Keindonesiaan yang Rapuh
Listiyono Santoso ;
Dosen Ilmu Filsafat Dan Etika
di Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Airlangga
|
JAWA POS, 25 Juni
2016
PENUTUPAN warung Bu
Saeni oleh Satpol Pamong Praja (PP) Kota Serang, Banten, sesungguhnya merupakan
peristiwa biasa dan lumrah. Dalih satpol PP pun jelas, menjalankan Perda
Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan, dan Penanggulangan
Penyakit Masyarakat. Serta, Surat Edaran Wali Kota Serang Nomor
451.13/556-Kesra/2016 tentang Imbauan Bersama Menyambut Bulan Suci Ramadan
terkait jam operasional rumah makan.
Tidak ada yang
istimewa dari peristiwa tersebut. Satpol PP adalah alat negara yang memiliki
keabsahan untuk bertindak atas nama negara. Sebagai alat negara, satpol PP
lebih ’’pantas’’ melakukan razia terhadap penyakit masyarakat daripada
organisasi masyarakat lain.
Negara adalah lembaga
tertinggi dalam masyarakat. Tidak boleh ada organisasi dalam masyarakat yang
kekuasaannya melebihi negara. Negara dituntun oleh kebajikan publik, bukan
orang per orang.
Dalam kasus Bu Saeni,
apakah perintah perda dan razia satpol PP sudah berdasar pada kebajikan
publik, ini yang perlu dipersoalkan. Sebab, jika negara menjalankan fungsinya
dengan baik, tidak ada alasan menolak kehadiran negara.
Negara bukanlah milik
pribadi atau golongan. Negara harus bersifat netral kepada semua warga negara
agar kepentingannya tidak terganggu oleh keberpihakan yang tidak adil.
Netralitas ini penting
agar ia tidak terjebak pada dominasi kelompok besar atau dikendalikan oleh
sejumlah kecil orang. Dalam keindonesiaan, tidak ada mayoritas dan minoritas,
yang ada hanyalah warga negara. Di hadapan negara, setiap warga negara berada
dalam posisi dan kedudukan yang setara.
Sejarah kebangsaan kita adalah sejarah
keragaman suku dan agama. Sejarah kita adalah sejarah kerukunan satu sama
lain. Bangsa ini memiliki toleransi cukup tinggi terhadap yang berbeda. Tidak
perlu ada yang mengajarkan tentang toleransi, karena kita sudah
mempraktikkannya.
Masyarakat alamiah
kita sudah terbiasa dengan perbedaan. Semua agama hidup berdampingan dengan
cara damai. Etnisitas yang berbeda juga nyaman hidup bersama tanpa
menghadirkan ketegangan yang berarti. Yang puasa maupun yang tidak puasa bisa
berjalan secara baik. Yang besar melindungi yang kecil. Begitu sebaliknya,
yang kecil tidak pernah merasa menjadi kerdil.
Toleransi itu nature keindonesiaan kita. Tak perlu
ada perintah lewat spanduk-spanduk, slogan-slogan, apalagi
perundang-undangan. Tegasnya, tidak perlulah keindonesiaan kita diajari
bagaimana harus bersikap toleran kepada yang berbeda. Sebab, memang inilah
watak dari kepribadian bangsa Indonesia.
Tapi, belakangan,
sifat kealamiahan kita ini mulai terusik. Faktor utamanya adalah menguatnya
intoleransi sosial dalam masyarakat. Tidak lagi menjadi gejala, tetapi sudah
berkembang menjadi fakta.
Fenomena Bu Saeni dan
pembatalan 3.143 peraturan daerah (perda) bermasalah oleh negara menjadi
salah satu titik picunya. Ada semangat menghadap-hadapkan persoalan tersebut
dengan agama sebagai isu sensitifnya.
Logika yang disusun
pun terjebak pada fallacy (sesat pikir) yang berbahaya. Yakni, memberikan
analog pembanding antara menutup warung di bulan Ramadan dengan upacara Nyepi
di Bali atau pemasangan pohon Natal di mal-mal. Begitu pun dengan pembatalan
ribuan perda oleh pemerintah seolah menjadi pembuktian ketidakadilan yang
diciptakan negara.
Pembatalan perda
bermasalah menjadi amunisi untuk menyerang negara ke area sensitif, yakni
kezaliman terhadap agama tertentu. Padahal, perda bermasalah yang dibatalkan
itu beragam, tidak hanya soal perda terkait dengan toleransi.
Tapi, karena
menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, menghambat kemudahan berusaha, dan
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Hanya 25 persen perda
bermasalah yang dibatalkan terkait dengan toleransi.
Publik kita sudah
telanjur membuat kesimpulan bahwa setiap hal yang berbau agama mesti benar,
termasuk dalam menyusun sebuah perda. Menolaknya, pasti dianggap menolak
agama (tertentu). Realitas inilah yang saat ini terjadi. Pembatalan perda
intoleran –akhirnya– dianggap sebagai bagian dari misi agama tertentu
meminggirkan agama lainnya.
Keindonesiaan kita
sepertinya memang mulai retak. Keindonesiaan yang disusun dari keragaman
suku, agama, dan antar golongan mulai dihadap-hadapkan satu sama lainnya.
Keindonesiaan kita
mulai dibelah. Dibelah antara kelompok agamis dan kelompok sekuler. Mirip
situasi pemilihan presiden lalu, keindonesiaan kita juga dibelah dalam dua
kubu yang saling berseberangan.
Realitas ini tentu
saja berbahaya. Ada bahaya laten di negeri ini berupa sektarianisme dan
sekularisme. Yang keduanya memang tengah memperebutkan ruang (kosong)
keindonesiaan yang mulai jauh dari kepribadian Pancasila.
Ada banyak generasi
sektarian berkuasa di berbagai daerah yang menciptakan perda yang bermasalah.
Yang sektarian mencipta perda bermuatan intoleransi sosial, yang sekuler
melahirkan perda yang memberi peluang berkembangnya ekonomi
liberal-kapitalis.
Yang sektarian
meletakkan sudut pandang ’’agama’’ sebagai legitimasinya, yang liberal
menggunakan hak asasi manusia sebagai pelindungnya. Yang satu semangat
men-agama-kan negara, yang satunya bersemangat me-liberal-kan negara.
Keduanya jelas bukan
kepribadian alamiah Indonesia. Kepribadian kebangsaan kita sedang menghadapi
ancaman dari dua ideologi ini. Ke depan, mungkin kita bisa mandiri di bidang
ekonomi atau berdaulat di bidang politik, tapi kita tidak berkepribadian di
bidang kebudayaan. Kepribadian kebangsaan kita tak lagi nature keindonesiaan, melainkan sektarian atau liberal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar