Vaksin Palsu dan Bayi Kita
Sampurno ;
Kepala Badan POM RI 2001-2006
|
KOMPAS, 29 Juni 2016
Kasus vaksin palsu
yang diungkapkan Badan Reserse Kriminal Polri pekan lalu sungguh mengejutkan
dan meresahkan masyarakat luas. Vaksin yang dimaksudkan untuk menimbulkan
kekebalan pada bayi ternyata dipalsukan dengan bahan baku yang justru
berisiko pada kesehatan bayi. Proses pembuatan vaksin palsu itu sama sekali
tidak steril dan oleh karena itu pasti mengandung berbagai cemaran berbahaya.
Pemalsuan vaksin juga
sangat berpotensi menimbulkan morbiditas dan kematian terutama pada bayi-bayi
yang menggunakannya.
Bayi-bayi yang
seharusnya memiliki kekebalan karena sudah divaksin ternyata tetap rentan
karena vaksinnya palsu. Akibatnya, mereka akan jatuh sakit jika terpapar
penyakit yang seharusnya bisa dilawan oleh tubuhnya.
Oleh karena itu,
pemalsuan vaksin ini bukan sekadar kejahatan biasa, melainkan merupakan
kejahatan kemanusiaan yang luar biasa (extra
ordinary crime). Mengapa kasus
pemalsuan vaksin ini bisa terjadi? Apakah kasus ini bisa terjadi pada obat
lain dengan risiko yang tidak kalah besar?
Kasus pemalsuan vaksin
seharusnya menjadi pembelajaran kita bersama untuk menata ulang sistem
pengawasan obat di Indonesia. Jika dalam sistem pengawasan yang selama ini
berlangsung tidak terjadi perbaikan
yang substansial, maka probabilitas untuk terjadi kasus yang serupa akan
terulang kembali, bahkan mungkin dalam skala yang lebih besar.
Vaksin palsu
Berdasarkan berbagai
temuan kasus pemalsuan obat selama ini, ada satu kesamaan motif yang
mendasari, yaitu harga produk yang mahal. Tidak pernah ditemukan kasus
pemalsuan obat pada obat-obatan yang harganya murah seperti obat generik.
Motif meraih keuntungan yang besar jelas menggoda para kriminal ini untuk
memalsukan obat.
Dalam kasus vaksin
palsu ini, yang dipalsu adalah hampir semua produk impor yang sangat mahal.
Pengedar vaksin palsu menggoda orang-orang di bagian pembelian rumah sakit
atau klinik dengan memberikan diskon
sangat besar. Hal ini yang memicu dan melanggengkan pemalsuan karena
terbungkus rapi oleh petugas internal.
Sebenarnya sangat
ironis, pemerintah menyediakan vaksin gratis di rumah sakit pemerintah,
puskesmas, bahkan di posyandu, tetapi masih ada rumah sakit dan praktik dokter
perseorangan yang memberikan vaksin impor. Jika mereka memperoleh pasokan
vaksin dari sumber-sumber yang tidak resmi, apalagi mencari harga murah, maka
potensi masalah yang berbahaya sungguh mengancam.
Segmen masyarakat yang
menggunakan vaksin nonprogram inilah yang terkena risiko vaksin palsu. Apabila dihitung
secara statistik, penggunaan vaksin impor ini diprediksi kurang dari 5 persen
dari total penggunaan vaksin di Indonesia. Akan tetapi, risiko vaksin palsu ini tidak boleh dikalkulasi
secara statistik. Meski hanya satu
kasus, hal ini tetap harus mendapat perhatian penuh karena menyangkut
keselamatan jiwa bayi.
Tata ulang sistem pengawasan
Apabila terjadi
kasus-kasus pemalsuan obat seperti sekarang, publik langsung menyalahkan dan
komplain kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) selaku
pelaksana bidang pengawasan obat di negeri ini. Persepsi dan asumsi
masyarakat ini tidak sepenuhnya salah karena Badan POM memang sangat
diharapkan masyarakat luas untuk mendapatkan perlindungan.
Meski demikian, perlu
ada telaahan yang jujur dan obyektif tentang bagaimana keadaan yang
sesungguhnya. Idealnya, semua mata rantai produksi, distribusi, dan pelayanan
obat menjadi otoritas Badan POM seperti halnya Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat. Badan POM selama ini lebih banyak berkutat
pada pengawasan di hulu, yaitu pada seluruh proses di industri farmasi.
Badan POM "mengobok-obok" sektor manufaktur
formal ini sampai detail sekali. Akan tetapi, di sektor hilir terutama pada
apotek, toko obat, dan rumah sakit, Badan POM nyaris tidak bisa melakukan
apa-apa karena kewenangannya dipangkas habis. Akibatnya pada sektor hilir ini
banyak simpul yang tidak diawasi, yang berpeluang terjadinya distorsi dan
pelanggaran.
Sekarang ini siapa saja,
kapan saja, dapat membeli obat keras (obat etikal) di apotek dan toko obat
tanpa resep dokter. Ironisnya lagi, banyak dokter dan tenaga kesehatan lain
membeli obat di pasar gelap, seperti di Pramuka dan Kramatjati, untuk
kebutuhan self dispensing. Dalam
kasus vaksin palsu ternyata terlibat Apotek Rakyat IS yang eksistensinya bisa
dianggap sebagai apotek "abal-abal". Tidak ada literatur mana pun
yang mendukung, juga regulasi farmasi di negara mana pun, yang memiliki
konsep "apotek rakyat" dan kemudian melegalkan/memutihkan toko
obat.
Dengan Permenkes Nomor
35 Tahun 2014, pembinaan dan pengawasan terhadap apotek telah dilimpahkan
kepada dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya, Badan POM
tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengawasi apotek. Demikian juga halnya
dengan Permenkes Nomor 58 Tahun 2014
yang menyebutkan bahwa pembinaan dan pengawasan kefarmasian di rumah sakit
dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota.
Berisiko keselamatan
Padahal, kita tahu
bahwa pasokan obat ke rumah sakit sebagian adalah life saving drugs atau obat-obatan untuk menyelamatkan nyawa,
yang berisiko tinggi terhadap keselamatan pasien apabila obat tersebut
substandar, palsu, atau merupakan produk rusak.
Kasus-kasus yang tidak
diinginkan yang terjadi di beberapa rumah sakit beberapa waktu lalu, dan
menimbulkan kematian, adalah karena lemahnya sistem pengawasan di rumah
sakit. Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota
ini tidak substansial dan material karena mereka tidak mempunyai sumber daya
manusia dan infrastruktur untuk melaksanakan pengawasan secara efektif.
Demikian juga terhadap
toko obat. Semua aspek, mulai dari perizinan dan pengawasan dilakukan oleh
dinas kesehatan kabupaten/kota. Selama ini hampir tidak ada penindakan oleh
dinas kesehatan kabupaten/kota terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
apotek ataupun toko obat.
Padahal, kenyataan
menunjukkan bahwa beredarnya vaksin palsu tersebut-yang realitasnya melalui
jalur ilegal-memang akibat tidak adanya pengawasan oleh Badan POM. Tetapi
masyarakat dan semua pihak, termasuk DPR bahkan Kementerian Kesehatan
sendiri, kemudian menganggap bahwa semua itu menjadi tanggung jawab Badan
POM.
Undang-undang pengawasan
Badan POM sebagai
pengawas idealnya adalah lembaga pemerintah yang mempunyai otoritas di bidang
pengawasan obat dan makanan. Namun, sampai saat ini negara belum memiliki
undang-undang sebagai landasan operasionalnya. Ini merupakan suatu kelemahan
yang paling substansial bagi Badan POM untuk bertindak sekaligus berkekuatan
hukum.
Beberapa tahun lalu
Badan POM menangkap (lagi-lagi) pelanggaran dalam hal obat, yakni pencampuran
jamu dengan sibutramin (obat diet yang kini dilarang). Ironisnya, tindakan
Badan POM ini justru dikalahkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Sering
kali Badan POM memang dituntut balik oleh para pelanggar karena Badan POM
tidak dilindungi oleh undang-undang. Yang memprihatinkan, penguatan legalitas
hukum yang menghambat ini sering dilakukan oleh oknum internal Kementerian
Kesehatan.
Adanya kasus pemalsuan
vaksin ini sangat diharapkan menimbulkan kesadaran kolektif semua pihak,
terutama DPR, untuk membuat undang-undang pengawasan obat dan makanan
sehingga dapat memberikan perlindungan yang efektif dan intensif kepada
masyarakat luas. Jaringan kerja sama pengawasan kepada semua pihak mesti
diperkuat untuk melindungi kesehatan dan keselamatan rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar