Tito Melawan Terorisme
Azyumardi Azra ;
Guru Besar UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta; Ketua Teman Serikat Kemitraan/Partnership (untuk
Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia)
|
KOMPAS, 28 Juni 2016
Seperti sudah diduga,
10 fraksi di Komisi III DPR secara aklamasi, Kamis (23/6), menyetujui
pencalonan Komisaris Jenderal Muhammad Tito Karnavian sebagai kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Publik menaruh banyak harapan kepada
Tito. Ia memiliki pribadi dan karier istimewa yang membuatnya tampil
menjanjikan untuk melanjutkan reformasi Polri menjadi institusi penegak hukum
yang profesional, kredibel, akuntabel, demokratis, berkeadilan, dan
menghormati hak asasi manusia.
Dari sudut pengalaman
kepolisian, menjadi kepala Polri merupakan puncak karier Tito yang melejit
seperti meteor; menjadikannya sebagai Kapolri termuda (51 tahun). Meski masih
muda, kariernya relatif lengkap; sebagai kepala dua kepolisian daerah
strategis (Papua dan DKI Jakarta); kepala satuan khusus Polri (Densus 88) dan
lembaga untuk memerangi terorisme (BNPT).
Tito juga memiliki
karier keilmuan-kesarjanaan (scholarly)
cukup meyakinkan. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian (Akpol) 1987 sehingga
memperoleh Adhi Makayasa, Tito menyandang gelar S-1 dari Perguruan Tinggi
Ilmu Kepolisian (PTIK); BA dari Universitas Massey, Selandia Baru; dan MA
dari Universitas of Exeter, Inggris, dalam bidang Ilmu Kepolisian. Puncak
karier akademik ia capai dengan gelar PhD (2013) dari Universitas Teknologi
Nanyang, Singapura, dalam Kajian Internasional Strategis.
Dengan karier akademik
yang juga cemerlang, tidak aneh kalau Tito pernah mendapat penghargaan
Bintang Cendekiawan dari PTIK. Sebagai sarjana (scholar) cendekiawan, Tito menjadi pembicara reguler banyak
konferensi internasional tentang keamanan dan terorisme. Pernah tampil
bersama Tito sebagai narasumber pada beberapa konferensi internasional,
penulis kolom ini beruntung menyimak pemikirannya tentang bagaimana
sepatutnya meresponi radikalisme dan terorisme.
Dengan latar belakang
pengalaman dan keilmuan relatif lengkap, tak heran beberapa anggota Komisi
III DPR mempertanyakan langkah yang telah dan akan dilakukan Polri dalam
menangani radikalisme dan terorisme. Anggota DPR ada yang mempersoalkan
pendekatan dan cara Densus 88 yang dinilai melanggar HAM dalam menghadapi
kelompok teroris. Karena itu, mereka mengusulkan pembentukan Dewan Pengawas
Densus 88 guna mencegah terjadi kebrutalan polisi (police brutality).
Meresponi persoalan
ini, Tito Karnavian memprioritaskan penanganan intoleransi, radikalisme, dan
terorisme. Caranya, dengan peningkatan deteksi dini perkecambahan dan aksi
individu kelompok berideologi dan berpraksis seperti itu. Tito menekankan
pentingnya membangun daya cegah dan daya tangkal warga terhadap orang dan
kelompok radikal melalui kerja sama dengan para pemangku kepentingan.
Dalam forum uji
kelayakan dan kepatutan, Tito menyatakan bakal mengintensifkan kegiatan
dialogis (dengan organisasi dan lembaga masyarakat) di kantong-kantong
kelompok intoleran dan radikal. Dengan pendekatan dan cara itu, Tito menolak
wacana pembentukan Dewan Pengawas Densus 88. Sayang, alasan yang ia kemukakan
tidak substantif, tetapi lebih teknis menyangkut keterbatasan anggaran
negara.
Mencermati penjelasan
Tito, terlihat konsisten dengan kerangka kajian keilmuan yang ia dalami. Ini
terlihat dalam disertasi PhD-nya di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura,
yang sudah diterbitkan, Explaining
Islamist Insurgencies: The Case of al-Jamaah al-Islamiyyah and the
Radicalisation of the Poso Conflict, 2000-2007 (London: Imperial College: 2015). Selain membahas komprehensif
akar dan faktor kemunculan kelompok radikal dan teroris, Tito juga memberi
lima implikasi kebijakan dari kajiannya dalam bentuk program.
Ada lima program yang
ia tawarkan sebagai kontra-radikalisasi untuk melemahkan pertumbuhan kelompok
radikal dan teroris. Pertama, melemahkan naratif ideologis untuk membuat
paham dan ideologi radikal tak menarik dan tidak populer. Tito menyarankan
dua cara simultan: melakukan kampanye pendidikan publik yang melibatkan ulama
dan membangun naratif baru untuk meng-counter dan menetralisasi konsep
sentral dalam ideologi radikal.
Program kedua adalah
melemahkan para perekrut (recruiters) dengan memetakan dan mengidentifikasi
mereka sehingga diketahui siapa yang berpengaruh dan siapa yang tidak. Para
perekrut ini juga harus dilemahkan melalui penegakan hukum.
Program ketiga adalah
melumpuhkan mereka yang terekrut (recruits) melalui pemetaan wilayah dan
kelompok terpapar dan terpengaruh ideologi radikal. Selanjutnya perlu
dilakukan kampanye pelibatan komunitas untuk memastikan mereka memahami
bahaya pemikiran dan aksi radikal agar tidak terkontaminasi untuk kemudian
berperan aktif meng-counter jaringan radikal.
Program keempat adalah
melumpuhkan metode radikalisasi. Ini memerlukan kombinasi riset akademik dan
analisis intelijen. Program kelima, pengembangan konteks berbeda antara satu
kasus paham dan gerakan radikal dengan yang lain sehingga dapat dilakukan
pencegahan penyebaran ideologi radikal yang tidak sama.
Indonesia dipandang
banyak kalangan internasional sebagai termasuk paling berhasil memerangi
radikalisme dan terorisme. Dengan pengalaman dan pengetahuannya, Tito dapat
membuat Indonesia lebih aman dan damai; kian bebas dari intoleransi,
radikalisme, dan terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar