Menikmati
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom PARODI Kompas
Minggu
|
KOMPAS, 26 Juni 2016
Di suatu malam saya
berbicara dengan seorang pemimpin tertinggi sebuah hotel berbintang. Setelah
pembicaraan penuh basa-basi, kemudian pembicaraan masuk ke sesuatu yang lebih
santai. Sekali lagi saya membuktikan, berbasa-basi itu sungguh melelahkan.
Sesuatu yang dibuat-buat memang sungguh menyiksa dan hanya mampu bertahan
sesaat saja.
Fatamorgana
Setelah menyerah
dengan basa-basi, pembicaraan berikutnya dipenuhi dengan gelak tawa lepas,
bahkan terselip beberapa pengakuan soal suka dan tidak suka mengenai berbagai
hal. Sampailah pria supel dan ramah ini mengungkapkan pendapatnya, bahwa
Indonesia memiliki masyarakat yang sangat menikmati hidup.
Setelah ia mengungkapkan
pandangannya itu, ia bertanya apakah saya menikmati hidup. Sebuah pertanyaan
yang gampang-gampang sulit untuk dijawab. Dari mata saya, selama hidup
setengah abad di negeri ini, saya merasa sangat menikmati.
Saya bahkan tak pernah
berniat pindah ke negara lain. Buat saya, Indonesia, khususnya Jakarta, bak
sebuah perjalanan asmara. Kehidupan yang ada keselnya, tapi ada rindu yang
menyelip di antaranya. Ada cinta, tapi ngomel-ngomel juga.
Bahkan sejak saya
berwisata di luar Pulau Bali dan Jawa, cinta saya makin menjadi-jadi. Tetapi
kemudian saya jadi bertanya, apakah saya menikmati semua itu? Atau saya
menikmati bukan karena saya sepenuhnya sadar untuk menikmati, tetapi sudah
sejak lahir saya terbiasa melihat langit yang biru, pantai yang indah, hamparan
sawah hijau yang subur.
Ada segala jenis
makanan yang bisa saya santap, ada sejuta budaya yang menggetarkan hati,
sejuta kain yang bisa dibeli dan dinikmati mata. Belum lagi melihat matahari
terbit atau terbenam.
Tanpa melupakan bahwa
di tengah kehidupan yang makin susah, di tengah mal yang saya amati sendiri
semakin sepi, di tengah curhatan klien saya yang bisnisnya menurun, negeri
ini masih tak bisa membuat saya pindah ke lain hati.
Pertanyaannya
kemudian, apakah keberuntungan saya sebagai manusia lahir di negeri ini
adalah karena saya tak perlu harus kedinginan setiap enam bulan atau tak
melihat matahari sekian lama? Ataukah saya ini sesungguhnya tidak menikmati
hidup saya, tetapi karena pemandangan alam dan budayanya yang dahsyat
cantiknya, saya merasa bahwa saya telah menikmati hidup? Macam fatamorgana.
Puas
Ataukah karena sejuta
"kemudahan" hidup? Antara lain yang saya alami sendiri dalam
menyetop taksi yang bisa seenaknya saja. Di mana pun dan kapan pun saja. Atau
saya bisa naik taksi dengan uang pas-pasan, dan meminta sopir taksi mengantar
ke ATM terlebih dahulu?
Sementara di luar
negeri, kebiasaan itu malah membuat si sopir mendamprat saya, dan mengatakan
kalau saya mau naik taksi, mending megang uang dulu. Apakah saya menikmati
hidup karena sopir taksi di sini tidak punya buruk sangka, sementara di
negeri lain itu harus selalu waspada?
Apakah saya menikmati
kehidupan pribadi itu karena faktor luar, dan bukan dari dalam diri saya
sendiri, sehingga nikmat yang katanya lahir dari dalam akan mampu menciptakan
kenikmatan yang sesungguhnya. Artinya, kalaupun pemandangan indah dan
kemudahan hidup itu tak ada di negeri ini, saya toh bisa mengatakan bahwa
saya telah menikmati hidup.
Namun, apakah
sesungguhnya menikmati itu? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menikmati
itu mengecap, mengalami sesuatu yang menyenangkan atau memuaskan. Nah,
sekarang giliran saya bertanya kepada Anda semua, apakah Anda sudah menikmati
hidup Anda?
Kalau kata menikmati
mengandung perasaan puas, mengalami sesuatu yang menyenangkan, apakah Anda
dan saya sudah puas dengan sistem transportasi, lalu lintas, telekomunikasi,
dan sejuta sistem yang memengaruhi kehidupan Anda setiap hari?
Apakah tidur hanya
lima jam sudah cukup karena subuh hari harus bangun agar di kantor mesin
absensi tidak mencetak warna merah, padahal semalam baru tiba di rumah nyaris
tengah malam, khususnya mereka yang tinggal di kota besar macam Jakarta ini?
Teman-teman saya
setiap pagi mengawali hari dengan keluhan kemacetan. Awalnya saya pikir
keluhan macam itu biasa-biasa saja. Bukankah hidup ini sudah dari sananya
naik dan turun? Jadi, kalaupun berkeluh, itu ya. kadarnya harus dianggap sama
seperti kalau tidak mengeluh.
Namun, hari ini saya
baru tahu bahwa menikmati itu ada faktor kepuasannya. Jadi, mengeluh adalah
bentuk tidak puas. Misalnya layanan pesawat yang membuat Anda tidak mengalami
yang namanya customer satisfaction, atau bermain cinta dan salah satu
pasangan mengecewakan dan menimbulkan ketidakpuasan. Mungkin itu yang
menyebabkan seorang teman di dalam grup mengatakan bahwa kualitas hidupnya
semakin menurun.
Karena saya ini
geblek, saya pikir dia tambah miskin. Ternyata saya baru tahu dia telah
mengerti kepuasan dalam kata menikmati. Dia mengerti bahwa langit yang biru,
pantai yang indah, hanya pelipur lara sesaat karena sesungguhnya ia tidak
menikmati hidup, bukan ia tidak bersyukur, bukan karena ia tidak bahagia.
Mungkin saya harus
menaikkan kualitas hidup tidak dengan merasa puas dengan faktor luar semata.
Bahkan porsi terbesar seharusnya saya menikmati hidup yang didasari rasa puas
yang datangnya dari dalam diri sendiri.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar