Regionalisme Vs Globalisme :
Refleksi Global terhadap Brexit
Khairul Rizal ;
Kandidat PhD bidang Ekonomi
Geografi di University College London, UK; Bekerja di Bappenas
|
MEDIA INDONESIA,
29 Juni 2016
KAMIS (23/6) lalu,
rakyat Inggris melalui referendum telah memutuskan untuk mengakhiri
keanggotaan mereka di Uni Eropa. Mengikuti secara langsung kampanye kubu Leave, hampir semua argumen yang
dikampanyekan cenderung inward looking
(setidaknya bagi orang luar) karena memang ditujukan untuk menarik suara
rakyat Inggris. Tulisan coba mengulas peristiwa Brexit dari perspektif yang
berbeda. Secara spesifik tulisan ini mendudukkan peristiwa tersebut dalam isu
tata kelola global yang lebih luas, yaitu perdebatan antara regionalisme Vs
globalisme. Sederhananya, apakah regionalisme melemahkan globalisme?
Maraknya kesepakatan
perdagangan regional seperti Uni Eropa (UE) dan ASEAN (selanjutnya disebut
regionalisme) telah memicu debat mengenai dampaknya terhadap tata kelola
global, khususnya terhadap institusi perdagangan multilateral WTO. Dari
perspektif ekonomi, multilateralisme (atau disebut juga globalisme di sini)
akan selalu lebih superior jika dibandingkan dengan regionalisme dalam
meningkatkan kesejahteraan dunia secara keseluruhan.
Hal itu disebabkan,
dalam sistem multilateralisme, tidak akan terjadi pembatasan perdagangan yang
secara kalkulasi ekonomi mengurangi kesejahteraan. Regionalisme, di sisi
lain, akan selalu mengandung apa yang disebut 'trade diversion effects',
yaitu efek tidak optimalnya dampak kesejahteraan dari perdagangan. Jika
negara bertindak rasional, semua negara seharusnya promultilateralisme
ketimbang regionalisme. Kenyataannya tidak seperti itu. Negara punya
kepentingan dalam hal distribusi kesejahteraan baik antarnegara maupun
antarwarganya.
Karakteristik regionalism
Berbeda dengan
multilateralisme yang didasarkan pada prinsip perlakuan yang sama terhadap
negara lainnya, regionalisme dibentuk atas dasar preferensi anggotanya.
Negara anggota sepakat merendahkan bahkan membebaskan tarif antaranggota,
yang tidak berlaku bagi negara yang nonanggota. Kesepakatan bisa bilateral di
antara dua negara, tetapi bisa juga antarbeberapa negara yang biasanya
berbentuk free trade agreement
(FTA) seperti ASEAN atau custom union
(CU) seperti UE.
Perbedaan mendasar
antara FTA dan CU terletak pada mekanisme penetapan tarif eksternal. FTA
dilakukan setiap individu negara, sedangkan CU dilakukan secara kolektif.
Konsekuensinya, tarif FTA secara politik relatif mudah disepakati, tetapi
sulit diadministrasikan karena harus mendeteksi asal barang yang layak
mendapat perlakuan khusus (the rules of
origin). Sebaliknya, CU sulit untuk mencapai kesepakatan bersama mengenai
tarif, tetapi relatif mudah untuk diadministrasikan. Kemudahan untuk
disepakati di awal menjelaskan kenapa FTA lebih gampang dibentuk ketimbang
CU.
Apakah regionalisme
melemahkan globalisme? Dalam kepustakaan setidaknya ada empat argumen yang
menyatakan regionalisme dapat melemahkan globalisme (Frankle, 1997). Pertama,
kekuatan dari blok pasar yang terbentuk dari regionalisme akan menjadi
insentif untuk proteksi. Semakin besar blok pasar, misalnya UE, cenderung
mempunyai kekuatan kolektif monopoli pasar yang semakin besar. Akibatnya,
akan muncul semacam insentif bagi UE untuk melakukan proteksi blok pasar dari
pihak luar.
Kedua, kelompok-kelompok
kepentingan tertentu akan ‘membajak’ kebijakan perdagangan negara-negara yang
terlibat regionalisme. Kelompok ini menyadari akan kalah jika terlibat dalam
persaingan pasar bebas dan berusaha sekuat tenaga mencari perlindungan dari
pemerintah. Sampai di sini, argumen terpecah dua. Pandangan pertama melihat
regionalisme akan melemahkan kelompok kepentingan tersebut dan liberalisasi
akan terus berlanjut. Sebaliknya, pandangan kedua justru melihat kekuatan
kelompok ini akan menguat karena alasan sebagaimana argumen pertama: monopoli
pasar regional.
Ketiga, sumber daya
negosiator yang langka akan teralihkan dari negosiasi multilateral ke
negosiasi regional. Keempat, dan mungkin yang terpenting, secara inheren
regionalisme itu melemahkan globalisme karena alasan yang sangat sederhana:
suksesnya globalisme itu akan secara otomatis menihilkan semua benefit dari regionalisme. Argumen di
atas mengarah ke satu kesimpulan: dunia akan terperangkap dalam regionalisme.
Bagaimana
politik-ekonomi domestik menghambat negosiasi perdagangan multilateral? Dalam
dunia nyata, proses penyusunan kebijakan perdagangan di sebuah negara sering
kali ‘diwarnai’ kepentingan tertentu (Olson, 1965). Kelompok ini, walaupun
kecil dalam hal jumlah, sangat terorganisasi, mempunyai kapasitas lobi yang
besar, serta berpengaruh secara politik. Selama ini kelompok inilah yang
menikmati proteksi pemerintah dan merasa terancam dengan liberalisasi lebih
jauh. Untuk membatasi liberalisasi secara global, kelompok ini berusaha
‘mengarahkan’ kebijakan perdagangan pemerintah ke arah regionalisme.
Harapannya, mereka akan mendapat proteksi dari impor negara pesaing yang
bukan anggota sekaligus memperluas pasar ke negara anggota lainnya.
Ada dua cara yang
biasanya mereka tempuh untuk menjaga kepentingan mereka melalui regionalisme.
Cara pertama ialah dengan memanfaatkan instrumen ketentuan asal barang. Cara
kedua ialah melalui manipulasi ketentuan-ketentuan dalam kesepakatan agar
sektor-sektor yang sensitif dikecualikan dari kesepakatan. Singkatnya,
kelompok ini tidak menginginkan terjadinya liberalisasi lebih jauh karena
akan mengancam kekuatan monopoli dan keuntungan mereka. Liberalisasi terjauh
yang bisa ditoleransi mereka ialah regionalisme.
Bagaimana
politik-ekonomi internasional menghambat negosiasi perdagangan multilateral?
Dalam konteks politik-ekonomi internasional, argumen kenapa integrasi
regional justru menghambat globalisasi sering kali dikaitkan dengan peran
kekuatan hegemoni dunia. Dengan menggunakan kekuatan pasarnya, mereka sering
kali memaksakan agenda nonperdagangan dalam regionalisme. Agenda tambahan
seperti ini tidak mungkin diterapkan dalam konteks multilateral karena
preferensi tidak dapat diberlakukan. Coba bayangkan sebuah dunia tanpa
hambatan perdagangan, maka tidak akan ada yang namanya kekuatan pasar. Sudah
tentu kekuatan hegemoni ini enggan melepaskan kekuatannya begitu demi
globalisme. Justru dengan regionalisme, mereka dapat menggunakannya untuk
mewujudkan agenda-agenda global mereka dalam rangka mengelola globalisasi
versi mereka.
Situasi ini dimulai
dengan berbaliknya posisi AS dari yang semula mendukung multilateralisme
menjadi regionalisme (Frankel, 1997). Perubahan sikap merupakan respons atas
resistansi Eropa terhadap multilateralisme di konferensi tingkat menteri GATT
pada 1982 terkait dengan negosiasi multilateral. Begitu AS mulai membentuk
banyak regionalisme yang menguntungkan perusahaan AS, UE merespons balik
dengan melakukan hal yang sama. Kompetisi dua kekuatan hegemoni itu berlanjut
menjadi perlombaan ke arah regionalisme.
Belakangan ini, muncul
kembali ‘kompetisi’ serupa di antara dua blok regional: Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang
mengikutsertakan Tiongkok dan Trans
Pacific Partnership (TPP) yang difasilitasi AS, tetapi tidak mengikutsertakan
Tiongkok. Banyak yang melihat kedua blok perdagangan regional tersebut
merupakan kompetisi antara AS dan Tiongkok dalam rangka memenangi dominasi
global, sebagaimana halnya yang terjadi sebelumnya antara AS dan UE. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar