam
fiksi harus benar-benar dijaga sebab-akibat dan nalarnya serta struktur
penceritaannya oleh si penulis. Rangkaian kejadian demi kejadian di dalamnya,
seabsurd apa pun, harus bisa dipertanggungjawabkan dan masuk akal dalam
logika fiksi itu.
Bahkan, dalam fiksi yang
bukan realis pun, setiap penulis harus meyakinkan para pembacanya bahwa apa
yang dia tulis itu benar-benar mirip ”kisah nyata”. Semua tokohnya bernyawa,
berdarah, berdaging, dan memiliki kehendak masing-masing.
Di sinilah Borges
berbeda dari kebanyakan penulis. Dia justru menulis cerita untuk membuat kita
ragu apakah semua itu sungguh-sungguh terjadi atau tidak. Dia menuturkan
setiap ceritanya dengan ketenangan dan wibawa orang yang memiliki banyak
pengetahuan. Beberapa ceritanya menggunakan ayat Alquran sebagai kutipan
pembuka. Sebuah cara menakjubkan untuk membuat kita percaya. Tetapi, kita
tidak tahu apakah dia sedang berbohong atau menceritakan hal yang
sungguh-sungguh terjadi.
Saya jengkel sekali setiap selesai membaca
cerita-ceritanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar