Pemimpin Pemarah
Herry Tjahjono ;
Terapis Budaya Perusahaan
|
KOMPAS, 27 Juni 2016
Secara umum label
kemarahan pada seorang pemimpin lebih dikonotasikan secara negatif daripada
positif. Sebagai contoh kasus adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok, yang lebih sering dilabel sebagai pemimpin pemarah yang
negatif.
Seorang konglomerat
Indonesia yang hebat pernah berkata kepada saya: pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang bisa marah, lewat sebuah kemarahan yang "pada tempatnya".
Dalam praksis
manajemen dan kepemimpinan, kemarahan sesungguhnya sebuah kompetensi yang
sangat diperlukan oleh seorang pemimpin. Memang ada yang mengatakan,
ketegasan lebih diperlukan, bukan kemarahan. Soal ini sesungguhnya lebih
terkait dengan cara atau ekspresi kemarahan. Namun, secara esensial, seorang
pemimpin perlu memiliki "kompetensi kemarahan" yang memadai.
Mendobrak "status quo"
Terkait konteks
tulisan ini, saya ingin mencuplik tulisan Profesor Sarlito Wirawan Sarwono
(30 Maret 2014) yang mengungkapkan tentang "kemarahan Ahok". Apa
yang salah dengan (kemarahan) Ahok? Dia memang pemarah, tetapi yang dimarahi
adalah masyarakat yang mengancam petugas dengan golok. Yang dimarahi, bahkan
dipecat, adalah kepala dinas yang terbukti korupsi dan mbalelo sehingga
merugikan rakyat. Bahkan hasil analisisnya terhadap kemarahan Ahok bermuara
pada kesimpulan tegas bahwa Gubernur itu marah hanya pada dua kondisi: 1)
terjadi korupsi, 2) terjadi ketidakadilan.
Sementara Malcolm X
pernah mengatakan, ".Namun, ketika mereka marah, mereka tengah membuat
perubahan". Dari beberapa uraian di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa
salah satu tugas terpenting pemimpin adalah membuat perubahan, dan
perubahan itu adalah mendobrak status quo. Dan, untuk konteks kepemimpinan
nasional, status quo tersebut setidaknya ada dua hal: korupsi dan
ketidakadilan.
Itu sebabnya jika
muncul pemimpin yang suka marah terhadap status quo tersebut, para pembela
status quo akan balik "marah-marah" kepada pemimpin itu meski jenis
kemarahannya tentu berbeda. Jadi, kompetensi kemarahan itu perlu dimiliki
seorang pemimpin, baik dalam kondisi organisasi normal maupun terlebih lagi
kondisi status quo ekstrem seperti kita. Secara kontekstual bisa ditegaskan
bahwa kepemimpinan nasional kita adalah kepemimpinan status quo. Kepemimpinan
nasional kita adalah kepemimpinan yang tak memiliki "kompetensi
kemarahan" memadai untuk mendobrak status quo tersebut.
Sampai di sini
persoalannya menjadi gamblang bahwa pemimpin yang baik, bahkan hebat, justru
memerlukan kompetensi kemarahan yang memadai. Ada tiga aspek kompetensi
kemarahan yang perlu dipahami.
Pertama, spirit
kemarahan! Spirit atau landasan kemarahan harus jelas, yakni mendobrak status
quo dimaksud; dari kondisinya yang paling sederhana sampai paling kompleks.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, kondisi status quo (korupsi dan
ketidakadilan) bangsa kita termasuk dalam kategori kondisi yang kompleks.
Artinya, kita bahkan memerlukan pemimpin dengan kompetensi kemarahan yang
bagus untuk menerobos semua itu. Jadi, landasan kemarahan kepemimpinan
bukanlah kemarahan tanpa sebab atau karena tabiat temperamental belaka.
Kedua, sifat
kemarahan! Kemarahan sebagai kompetensi juga memiliki "sifat
kemarahan"-dan dalam hal ini ada dua sifat: (1) genuine (murni, ikhlas); (2) obyektif. Sifat pertama, pemimpin
marah karena dia memang ingin melakukan kebaikan dan perbaikan, perubahan
positif; bukan karena ingin menunjukkan atau pamer kekuasaan belaka. Itu
sebabnya kompetensi kemarahan seorang pemimpin merupakan antitesis dari
pemimpin yang hipokrit atau munafik, yang sepintas kelihatan sabar, kalem,
tetapi sesungguhnya dia ingin menutupi kebenaran, populis, atau sifat
hipokrit lainnya.
Sifat kedua
(obyektif), pemimpin marah untuk tujuan yang jelas, perubahan yang lebih baik
bagi organisasi, serta sebatas koridor tugas dan kewajiban. Kemarahan
pemimpin bukan berlandaskan subyektivitas sang pemimpin, misalnya karena tak
suka atau sentimen. Tapi, kemarahan yang "pada tempatnya".
Ketiga, tujuan
kemarahan! Kompetensi kemarahan dari aspek tujuan ini sangat penting karena
kemarahan itu dimaksudkan untuk menghasilkan perubahan. Dalam praksis
manajemen dan kepemimpinan disebut anger is a decisive tool-kemarahan
yang menghasilkan keputusan efektif; kemarahan yang berorientasi pada hasil.
Keputusan efektif itu tentu memecahkan persoalan, memberikan jalan keluar,
dan yang terpenting: menghasilkan perubahan!
Kemarahan subyektif
Kompetensi kemarahan
seorang Ahok sampai batas tertentu juga dimiliki dan dilakukan oleh para
pemimpin potensial lainnya. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga pernah
marah dengan hebat ketika menangkap basah petugas di sebuah jembatan timbang
di Batang sedang menerima uang sogokan dari seorang kernet truk. Atau Wali
Kota Surabaya Tri Rismaharini yang mencak-mencak karena Taman Bungkul
kebanggaannya hancur lebur akibat ulah satu perusahaan yang bagi-bagi es
krim. Hal sama juga dilakukan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil karena Balai
Kota Bandung dipadati massa yang memicu kemacetan hebat di mana-mana akibat
ulah perusahaan yang sama membagi-bagi es krim gratis. Kemarahan Ahok,
Ganjar, Risma dan Ridwan, sampai batas tertentu, bersinggungan dengan korupsi
dan nuansa ketidakadilan.
Presiden Joko Widodo
sendiri juga tak segan menunjukkan "kompetensi kemarahan"-nya,
menyangkut berbagai status quo bangsa dan negara kita. Bahkan kemarahan itu
bukan hanya tertuju kepada jajaran pembantunya, melainkan juga kepada
beberapa negara lain yang selama ini memperlakukan Negara Kesatuan Republik
Indonesia secara tidak adil.
Pemimpin pemarah-dalam
konteks kompetensi kemarahan seperti dimaksudkan-justru diperlukan oleh
kepemimpinan nasional negeri ini. Negeri ini sudah terlalu lama menikmati
status quo ketidakadilan dan korupsi sehingga kehilangan kompetensi kemarahan
yang diperlukan. Bangsa ini justru tak memerlukan kemarahan-kemarahan
reaktif-subyektif dari mereka (termasuk politisi pecundang) yang dilandasi
dendam dan sakit hati, serta yang
paling ironis: kemarahan subyektif yang ditujukan kepada para "pemimpin
yang sedang marah pada status quo".
Ungkapan fenomenal George F Will (Desember 1981),
sesudah pengumuman darurat di Polandia, semakin menegaskan kebutuhan kita
akan "pemimpin pemarah". Katanya, "Amarah kita meluap justru
disebabkan oleh ketiadaan amarah orang-orang. Kita memerlukan sebuah
kemarahan sejati yang bisa mendorong kita untuk bertindak positif".
Ungkapan George F Will
itu, terkait konteks tulisan ini, bermuara pada "kompetensi
kemarahan" yang diperlukan para pemimpin bangsa ini. Kemarahan yang bisa
memprovokasi orang lain dan organisasi untuk mendobrak status quo (korupsi, ketidakadilan, atau lainnya) yang selama ini
secara pasti menghancurkan bangsa kita.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar