Potensi Konflik Maritim Berbahaya
René L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 27 Juni 2016
Dalam beberapa insiden
kapal nelayan asal RRT di perairan Natuna, sejak tahun 2010 dan terakhir Juni
2016, tidak ada titik temu penyelesaian, diikuti penangkapan di perairan
maupun tuduh-menuduh secara diplomasi. Beijing membela diri, insiden kapal
ikannya dengan Indonesia terjadi di chuantong yuchang (kawasan penangkapan
ikan tradisional) tanpa menjelaskan di mana batas-batas koordinatnya.
Para diplomat di
beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, selalu berusaha untuk
menahan diri menerima penjelasan Beijing yang selalu diungkapkan sebagai
"hak sejarah", termasuk di dalam pengertian ini yang disebut
"perairan sejarah" yang diwariskan RRT. Beijing pun seenaknya
menuduh dalam insiden perairan Natuna, Indonesia tidak mematuhi hukum
internasional, hukum laut UNCLOS, dan lainnya, yang selalu disampaikan secara
verbal bukan tertulis.
Setelah tertangkapnya
kapal ikan Guibeiyu 27088, Mei lalu, yang juga membawa buku peta setebal 109
halaman berjudul Nanhai Yuchang Zuoye Tuji (Peta Kawasan Penangkapan Ikan
Laut Selatan) terbitan Agustus 1994, kita pun mulai memahami apa yang
dimaksud Beijing sebagai "kawasan ikan tradisional".
Dari buku peta ini,
secara jelas tergambar "klaim kawasan ikan tradisional" tersebut.
Di Kepulauan Natuna, klaim ini berbentuk kotak (lihat peta) dengan luas
sekitar 123.500 kilometer persegi dengan Pulau Natuna di tengahnya. Deskripsi
peta ini yang selalu kita sebut "Natuna punya RI, perairannya punya
RRT".
Seluruh kawasan Laut
Selatan yang disengketakan dengan beberapa negara anggota ASEAN, sudah
terbagi dalam kotak-kotak kawasan ikan tradisional ini. Buku peta ini jelas
menamakannya dengan kawasan "Nansha" (Laut Selatan), sebutan
Beijing untuk Laut Tiongkok Selatan.
Tuduhan Beijing ke
Indonesia tentang insiden kapal ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE)
Indonesia atas 11 kapal ikannya dua pekan lalu dan berakhir ditahannya kapal
ikan Qiandanzhou 19038 oleh TNI AL, jelas tidak masuk akal. Klaim wilayah ZEE
Indonesia di wilayah paling utara ini, memiliki koordinat dan sedang
dirundingkan dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
Beijing tidak pernah
berbicara soal klaim wilayah perairan ZEE Indonesia ini, selalu menuduh
memiliki persoalan "perairan tradisional" dengan Jakarta. Dalam
konteks ini, kita pun kembali bertanya, melihat insiden selama dua bulan
terakhir ini di wilayah perairan yang berdekatan, bukannya menunjukkan
Beijing melanggar peraturan moratorium penangkapan ikan tahunannya dan
diam-diam membiarkan nelayannya melakukan praktIk kejahatan ilegal
penangkapan ikan (IUU)?
Kita mencatat, nilai
industri perikanan RRT tahun 2013 meningkat sebesar 1,9 triliun yuan (sekitar
Rp 3.875,490 triliun), dan ikan menjadi ekspor utama sektor pertaniannya. Ada
10.000 perusahaan pemroses ikan tahun 2013 yang mempekerjakan sekitar 400.000
orang. Total industri makanan kelautan dan perikanan RRT menyediakan sekitar
14,5 juta orang pekerja dan didukung kapal ikan yang mencapai 695.000 buah.
Tahun 2010, nelayan
RRT berpenghasilan 50 persen lebih banyak dibandingkan para petani di
desa-desa. Beijing memberikan subsidi setiap tahunnya sebesar 4 miliar dollar
AS untuk industri perikanan ini. Tahun 2014, kontribusi Asia mencakup
sepertiga ekspor makanan laut global, dan RRT sendiri menguasai porsi sebesar
12,5 persen.
Kalau Beijing tidak
mau menyelesaikan dan menjelaskan "kawasan ikan tradisional" secara
diplomasi, bisa dipastikan akan banyak insiden dan penangkapan terjadi,
termasuk kecelakaan, aktivitas ilegal, maupun konfrontasi. Di seluruh Laut
Selatan, dewasa ini ada 1,72 juta kapal ikan yang bergerak, tanpa penataan
dan pengelolaan kedaulatan maritim, akan banyak negara tetangga yang terlibat
dalam konfrontasi berebut ikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar