Mudik - isasi vs Urbanisasi
Ahmad Suaedy ;
Anggota Ombudsman Republik
Indonesia
|
JAWA POS, 22 Juni
2016
KATA ''mudik'' dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) diartikan sebagai ''pulang ke kampung halaman''. Arti kata
mudik itu dalam konteks kini, tampaknya, merupakan reaksi terhadap kata
serapan dari bahasa Inggris ''urbanisasi''' yang dalam KBBI diartikan sebagai
''perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah)
ke kota besar (pusat pemerintahan)''.
Sebagai reaksi, kata mudik mengandung semangat
individual, sporadis, dan kesementaraan. Berbeda dengan urbanisasi yang
sebaliknya mengandung semangat masal dan permanen.
Karena perbedaan itu, dalam studi modernisasi
dan pembangunan, urbanisasi memperoleh eksplorasi kajian yang sangat meluas.
Sebaliknya, mudik tampaknya hanya memperoleh perhatian sangat kecil.
Namun, perubahan masyarakat Indonesia kini
demikian cepat sehingga, tampaknya, mudik harus mulai memperoleh kajian yang
sebanding dengan urbanisasi. Tidak seperti contoh oleh KBBI tentang mudik,
''seminggu menjelang Lebaran sudah banyak orang yang mudik.''
Sebagaimana
kita perhatikan belakangan ini, orang berduyun-duyun mudik tidak hanya saat
Lebaran Islam, melainkan hampir semua hari libur panjang yang setidaknya
lebih dari dua hari.
Makin banyak hari libur yang saling
bergandengan dengan Sabtu-Minggu, akan semakin banyak orang yang mudik secara
berduyun-duyun. Di sini, saya ingin mengaitkan saling reaksi dua kata
tersebut dengan strategi pembangunan.
Desa
Tidak perlu ditambah ''isasi'' pada kata mudik
kalau diartikan sebagaimana dalam KBBI. Isasi dalam kata mudik diperlukan untuk
memberi arti lebih daripada yang selama ini kita pahami. Yaitu, bersifat
masal dan permanen.
Setidak-tidaknya memiliki pengaruh yang tidak hanya yang
bersifat fisik, melainkan juga nonfisik seperti ekonomi, permodalan, dan
kebudayaan.
UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dalam arti
tertentu seharusnya hendak membalik logika pembangunan yang berpengaruh
terhadap urbanisasi yang memiliki semangat masal, permanen, dan sentralistis.
Sebaliknya, mudikisasi menjadi lawannya.
Dengan UU Desa tersebut, seharusnya ada
pengaruh terhadap arti dan posisi mudikisasi. Desa menjadi sentral dari
kiblat pembangunan dan migrasi atau perpindahan orang secara masif. Atau,
dalam adagium kritik terhadap pembangunan sebagai modernization from below,
modernisasi dari bawah atau pinggiran.
Mudikisasi, dengan demikian, tidak lagi
berarti pulang ke pinggiran dan sporadis, melainkan kembali ke pusat
pembangunan, bersifat masal, dan permanen. Dalam strategi pembangunan yang
sentralistis di masa lalu, desa memang hanya menjadi pinggiran dan bahkan
dilepaskan dari agenda pembangunan itu sendiri. Paling banter mereka hanya
diberi subsidi untuk mencegah urbanisasi lebih deras dan memberi efek kepada
orang desa sekadar bisa bertahan hidup, bukan lebih sejahtera.
Meski belum sebesar anggaran pendidikan, sejak
APBN 2015, anggaran untuk desa menunjukkan ke arah peran desa sebagai sentral
dinamika pembangunan tersebut. Dari anggaran 2015 untuk pembangunan desa
sebesar Rp 20,7 triliun, pada APBN 2016, angkanya naik menjadi Rp 47 triliun,
atau ada kenaikan dua kali lipat lebih dari APBN 2015. Dan, 12,3 persen dari
angka tersebut akan ditransfer langsung ke desa.
Menurut Ahmad Erani Yustika, Dirjen
Pembangunan dan Pengembangan Masyarakat Desa (PPMD) Kemendes PDT, ada tiga
pilar penjaga proyek kemandirian desa. Yaitu, jaringan komunitas desa (Jamu
Desa), lumbung ekonomi desa (Bumi Desa), dan lingkar budaya desa (Karya
Desa).
Ketiga-tiganya saling terkait tidak hanya
untuk memberdayakan desa dari sisi ekonomi semata, melainkan juga kebudayaan,
kreativitas, dan modal. Bahkan juga dibangun badan usaha milik desa (BUMDes)
sebagai sarana untuk membangun tradisi kewiraswastaan (entrepreneurship) masyarakat desa.
Namun, sebagaimana tecermin dari tujuan UU
Desa tersebut, betapa pun pentingnya desa kini tetap belum menjadikannya
sebagai sentral dari proses modernisasi dari bawah. Melainkan masih sebatas
pelengkap.
Sebagai proses awal itu masih bisa dipahami
karena masih perlu berbagai kesiapan infrastruktur, sumber daya manusia,
kebudayaan, dan tradisi untuk menjadikannya benar-benar sentral pembangunan
dan modernisasi.
Titik Rawan
Meski demikian, tanpa mengurangi optimisme
proses perubahan yang sedang terjadi, buru-buru harus diingatkan tentang
adanya titik rawan atau tantangan yang segera harus dihadapi desa, ketika
menjadi lokus pusat perubahan. Dengan derasnya uang masuk ke desa dan mungkin
migrasi, nantinya tidak hanya APBN, melainkan juga hasil dari dinamika perubahan,
termasuk perdagangan, maka dengan sendirinya akan ada yang menyertai
datangnya uang tersebut (follow the
money).
Tiga tantangan mungkin harus segera diatasi
dengan cara terutama melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia serta
daya tahan kebudayaan dan tradisi, yaitu konsumerisme, radikalisme, dan
korupsi. Dengan peningkatan penghasilan masyarakat, akan mudah datang
produk-produk yang bersifat konsumtif -bukan tidak mungkin black market-
seperti elektronik, kendaraan bermotor, dan fashion -untuk menyebut sebagian-
yang perubahannya sangat cepat.
Jika tidak bisa dikendalikan, masyarakat akan
terjerembap sebagaimana cerita petani cengkih atau tembakau yang ketika panen
dan booming harga membeli kulkas. Padahal, rumahnya belum teraliri listrik.
Radikalisme, baik dalam pemahaman agama atau
yang lain, adalah hal yang penting untuk diberi perhatian. Seperti sudah
taken for granted bahwa radikalisme adalah salah satu reaksi terhadap
globalisasi dan perubahan-perubahan yang cepat. Desa sebagai sentral
perubahan, sebagaimana kota, bukan tidak mungkin akan berubah menjadi
pusat-pusat radikalisme jika tidak segera diantisipasi.
Ketiga adalah korupsi. Entitas yang dulu
terpinggirkan dan kemudian menjadi pusat dengan mendapat gelontoran sejumlah
uang sangat menggoda untuk menggunakannya secara tidak terkontrol. Apalagi
dibarengi tumbuhnya konsumerisme. Kapasitas tata kelola pemerintahan dan
keuangan serta tradisi integritas adalah kunci bagi kesuksesan menjadikannya
desa sebagai titik berangkat modernisasi.
Dengan demikian, di luar optimisme peluang
untuk terjadinya mudikisasi di mana desa menjadi sentral perubahan,
pembangunan, dan destinasi migrasi, harus segera diingatkan bagai pesan orang
tua ketika anaknya ingin pergi ke kota: hati-hati dengan pengaruh
konsumerisme, radikalisme, dan korupsi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar