Setelah Istri Membawa Rezeki Scaffolding
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO JAWA POS
|
JAWA POS, 27 Juni
2016
Hilangkan kebencian!
Kata Mohed.
Sekian puluh tahun
kemudian, Mohed, yang waktu kecil dididik dengan penuh kebencian, memiliki
lebih dari seratus perusahaan. Di seratus negara.
Menarik: dia orang
Syria. Suku Badui. Yang dulu hidup berpindah-pindah di padang pasir. Kini
Mohed tinggal di Prancis Selatan.
”Itulah kunci sukses
saya,” ujar Mohed Altrad yang tahun lalu terpilih sebagai World Entrepreneur
of the Year di Monaco.
Mohed sendiri tidak
tahu tanggal lahirnya. Maklum: lahir di padang pasir. Kira-kira saja kini
berumur 68 tahun. Anak-anaknyalah yang belakangan memutuskan tanggal berapa
Mohed lahir. Agar bisa merayakan ulang tahun sang ayah.
Sejak kecil Mohed
tidak punya ibu. Sang ibu meninggal. Ketika umur sang ibu masih remaja. Waktu
itu sang ibu terpaksa hamil: diperkosa seorang tokoh sukunya. Lahirlah Mohed.
Tanpa ibu, Mohed
diasuh neneknya. Ikut pindah-pindah. Sesuai dengan kebiasaan suku nomaden.
Dari satu oase ke gurun yang lain.
Akhirnya Mohed kecil diajak menetap di dekat
Kota Raqqa. Kota kecil yang kini sangat terkenal itu: ibu kota Negara Islam
Iraq dan Syria (ISIS).
Di Raqqa-lah Mohed ingin sekali sekolah.
Seperti teman-temannya. Neneknya melarang. Tapi, Mohed diam-diam berangkat ke
sekolah. Jalan kaki 6 kilometer. Tanpa alas kaki.
Setiap pulang Mohed
dimarahi. ”Menggembala kambing tidak perlu ijazah,” kata sang nenek. Seperti
umumnya anak Badui Arab, sang nenek juga harus menyiapkan sang cucu untuk
jadi penggembala yang baik.
Mohed nekat. Di sekolah Mohed menemukan
kebahagiaan. Juga menemukan pembebasan jiwanya. Dia menemukan cahaya. Yang
akan bisa menerangi kegelapan sejarah kelahirannya. Tiap pagi dia cepat
bangun. Agar keberangkatannya tidak dipergoki sang nenek.
Mohed juara sekolah.
Di semua jenjang. Sampai SMA.
Dia selalu dapat
beasiswa. Termasuk saat lulus jadi sarjana. Pelajaran fisika dan
matematikanya mengungguli seluruh negeri.
Pemerintah pun
mengirimnya ke Prancis. Tapi, Mohed hanya bisa bahasa Arab. Maka dia harus
belajar bahasa Prancis dulu di Montpellier. Enam bulan Mohed belajar bahasa
di kota bibir pantai selatan Prancis ini.
Tentu itu belum cukup. ”Saat harus mulai
kuliah di Paris, saya hanya mengerti 10 persen dari apa yang dikatakan
profesor saya,” guraunya.
”Tapi sudah cukup untuk mencari pacar gadis
asli Prancis,” tambahnya.
Fisika dan matematika
memang punya kode-kodenya sendiri. Penguasaan bahasa tidak menentukan.
Demikian juga pacaran. Punya bahasa isyaratnya sendiri.
Sang pacar adalah teman kuliahnya sendiri.
Sesama dari pantai selatan. Hanya beda kota.
Kawin.
Dari sinilah awal
suksesnya. Istri membawa rezeki.
Itu terjadi saat sang istri liburan ke
kampung halamannya. Tetangganya berkisah tentang pabrik yang terancam
bangkrut di kampung itu. Pabrik scaffolding. Buruhnya demo terus. Atau mogok.
Khas Prancis.
Sang istri mendesak
Mohed membeli pabrik itu. Hanya 1 dolar. Asal utang-utang di banknya
ditanggung.
Saat itu Mohed memang sudah punya tabungan
600.000 dolar. Hasil kerja selama empat tahun di perusahaan minyak di Dubai.
Belum cukup. Mohed mengajak tiga temannya berkongsi. Mohed 80 persen.
Di mana kunci
suksesnya?
Keterbukaan. Ketulusan. Kesungguhan.
Pertaruhan. Merebut kepercayaan buruh. Tidak egoistis. Optimistis. Tidak ada
kebencian. Desentralisasi.
Mohed bercerita apa adanya kepada buruh yang
suka mogok itu. Bahwa dia mempertaruhkan seluruh tabungan hasil kerjanya
selama empat tahun di situ.
Dengan rendah hati dia
mengaku dengan tulus: saya tidak tahu bisnis, tidak tahu mengurus pabrik,
bahkan tidak tahu scaffolding itu apa dalam bahasa Prancis.
Ketulusannya, kerendahhatiannya,
kenekatannya, semua itu meluluhkan hati buruh. Toh kalau pabrik itu tidak dia
ambil akan bangkrut juga.
Mohed sendiri berada di pojokan: sukses atau
ikut bangkrut. Tidak punya siapa-siapa. Tidak punya apa-apa.
Dia sukses.
Mohed kini menjadi pengusaha scaffolding
terbesar di dunia. Terutama sejak mengambil alih perusahaan scaffolding
Jerman yang jadi pesaingnya.
Kelihatannya industri
ini tidak bergengsi. Bukan pula sesuatu yang tampak modern. Tapi, tiap tahun
Mohed mengakuisisi perusahaan scaffolding di negara yang berbeda. Termasuk di
Amerika.
Mohed mempertahankan
kantor pusatnya di Kota Montpellier. Dengan hiasan Ferrari, Lamborghini, dan
sejenisnya.
Dengan hanya 25 staf.
Mohed menganut desentralisasi untuk mengurus
anak-anak perusahaannya: sepakati beberapa hal pokok, serahkan gaya ke
masing-masing, komunikasikan.
”Mungkin karena saya
pernah hidup di padang pasir,” katanya. ”Terbiasa dengan kebebasan penuh.”
Tapi, Mohed tetap
sulit tidur. Idenya terlalu banyak. Dia tidak bisa minum-minum di bar, atau
rekreasi atau olahraga.
Dia hobi menulis.
Malam-malamnya dia
sibukkan dengan menulis. Hasilnya menakjubkan: Badawi. Sebuah novel tebal
tentang suku Badui. Lebih tepatnya tentang perjalanan hidupnya.
Novel itu berkembang menjadi trilogi.
Sastrawan Montpellier memberinya penghargaan sastra. Juga menulis
rekomendasi: agar novel itu dibaca semua anak sekolah.
Wali kota Montpellier
ikut bersandar kepadanya. Saat klub bisbol kebanggaan kota itu terancam kesulitan
keuangan, sang wali kota merayunya untuk menyelamatkannya. Jadilah Mohed yang
tidak pernah berolahraga itu bos pemiliknya. Namanya pun banyak ditempelkan
di prasasti gedung itu.
”Biasanya, untuk orang Badui, seumur hidup
namanya hanya ditulis satu kali di prasasti,” katanya. ”Yakni saat meninggal
dunia. Ditulis di batu nisan.”
Mohed mengungkapkan semua itu saat berpidato
di Monaco tahun lalu. Saat dia menerima penghargaan dari Ernst & Young
sebagai Entrepreneur of the Year.
Saya pernah menghadiri forum itu, di situ,
di hotel itu, tapi bukan tahun itu. Yakni saat saya terpilih sebagai
Entrepreneur of the Year Indonesia. Oleh Ernst & Young. Untuk diadu di
tingkat internasional di Monaco. Sekalian nonton F1 yang balapannya lewat
jalan di depan hotel.
Saya tidak terpilih. Yang terpilih adalah
pengusaha alat kesehatan dari Jerman. Bukan dokter. Bukan sarjana. Tapi,
bisnis alat kesehatannya mendunia. Bahkan, dia menemukan alat perekam otak.
Sangat pantas dia terpilih. Saya bukan apa-apanya.
Tahun lalu Mohed yang terpilih. Juga sangat
pantas.
Apalagi, Mohed sangat
unik: Islam, Arab, minoritas, lagi terpojok isu imigran, terorisme, dan
kebencian.
Maka suara Mohed
sangat pantas didengar. Karena itu, pidatonya dikutip media secara luas.
Termasuk yang saya jadikan referensi ini.
Ke luar, ke pemerintah Prancis, dia
menyarankan banyak hal untuk mengatasi kekerasan, kemiskinan para imigran,
dan terorisme. Dia sampai diundang Perdana Menteri Prancis Francois Hollande
untuk mendiskusikannya.
Kepada para imigran sendiri dia menyerukan
untuk menghapus kebencian. Kepada siapa saja dan apa saja.
Saya ini, katanya, sejak kecil sudah diajari
kebencian. Di mana saja ketemu orang Yahudi, saya diajari harus membunuhnya.
Sejak kecil terus diajari itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar