Hidup Pasca Berkelimpahan
Bahruddin ;
Dosen PSdK, Fisipol UGM; PhD
student at Melbourne University
|
KOMPAS, 24 Juni 2016
Efek domino penurunan
harga minyak internasional mulai terasa. Pemerintah daerah di kawasan
penghasil migas mulai terpukul karena penerimaan dana bagi hasil merosot
drastis (Kompas, 28/5).
Rasionalisasi belanja
daerah berupa pemotongan dan penundaan program harus diterapkan agar sesuai
kapasitas keuangan daerah. Kondisi ini tentu menyulitkan pemda penghasil
migas melaksanakan pembangunan karena terbiasa dengan dana bagi hasil (DBH)
berlimpah. Beberapa kabupaten bahkan masih terjebak ketergantungan DBH lebih
dari 70 persen, seperti Kabupaten Bengkalis 83,95%, Musi Banyuasin 86%, dan
Kutai Kartanegara 72,83% (Depkeu, 2014).
Hal ini sebenarnya
tidak perlu terjadi apabila pemda penghasil migas memiliki peta jalan (roadmap) pengelolaan sumber daya alam
yang tidak terbarukan (unrenewable).
Perlu perubahan paradigma menuju pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan
dalam roadmap. Pemda Bojonegoro memberikan contoh baik perubahan paradigma
ini.
Pemda Bojonegoro
sadar, deposit "emas hitam" di wilayahnya akan habis. Maka, Pemda
Bojonegoro menggulirkan serangkaian kebijakan inovatif pasca minyak dan gas
bumi.
Kebijakan inovatif
Amanah utama
pemerintahan adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Dalam konteks ini, berarti juga mengoptimalkan peninggalan masa lalu sebagai
salah satu aset kesejahteraan. Cara
pandang inilah yang diwujudkan Pemda Bojonegoro melalui dua kebijakan
inovatifnya: pengembangan desa wisata minat khusus berbasis sumur minyak tua
di Desa Wonocolo dan pengembangan dana abadi dari pendapatan minyak dan gas.
Akhir April 2016,
Pemda Bojonegoro bersama Pertamina dan masyarakat menjadikan Desa Wonocolo
sebagai tujuan wisata dengan ikon " little Teksas". Ikon Teksas
(bukan Texas) dipilih sebagai pengingat bahwa semangat "Tekadnya Selalu
Aman dan Sejahtera" telah menjadi kesepakatan bersama antarpihak untuk
kesejahteraan masyarakat.
Obyek utamanya adalah
aktivitas penambangan tradisional di sumur-sumur minyak tua peninggalan
Belanda. Wisatawan diajak menjadi bagian dari industri pengelolaan minyak
bumi berbasis masyarakat. Selain itu,
edukasi perminyakan dipersiapkan sebagai bagian dari pengalaman unik di Desa
Wonocolo.
Peluang kesejahteraan
dari industri wisata ini cukup menjanjikan. Wisata kota tua pertambangan
batubara di Sawahlunto, misalnya, menjadi best practice menghidupkan ekonomi
dari sisa-sisa extractive menuju industri parisiwata.
Pemda Bojonegoro juga
mulai menerapkan kebijakan dana abadi migas. Setiap tahun, Pemda Bojonegoro
akan mengalokasikan sejumlah dana dari APBD untuk masuk dalam rekening dana
abadi migas. Bunga dana abadi yang akan digunakan untuk peningkatan sumber
daya manusia dan penyelamat keuangan pemda ketika terjadi fluktuasi harga
minyak internasional.
Dua kebijakan itu
menunjukkan kreativitas Pemda Bojonogoro untuk menghubungkan masa lalu dengan
masa depan migas untuk kesejahteraan masyarakat. Kebijakan berpihak kepada
hak generasi mendatang agar mendapatkan manfaat dari kekayaan sumber daya
alam yang pernah ada di tanah kelahirannya.
Melalui kebijakan
tersebut, Pemda Bojonegoro berupaya menciptakan sumber daya manusia yang
berkualitas untuk keluar dari ketergantungan pada sumber daya alam sebagai
pilar utama pembangunan (natural
resources based development).
Ubah cara pandang
Inovasi kebijakan
Pemda Bojonegoro seharusnya menginspirasi cara pandang untuk membangun
Indonesia. Sayangnya, pemda yang kaya akan sumber daya alam lebih cenderung
membangun bandara dan gedung pemerintahan megah sebagai simbol kesuksesan
pembangunan. Mereka lupa bahwa semua karya pembangunan itu akan menjadi beban
ketika industri ekstraktif tidak mampu lagi menjadi energi penggerak ekonomi
daerah.
Model pembangunan
seperti ini berorientasi jangka pendek dan mengingkari hak generasi mendatang
mendapatkan manfaat kekayaan sumber daya alam di tanah leluhurnya. Oleh
karena itu, perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam mendesak dilakukan,
baik di tingkat nasional maupun daerah.
Banyak negara dapat
menjadi rujukan penyusunan roadmap pembangunan dari extractive industry ke
knowledge industry, salah satunya adalah Australia.
Pemerintah Australia
baru saja mengumumkan bahwa kontribusi industri pendidikan menyumbang hampir
20 miliar dollar Australia atau 13 persen dari total ekspor industri pada
2015 (Afr, 2016). Industri pendidikan merupakan penyumbang pendapatan ketiga
terbesar setelah batubara dan biji besi.
Kontribusi pendapatan
dari sektor pendidikan bersumber dari akumulasi pengeluaran siswa
internasional baik untuk sekolah, biaya hidup, dan rekreasi selama belajar di
Australia. Besarnya kontribusi ekonomi industri pendidikan di Australia
merupakan hasil konsistensi kebijakan pengembangan pendidikan.
Sebagian pendapatan
dari sumber daya alam dialokasikan untuk pengembangan pendidikan. Pemerintah
Australia mempersiapkan pendidikan untuk menopang struktur keuangan negara
seiring menurunnya kontribusi industri ekstraktif.
Pengembangan industri
pendidikan memiliki peluang multiplier effect yang strategis terhadap
sektor-sektor lainnya. Pertama, properti dan ritel yang langsung menerima
dampak positif geliat industri
pendidikan. Komoditas kedua sektor tersebut merupakan kebutuhan pokok siswa
internasional selama menempuh pendidikan.
Kedua, sektor
teknologi dan lisensi industri. Australia menjadi rujukan teknologi modern
pertambangan internasional. Selain itu, juga dominasi lisensi untuk berbagai
sistem keamanan pertambangan, misalnya standar alat pelindung diri (APD).
Menjadi jembatan
Kebijakan inovatif
Pemda Bojonegoro dan pengalaman Australia dalam mengelola sumber daya alam
patut menjadi teladan. Kekayaan sumber daya alam di Indonesia adalah berkah
yang harus dapat dinikmati lintas generasi. Pemerintah pusat dan daerah harus
mulai meninggalkan paradigma extractive government, khususnya untuk sumber
daya alam tidak terbarukan. Paradigma ini terbukti tidak menjamin
keberlanjutan manfaat karena melihat sumber daya alam sebagai komoditas
sesaat.
Paradigma baru dalam
bentuk bridging government perlu menjadi agenda Nasional dalam pengelolaan
sumber daya alam. Paradigma ini menekankan bahwa peran pemerintah adalah
sebagai institusi yang menjembatani kebermanfaatan sumber daya alam untuk lintas-generasi.
Sumber daya alam
adalah sumber ilmu pengetahuan yang memiliki nilai ekonomis secara
berkelanjutan. Dengan demikian, kelimpahan sumber daya alam di Indonesia
tidak hanya menjadi narasi dalam buku teks sejarah, tetapi juga menopang
struktur ilmu pengetahuan dan keahlian generasi mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar