Brexit dan Psikologi Rumit Inggris
Muhammad Takdir ;
Policy Scenario Analyst di
Jenewa, Swiss
|
KORAN SINDO, 27 Juni
2016
Seperti diduga
sebelumnya, hasil final referendum ”in and out ” Inggris dari Uni Eropa telah
putus. Referendum yang digelar pada 23 Juni 2016 menghasilkan 51,89% memilih
keluar dari Uni Eropa dibandingkan 48,11% suara yang ingin bertahan.
Sebanyak 46,5 juta
pemilih diperkirakan telah memanfaatkan hak suaranya dalam referendum paling
menentukan sejarah Inggris dan Eropa tersebut. Kelompok Eurosceptic di
Inggris yang selama ini menjadi proponen Brexit (Britain exit) menyebut
keputusan historis itu sebagai independence day. Saking ketatnya, hasil
referendum yang berlangsung ”too close to call ” menggambarkan betapa
sentimen Eropa telah membuat Inggris terpolarisasi sedemikian tajam.
Inggris yang menjadi
anggota Uni Eropa sejak 1973 kini memilih jalannya sendiri, meninggalkan 27
anggota lainnya dalam keadaan disarray (histeris dan kalut). Secara politis,
keputusan Brexit mengingkari ikatan historis ”the United States of Europe
”(USE) yang digagas PM Inggris Winston Churchill pada 1946. Ketika itu
Churchill mengejutkan dunia dengan pidatonya di Zurich, Swiss yang menyerukan
pembentukan blok USE.
Visi Churchill tentang
satu Eropa memperoleh gaungnya pada setiap kota di Eropa yang hancur akibat
Perang Dunia II. Pandangan itu pula yang mengilhami munculnya ide the European Movement dan menuntun
proses menuju pembentukan Council of
Europe maupun European Convention
and Court of Human Rights.
Boris Johnson, mantan
wali Kota London dan merupakan kritikus anti-Eropa paling tajam, selalu
menyatakan dalam argumentasinya bahwa pandangan Churchill itu tidak
sepenuhnya pro-European. Johnson merujuk pada tulisan Churchil pada 1930 yang
menyatakan bahwa Inggris bersama dengan Eropa, tetapi tidak menjadi bagian
benua tersebut.
Seperti ditulis
Churchill, we are interested but not
associated. Dengan argumentasi ini, Boris Johnson mengklaim bahwa Winston
Churchill pada dasarnya seorang Eurosceptic sekaligus Europhiles (pemuja
kultur Eropa). Denis Macshane, penulis Brexit
: How Britain Will Leave Europe, menyatakan bahwa sejak lama orang
Inggris memang diajarkan untuk tidak menyukai Eropa (2015).
Warga Inggris merasa
ditransfer ke dalam otoritas Uni Eropa yang corak kekuasaan maupun belief
systemnya tidak pernah ramah terhadap London. Inggris tidak menyukai Prancis
yang dianggap selalu bersikap obstructionist terhadap mereka serta Jerman
yang terlampau dominan. Politisi Inggris selalu menggambarkan komunitas Eropa
ibarat ”German racket ”.
Istilah ini merupakan
sindiran terhadap besarnya otoritas Brussel (markas besar Uni Eropa) yang
dianggap lebih mencerminkan dominasi penguasaan Jerman dan Prancis di Eropa.
Lebih parah lagi, selama ratusan tahun kaum Protestan Inggris selalu meyakini
bahwa kekuatan-kekuatan Katolik Eropa dan Vatikan dibentuk untuk melemahkan
atau menghancurkan mereka.
Selain itu, dalam soal
finance, London menilai keuntungan yang diperoleh dari Uni Eropa tidak
sebanding dengan kontribusi yang mereka berikan. Inggris termasuk di antara
10 negara anggota Uni Eropa yang memasok lebih banyak dana ke dalam anggaran
Uni Eropa dengan return keuntungan lebih kecil.
Kontribusi Inggris
kepada Uni Eropa misalnya pada tahun anggaran 2014/ 2015 sebesar 8,8 miliar
pounds dengan besaran money back hanya separuhnya senilai 4,6 miliar pounds.
Anggota Uni Eropa yang menjadi beneficiary terbesar dari gelontoran dana big
members itu adalah Polandia, Hongaria, dan Yunani.
PM Inggris David
Cameron yang kini telah memutuskan mundur setelah kekalahan dalam referendum
Brexit sebenarnya sangat paham dengan psikologi Inggris terhadap Eropa.
Dengan pemahaman itu, Cameron terlihat amat confident menjanjikan referendum
sebelum memenangkan pemilu 2015 serta meyakini bahwa Inggris akan memperoleh
privilese yang selama ini menjadi ganjalan psikologis hubungan London dan
Brussel.
Pada awal 2016 Cameron
berhasil mendesak para pemimpin Uni Eropa untuk mengubah dan menyetujui term and condition keanggotaan Inggris
yang diperbarui. Seandainya suara pro-Eropa memenangkan pertarungannya dengan
Brexit dalam referendum ini, Inggris akan memperoleh ”special status” di
antara 28 anggota Uni Eropa.
Salah satu
keistimewaan yang diberikan adalah kebebasan untuk mengatur masalah
domestiknya sendiri serta keleluasaan menyusun kebijakan terkait dengan migrant welfare payment bagi para
pendatang baru di Inggris. Brexit memang telah membuyarkan semua kalkulasi
tersebut. Psikologi sentimen Inggris terhadap Uni Eropa ternyata tidak
berubah. Selama ini eksistensi Inggris dalam Uni Eropa lebih menyerupai
hubungan yang bersifat bitter dan dysfunctional.
Masalahnya, kerumitan
psikologis Inggris itu akan diuji dengan sejumlah konsekuensi dengan dampak
yang harus diamati beberapa tahun ke depan. Realitas pahit pertama adalah
krisis pemerintahan pascapengunduran diri David Cameron sebagai PM Inggris
dan pemimpin Partai Konservatif. Siapa pun penggantinya, kemungkinan masih
akan dipengaruhi oleh psikologi anti-Europe yang lebih kompleks.
Jika Downing Street 10
tidak mengelola baik psikologi itu, hubungan London dengan ibu kota negara Uni
Eropa lainnya akan rusak. Realitas kedua, financial
market akan menjadi lebih sensitif terhadap kerentanan 19 negara pemangku
Euro-zone. Investor global akan selalu mempertanyakan apakah pemerintahan
mereka punya political will dan
dukungan publik untuk memperkuat arsitektur European monetary union.
Negara Euro-zone itu
akan terus berada dalam tekanan di bawah scrutiny
pasar yang sangat intensif akibat kekhawatiran efek Brexit serupa. Dampak
ketiga yang tak kalah menariknya adalah menguatnya gerakan politik ”antiestablishment”, terutama politisi
ekstrem kanan di Eropa maupun AS seperti Marine Le Pen dari France National
Front di Prancis atau bahkan Donald Trump di AS.
Mereka semua boleh
saja merasa terilhami dari kemenangan Brexit. Selebihnya, kita kembalikan ke
Uni Eropa sendiri tentang bagaimana mereka bersikap. Keseimbangan apa yang
mereka perlukan untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan Inggris serta
pelajaran yang mesti dapat dipetik dari sentimen psikologi anggota Uni Eropa
yang ternyata menyimpan sikap anti yang demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar