Kiai Sadrach
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Psikologi UI;
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Persada Indonesia YAI
|
KORAN SINDO, 26 Juni
2016
Jika kita mendengar
nama Kiai Sadrach, yang terbayang dalam benak kita adalah seorang ulama Islam
dengan peci atau sorban, berbaju lengan panjang dan bersarung, sementara di
bahunya tersampir sebuah kain atau sajadah yang terlipat rapi.
Pokoknya tipikal ulama
NU yang banyak kita temui di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kita tidak
membayangkan seorang kiai sebagai ulama Jawa Barat karena di Jawa Barat ulama
dipanggil “Ajengan”, juga tidak di Lombok karena di sana ulama disebut “Tuan
Guru”, dan memang benar Kiai Sadrach adalah seorang ulama yang dilahirkan di
daerah Karesidenan Jepara (sumber lain ada yang mengatakan dia lahir di
Karesidenan Demak) dan meninggal di Purworejo, 14 November 1924 dalam usia 89
tahun.
Tetapi, Kiai Sadrach
bukan ulama Islam, melainkan ulama Kristen. Dia adalah penginjil besar di
masanya, tetapi nama kelahirannya adalah Radin, dan saat dia berguru di
pesantren daerah Jombang namanya bertambah menjadi Radin Abas. Tetapi,
setelah belajar di Jombang ia hijrah ke Semarang dan bertemu seorang
penginjil Belanda yang bernama Hoezoo dan kemudian Radin Abas pun ikut kelas
Katekisasi yang diajar oleh Hoezoo tersebut sampai akhirnya pada usia 26
tahun ia dibaptis dan mendapat nama baptisan Sadrach.
Sejak itu dia tidak
menggunakan nama Radin lagi, melainkan menggunakan nama Sadrach. Dari sudut
pandang Islam, dia bisa dinamakan murtadin (orang yang meninggalkan Islam).
Karangjasa, yang
terletak 25 km dari Purworejo, adalah desa pertama tempat Sadrach mendirikan
sebuah jemaat Kristen Jawa setempat. Awalnya Sadrach menggunakan rumahnya
sendiri sebagai tempat berkumpulnya jemaat, tetapi pada 1871 didirikanlah
gedung gereja pertama di Desa Karangjasa sehingga jemaat tidak perlu lagi
mengadakan perjalanan ke Purworejo setiap hari Minggu untuk melakukan
kebaktian.
Bukan hanya itu, pusat
kekristenan Jawa bahkan berpindah dan berkembang dari Tuksanga, Purworejo ke
Karangjasa. Ini membuktikan bahwa Sadrach merupakan seorang Kiai Kristen Jawa
yang sangat berpengaruh. Hanya dalam waktu 2-3 tahun Kiai Sadrach berhasil
membaptis 2.500 orang. Jauh lebih banyak daripada zending Belanda yang sudah berdakwah lebih dari 100 tahun (pada
waktu itu) di tanah Jawa. Hal ini ditandai pula dengan penambahan nama
“baru”-nya menjadi Radin Abas Sadrach Surapranata.
Pesatnya ekspansi
jemaat Sadrach membuat pemerintah setempat (Karesidenan Bagelen) dan kalangan
gereja (Indische Kerk) curiga dan
merasa terancam (sehingga Kiai Sadrach pernah ditangkap dan dipenjarakan oleh
Pemerintah Belanda, tetapi dilepas kembali karena tidak ada bukti-bukti
makar), namun di sisi lain juga ingin mengatur dan mengawasi jemaat tersebut
dengan berbagai alas an baik politis maupun alasan misi (mencegah aliran
sesat), dan juga karena ingin mengumpulkan “petobat” dengan cepat dan mudah.
Tetapi, upaya penguasa (pemerintah) maupun gereja pada waktu itu gagal karena
umat tetap lebih memilih sebagai pengikut Kiai Sadrach daripada bergabung
dengan Indische Kerk.
Yang menarik untuk
dipelajari dari sudut ilmu dakwah adalah bagaimana caranya Kiai Sadrach bisa
mengkristenkan begitu banyak orang di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas
muslim. Jawabannya adalah bahwa Kiai Sadrach adalah mantan muslim dan tidak
menanggalkan atribut-atribut muslimnya ketika ia menyebarkan Injil. Kiai
Sadrach berbusana layaknya ulama Islam yang lain, bahkan waktu itu pun dia
sudah berjenggot seperti jenggot ISIS zaman sekarang. Bukan itu saja, ia
mempunyai pertemuan-pertemuan jemaat yang dalam tradisi Islam disebut
“majelis taklim”.
Seperti juga majelis
taklim, majelisnya Kiai Sadrach juga duduk di lantai seperti orang selamatan.
Gereja yang didirikannya di Karangjasa bahkan berarsitektur Islam dengan
ornamen senjata “cakra” milik tokoh wayang Kresna di puncaknya. Senjata cakra
ini, yang bentuknya bulat, lebih mirip bulan sabit daripada tanda salib.
Di samping itu, Kiai
Sadrach juga tampaknya memang seorang yang sangat cerdas yang mampu
menaklukkan siapa pun dalam berdebat yang bisa sampai berhari-hari. Tetapi,
di balik itu semua, yang paling utama yang mendasari keberhasilan Kiai
Sadrach adalah banyaknya persamaan antara dua agama, Islam dan Kristen,
karena dua-duanya berasal dari satu rumpun agama samawi (termasuk agama
Yahudi juga). Yang kedua, agama Islam di Pulau Jawa sudah berakulturasi
dengan kepercayaan lokal yang merupakan campuran antara tradisi animisme,
dinamisme, Hindu, dan Buddha yang sudah lebih dahulu ada di tanah Jawa,
menjadi apa yang dikenal sebagai mistisisme.
Salah satu contohnya
senjata cakra milik Kresna itu tadi. Semua ini kemudian secara alamiah dan
naluriah dimanfaatkan oleh Kiai Sadrach dan terasa pas betul dengan alam
pikiran orang Jawa pada waktu itu sehingga Kiai Sadrach cepat mendapat
pengikut. Berbeda dengan misionaris-misionaris Belanda yang selalu saja
menggunakan pendekatan Barat, yang tidak berakar di kalangan masyarakat Jawa.
Teknik yang sama
(pendekatan sosial-budaya) digunakan juga oleh para Wali Songo sehingga Islam
menyebar luas dengan cepat dan bisa menembus sampai pusat Kerajaan Mataram di
pedalaman Jawa, dan melahirkan Kerajaan Mataram yang Islam, menggantikan
Kerajaan Mataram lama yang Hindu. Sayangnya, pendekatan berbasis
sosial-budaya ini justru ditinggalkan oleh pendakwah-pendakwah masa kini yang
puritan dan radikal.
Dampaknya nanti memang
sebagian akan menjadi puritan juga, bahkan mungkin radikal, tetapi yang
terbanyak justru akan meninggalkan Islam itu sendiri dan menjadi murtadin,
bukan ke agama lain, melainkan ke budaya-budaya pop, termasuk K-Pop, Pop
Corn, dan Pop Porn. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar