Brexit dan Pilihan Kebijakan Ekonomi
Firmanzah ;
Rektor Universitas Paramadin;
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis UI
|
KORAN SINDO, 27 Juni
2016
Seusai referendum yang
dimenangi kubu pro-Brexit, dengan 52% setuju Inggris keluar dari Uni Eropa,
ketidakpastian semakin meningkat. Investor dan pasar keuangan dunia panik
menyikapi hasil referendum.
Harga saham jatuh,
baik di Eropa, Amerika maupun Asia. Ketidakpastian juga membuat banyak
investor mengalihkan investasi ke aset-aset yang lebih aman seperti logam
mulia. Ketidakpastian meningkat dipicu kekhawatiran masa depan ekonomi
Inggris dan Uni Eropa. Proses negosiasi keluarnya Inggris dan sekaligus negosiasi
ulang perdagangan bebas Inggris-Uni Eropa menciptakan kekhawatiran banyak
pihak akan posisi strategis Inggris.
Hal ini membuat banyak
perusahaan multinasional, baik di sektor jasa keuangan maupun sektor lainnya,
mulai ancangancang angkat kaki dari Inggris. Terutama mereka yang selama ini
menjadikan London dan Inggris sebagai basis operasi untuk pasar Uni Eropa.
Keluarnya Inggrisdari UniEropamembuatposisi London tidak terlalu istimewa
serta menjadikan relokasi basis operasi ke Prancis, Belgia, Jerman, dan
negara-negara lain tak terhindarkan.
Basis operasi di
London ke depan utamanya hanya untuk pasar Inggris. Ekspor Inggris ke Uni
Eropa akan terkena bea masuk dan sejumlah persyaratan lain sebagaimana Uni
Eropa mengenakannya kepada barang/ jasa dari negara-negara seperti China,
India, dan kawasan lain. Selain sisi ekonomi, Brexit juga memicu
ketidakpastian sisi politik. Langkah Inggris dikhawatirkan membuat tekanan
referendum di banyak negara yang memiliki basis gerakan
politik-ultranasionalis.
Masa depan Uni Eropa
akhirnya menjadi tanda tanya bagi dunia. Selain itu sejumlah media
internasional sudah mulai mengangkat adanya segregasi kelas pascareferendum
di Inggris yang semakin mengkristal. Kelompok muda dan mereka yang lebih
terdidik dalam referendum cenderung memilih tetap di Uni Eropa, sementara
kelompok usia tua dan mereka yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah
cenderung pro-Brexit.
Ketegangan
antarkelompok mulai dirasakan di sejumlah tempat di Inggris terkait segregasi
ini. Hal ini sekaligus memicu kekhawatiran tenaga kerja asing, terutama dari
Eropa, Asia, dan Amerika Serikat yang selama ini harus diakui ikut
berkontribusi pada tingginya produktivitas Inggris.
Bagi Indonesia,
guncangan di pasar keuangan akibat keluarnya Inggris dari Uni Eropa semakin
menambah tekanan dari sisi eksternal seperti turunnya harga dan permintaan
komoditas dunia, melambatnya ekonomi China, ketidakpastian akibat keputusan
The Fed, dan stagnasi pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini semakin menegaskan
bahwa ekonomi nasional tidak bisa bergantung pada apa yang terjadi di dunia.
Indonesia mau tidak
mau harus kembali fokus pada faktor-faktor internal-domestik yang dapat
mendorong perekonomian nasional. Kita memiliki beberapa faktor yang dapat
didorong untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional di saat ekonomi dunia
semakin tidak pasti. Faktor pertama, fiskal dan belanja pemerintah.
Namun dengan kondisi
risiko tidak tercapainya pendapatan negara dari sektor perpajakan, ruang
fiskal semakin terbatas untuk dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
Semakin terbatasnya ruang fiskal juga ditunjukkan dengan pemangkasan belanja
kementerian/lembaga yang saat ini dibahas antara pemerintah- DPR untuk
menekan defisit fiskal agar tidak melebar.
Faktor kedua,
investasi. Investasi dapat menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi
nasional. BKPM mencatat selama tahun 2015 realisasi investasi tumbuh sebesar
17,8% dan mencapai Rp545,4 triliun. Realisasi 2015 melampaui target yang
dipatok sebesar Rp519,5 triliun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
kontribusi investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 33,19%.
Faktor ketiga, yang
sangat penting adalah konsumsi rumah tangga. Data BPS menunjukkan kontribusi
konsumsi rumah tangga selama 2015 terhadap PDB masih cukup besar, yaitu
sebesar 55,91%. Besarnya kontribusi rumah tangga terhadap PDB membuat sektor
ini perlu menjadi fokus kebijakan, baik pemerintah maupun otoritas moneter.
Daya beli masyarakat selama ini menjadi penopang terbesar ekonomi nasional.
Kebijakan yang
berorientasi menjaga dan mendorong daya beli masyarakat perlu menjadi target
sasaran pengambil kebijakan saat ini. Ketika daya beli masyarakat terjaga,
pertumbuhan ekonomi nasional juga akan terjaga. Begitu juga sebaliknya,
ketika daya beli masyarakat turun, konsekuensinya pertumbuhan ekonomi
nasional juga akan turun. Memang selama ini terjadi kesenjangan antara
tingkat konsumsi dengan produksi dalam negeri.
Tingkat konsumsi lebih
tinggi dibandingkan dengan tingkat produksi nasional. Dengan demikian secara
agregat selisihnya harus kita impor dari luar negeri. Persoalannya dalam hal
ini pilihan kebijakan seperti apa yang harus kita tempuh? Apakah konsumsi
harus kita turunkan ataukah produksi yang harus kita tingkatkan? Menurut
hemat saya, kebijakan yang lebih pas untuk saat ini adalah memacu produksi
nasional.
Kebijakan yang lebih
prokonsumsi akan menstimulasi produksi nasional karena dunia usaha akan
melihat ketersediaan pasar yang memadai untuk keberlangsungan investasi
mereka. Sementara kalau pilihan kebijakan menurunkan level konsumsi, hal itu
justru akan membuat dunia usaha nervous
dan menyulitkan mereka menyusun rencana pengembalian investasi atas ekspansi
bisnis mereka.
Kebijakan yang
menurunkan daya beli masyarakat, konsumsi domestik, akan cenderung direspons
oleh dunia usaha dengan menurunkan tingkat produksi. Hal ini membuat ekonomi
masuk dalam siklus ekonomi melambat akibat turunnya output nasional. Selain
itu kebijakan menjaga daya beli masyarakat dengan kondisi tren positif
investasi nasional. Investasi nasional tentunya akan mendorong dari sisi
produksi nasional.
Ketika tingkat
konsumsi terjaga dan sisi produksi terpacu melalui investasi, hal ini yang
dapat menjaga ekonomi nasional dari terpaan badai ketidakpastian perekonomian
dunia. Hal-hal yang berpotensi dapat mengurangi daya beli masyarakat harus
dihindari. Misalnya kebijakan PLN untuk menghapus subsidi listrik bagi
pelanggan listrik golongan 900 VA perlu dikaji ulang karena hal ini
berpotensi menurunkan daya beli masyarakat.
Selain itu keinginan
untuk mengurangi subsidi solar juga perlu dikaji ulang. Pilihan kebijakan
memang tidak mudah antara penghematan jangka pendek dari sisi fiskal dengan
menjaga daya beli masyarakat yang nantinya akan berdampak pada meningkatnya
penerimaan negara dalam jangka menengah.
Namun, menurut saya,
ekonomi nasional akan terjaga ketika kebijakan bukan menurunkan konsumsi,
tetapi mendorong produksi dan investasi. Sejumlah kebijakan untuk
menstimulasi daya beli masyarakat sebenarnya telah ditempuh baik oleh
pemerintah, Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kebijakan menurunkan
suku bunga KUR, suku bunga kredit, dan pelonggaran LTV menjadi beberapa bukti
pilihan kebijakan yang pada akhirnya dapat mendorong sisi konsumsi. Namun
tentunya kebijakan-kebijakan ini perlu didukung kebijakan lain agar konsumsi
domestik terus terjaga dengan tetap terus melakukan deregulasi dan
meningkatkan kemudahan doingbusiness
di Tanah Air.
Saya melihat, dengan
pilihan bauran kebijakan ini, perekonomian nasional tetap terjaga di saat
ketidakpastian kapan dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan berakhir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar