Kisruh Hukum Pembatalan Perda
Moh Mahfud MD ;
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN): Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 18 Juni
2016
Jagat hukum Indonesia
dikisruhkan lagi oleh berita pembatalan atas tidak kurang dari 3.143
peraturan daerah (perda) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Pasalnya,
bisakah Mendagri melakukan pembatalan secara sepihak terhadap perda? Bukankah
menurut konstitusi pengujian legalitas dan pembatalan perda yang telah
berlaku secara sah itu hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA)?
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merupakan kementerian besar yang pasti
mempunyai biro hukum yang kuat untuk memagari Mendagri agar tidak sampai
membuat kebijakan yang bertentangan dengan hukum.
Pencabutan 3.143 perda
itu tentu sudah dipelajari secara saksama dan diyakini oleh tim hukum
Kemendagri sebagai langkah yang tidak melanggar hukum. Betulkah? Kalau kita
melihat masalah itu dari rezim hukum pemerintahan daerah, Mendagri memang
mempunyai kewenangan untuk membatalkan perda sesuai dengan ketentuan Pasal
251 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Tapi jika dilihat dari
rezim hukum perundang-undangan, dasar hukum yang dipergunakan Mendagri untuk
melakukan pembatalan itu adalah salah secara hukum. Tepatnya isi UU No 23
Tahun 2014 itu bertentangan dengan UU lain, yakni UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang- undangan yang bersumber langsung dari UUD
Negara Republik Indonesia (NRI) 1945.
Menurut Pasal 24A UUD
NRI 1945, pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU
terhadap UU atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dilakukan oleh
MA. Adapun pengujian konstitusionalitas UU terhadap UUD dilakukan Mahkamah
Konstitusi (MK).
Ketentuan yang
demikian sudah dituangkan dengan tepat di dalam Pasal 9 UU No 12 Tahun 2011
yang menyatakan dugaan pertentangan UU dengan UUD diperiksa dan diputus MK,
sedangkan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bawah UU
terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diperiksa dan diputus
oleh MA.
Dengan demikian
lembaga eksekutif, Presiden atau kementerian, sebenarnya tidak bisa melakukan
pembatalan terhadap perda secara sepihak dengan alasan apa pun. Pembatalan
atau pencabutan perda harus dilakukan menurut rezim hukum perundang-undangan
ini. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana posisi UU No 23 Tahun 2014
tentang Pemda yang, melalui Pasal 251, memberi kewenangan kepada Mendagri
untuk mencabut perda?
Jawabannya simpel
saja. Yang lebih kuat untuk diikuti adalah ketentuan UU No 12 Tahun 2011 yang
menentukan, pengujian legalitas atas perda hanya bisa dilakukan oleh MA
melalui perkara judicial review. UU No 12 Tahun 2011 ini lebih kuat karena ia
merupakan derivasi langsung dari ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945.
Seharusnya pembentuk
UU No 23 Tahun 2014 tunduk pada ketentuan konstitusi bahwa pembatalan atau
pencabutan perda karena bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang
lebih tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial review oleh MA, bukan oleh
menteri atau gubernur. Pembentuk UU tidak boleh mencampur aduk antara
kewenangan yudikatif dan pengawasan administratif.
UU Pemerintahan Daerah
yang sebelumnya, yakni UU No 32 Tahun 2004, telah mengatur masalah tersebut
dengan cukup baik meskipun tidak juga sepenuhnya tepat. Menurut Pasal 145UUNo
32Tahun2004, setiap perda yang sudah diberlakukan harus disampaikan kepada
pemerintah (pusat) paling lama 7 hari sejak ditetapkan oleh legislator
daerah.
Dalam waktu 60 hari
sejak disampaikan oleh legislator daerah, pemerintah pusat bisa
membatalkannya. Jika dalam kurun waktu tersebut perda tidak dibatalkan oleh
pemerintah pusat, maka ia menjadi berlaku sepenuhnya. Ketentuan yang diatur
di dalam UU No 32 Tahun 2004 itu dapat dinilai lebih baik karena lebih
memberi kepastian hukum terhadap perda.
Sebaliknya ketentuan
berdasar UU No 23 Tahun 20014 yang tidak memberi batasan waktu, kapan paling
lama pemerintah pusat atau jenjang pemerintahan yang lebih tinggi dibolehkan
membatalkan perda, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.
Pembatalan itu bisa
dilakukan kapan saja sewaktu-waktu pusat mau melakukannya, termasuk karena
ada insiden yang sebenarnya lebih merupakan soal teknis pemerintahan. Maka
itu sangatlah tepat apabila pembatalan perda yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tetaplah hanya dilakukan oleh
lembaga yudisial melalui judicial review di MA.
Jika diperlukan
pencabutan perda di luar judicial review, ada jalan lain yang bukan tindakan
sepihak Mendagri, yakni mekanisme legislative review. Artinya pembatalan itu
dilakukan oleh legislator daerah melalui proses legislasi oleh kepala daerah
dan DPRD dengan mencabut atau menggantinya dengan perda baru yang setara.
Prosedur yang demikian
sama dengan prosedur executive review terhadap peraturan perundang- undangan
yang dibuat oleh pemerintah seperti peraturan pemerintah, perpres, peraturan
kepala daerah yang semuanya bisa dicabut sendiri oleh lembaga yang
membuatnya.
Dengan demikian untuk
mencabut perda yang sudah berlaku secara sah hanya tersedia dua pintu, yaitu
judicial review di MA dan legislative review di pemerintahan daerah sendiri,
tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh pemerintah yang di atasnya.
Penegakan negara hukum menuntut kecermatan dan kesabaran.
Kalau misalnya dengan
niat baik pemerintah yang sekarang melakukan pembatalan atas perda secara
sepihak tanpa melalui judicial review atau legislative review, bisa jadi
suatu saat pemerintah yang akan datang melakukan juga pembatalan perda secara
sepihak bukan dengan niat baik, melainkan dengan cara sewenang- wenang.
Alasannya, pemerintah sebelumnya melakukan hal itu. Kalau itu yang terjadi,
rusaklah negara hukum kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar