Nestapa "Justice Collaborator"
Emerson Yuntho ;
Anggota Badan Pekerja Indonesia
Corruption Watch
|
KOMPAS, 28 Juni 2016
Majelis hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam putusannya, Kamis (9/6),
membatalkan status justice collaborator (saksi pelaku yang bekerja sama
dengan penegak hukum) terhadap terdakwa Abdul Khoir, Direktur Utama PT Windhu
Tunggal Utama.
Majelis hakim menilai,
penetapan Abdul Khoir sebagai justice collaborator oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) tidak tepat karena ia merupakan pelaku utama dalam perkara yang
didakwakan kepadanya. Abdul dinilai berperan aktif menggerakkan pengusaha
lain dan terbukti memberikan suap kepada pejabat di Kementerian Pekerjaan
Umum dan sejumlah anggota Komisi V DPR. Hakim lalu menjatuhkan vonis empat
tahun penjara. Lebih berat dari tuntutan jaksa KPK, yaitu hukuman 2,5 tahun
penjara.
Vonis empat tahun
penjara pada akhirnya meruntuhkan harapan Abdul Khoir selaku justice
collaborator. Abdul sebelumnya berharap, dengan menjadi justice collaborator
dan membantu mengungkap pelaku-pelaku lainnya, ia akan mendapatkan
keringanan, bahkan pembebasan hukuman. KPK sudah menuntutnya ringan, tetapi
putusan hakim pengadilan tipikor berkata lain. Hakim meniadakan statusnya
sebagai justice collaborator dan menghukum lebih berat daripada tuntutan
jaksa.
Beda cara pandang
Kisah nestapa yang
dialami seorang justice collaborator bukan kali ini saja terjadi. Pada 2013,
hakim pengadilan tipikor juga menolak status justice collaborator terhadap Kosasih
Abbas, terdakwa dalam perkara korupsi proyek solar home system di Kementerian
ESDM dan menghukumnya empat tahun penjara.
Vonis cukup berat
terhadap Abdul Khoir dan Kosasih Abbas menunjukkan adanya perbedaan cara
pandang antar-aparat penegak hukum atas syarat dalam menentukan status dan
perlindungan sebagai justice collaborator. Meski secara umum ketentuan
mengenai justice collaborator telah diatur dalam UU tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, secara khusus masing-masing lembaga ternyata memiliki syarat
dan perlakuan yang berbeda terhadap seorang justice collaborator.
Untuk menjadi justice
collaborator di KPK, saksi pelaku harus memenuhi syarat, antara lain,
mengakui kejahatannya, mengembalikan aset atau hasil korupsi kepada negara,
kemauan membongkar pelaku atau perkara lain, dan kesediaan memberikan
kesaksian di persidangan dan konsisten dengan berita acara pemeriksaan (BAP).
Dalam catatan KPK,
selama 2015 hingga Juni 2016, sebanyak 48 tersangka korupsi yang ditangani
KPK mengajukan permohonan sebagai justice collaborator. Dari 48 permohonan,
baru 11 orang yang diterima pengajuannya sebagai justice collaborator.
Selebihnya, 26 permohonan, ditolak karena tak memenuhi syarat dan 11 orang
permohonannya masih dalam proses.
Bentuk perlindungan
yang diberikan KPK terhadap justice collaborator mencakup perlindungan fisik
dan hukum. Perlindungan fisik antara lain melakukan pengawasan dan
pengawalan, penggantian biaya hidup dan pemindahan ke "rumah aman".
Adapun perlindungan hukum yang diberikan antara lain mendapatkan penasihat
hukum, menerima informasi perkembangan perkara dan keringanan tuntutan hukum,
serta rekomendasi untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
Sementara menurut
hakim-sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung No 4/2011-ada beberapa pedoman untuk
menentukan seseorang sebagai justice collaborator, yaitu merupakan salah satu
pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan
pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai
saksi di dalam proses peradilan. Bagi hakim, pelaku utama tidak layak menjadi
justice collaborator.
Ganjaran yang dapat
diberikan hakim terhadap justice collaborator adalah menjatuhkan pidana
percobaan bersyarat khusus atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang
paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara
dimaksud.
Ketidaksamaan
pandangan antara hakim dan penegak hukum lain, termasuk KPK, merupakan salah
satu faktor penghambat dalam pelaksanaan pemberian perlindungan bagi justice
collaborator selama ini. Hambatan lain yang dijumpai adalah ketika justice
collaborator yang dilindungi kemudian dilaporkan ke aparat penegak hukum,
misalnya dalam kasus pemalsuan surat, keterangan palsu, ataupun pecemaran
nama baik. Tidak sedikit pula justice collaborator yang mengalami ancaman
atau gangguan terhadap keselamatan diri dan keluarganya.
Sejumlah hambatan
tersebut sudah selayaknya dicari jalan keluarnya agar para justice
collaborator tak jadi kapok atau menyesal karena telah membantu penegak hukum
menuntaskan perkara korupsi. Tanpa perlindungan atau reward yang maksimal,
termasuk pengurangan hukuman, saksi pelaku akan berpikir ulang jika ditawari
atau mengajukan status sebagai justice collaborator. Padahal, selama ini
peran justice collaborator sangat signifikan dalam mengatasi kesulitan
penegak hukum mengungkap pelaku ataupun perkara korupsi kelas kakap.
Dalam catatan
Indonesia Corruption Watch (ICW), sejumlah perkara korupsi yang ditangani KPK
berhasil terungkap karena peran justice collaborator. Sebut saja perkara
korupsi dalam proyek Hambalang, sejumlah perkara suap yang melibatkan anggota
DPR, suap dana bantuan sosial di Provinsi Sumatera Utara, dan suap kepada
hakim Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan. Pelaku korupsi yang pernah menyandang
status justice collaborator dari KPK antara lain Agus Condro, Wahid Muharam,
Kosasih Abbas, Mindo Rosalina, Abdul Khoir, Rinelda Bandaso, dan Yagari
Bhastara Guntur.
Perkuat koordinasi
Nestapa yang menimpa
Abdul Khoir dan Kosasih Abbas mestinya menjadi momentum bagi masing-masing
penegak hukum untuk melakukan evaluasi terhadap pemberian perlindungan kepada
justice collaborator. Untuk menyamakan persepsi, memperkuat koordinasi dan
mengatasi hambatan teknis antar-penegak hukum, maka sebaiknya perlu disusun
peraturan bersama antara Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Mahkamah
Agung, Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, dan KPK
tentang pelaksanaan perlindungan bagi justice collaborator.
Membangun komitmen
bersama antar-instansi dan penegak hukum ini penting dilakukan agar, ke
depan, justice collaborator benar-benar dilindungi, tidak lagi mengalami
nestapa, sehingga upaya pengungkapan perkara korupsi bisa dituntaskan secara
maksimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar