Mitos Ketergantungan
Sawitri Supardi Sadarjoen ;
Penulis Kolom PSIKOLOGI Kompas
Sabtu
|
KOMPAS, 25 Juni 2016
Ketergantungan
merupakan kata yang mengandung makna negatif. Kadang kita ungkap dengan
istilah lain, seperti ”saling tergantung satu sama lain”. Seorang teman saya
berpendapat, ”Secara faktual kita semua sebenarnya bergantung pada orang
lain.”
Sebetulnya, masalah
ketergantungan merupakan bagian dari kondisi manusiawi. Memang kita seolah
berpura-pura untuk bersikap mandiri saat kita masih muda, sehat, kuat, dan
kondisi pekerjaan kita baik. Namun, walaupun kehidupan kita berjalan mulus,
kita semua bersandar pada berbagai pelayanan ganda, baik dalam hal sistem
maupun berbagai struktur demi keberhasilan melalui keseharian dengan hasil optimal.
Kita tidak
memperhatikan fakta tersebut pada saat kita berada dalam kondisi baik,
seperti halnya para anggota sosial menengah ke atas. Namun, katakanlah jika
komputer yang kita gunakan rusak, asuransi kesehatan kita mengalami
penundaan, teman dekat kita pindah kota, mobil kita dicuri orang, dan kita
tidak menemukan seorang dokter gigi pun saat tiba-tiba kita mengalami
gangguan fungsi gigi. Dari kondisi tersebut kita justru menemukan kenyataan
bahwa sebenarnya betapa kita sangat bergantung pada orang lain.
Budaya kita menekankan
betapa kuatnya makna ketidaktergantungan yang akhirnya justru membuat diri
kita malu, jika kita masih memiliki ketergantungan pada lingkungan di mana
kita berada. Kita akan merasa malu, bahkan dipermalukan lingkungan, jika kebutuhan
fisik dan emosi yang bersifat khusus kita penuhi melalui ketergantungan kita
pada orang lain.
Untuk itu, Anne Finger
mengungkap sebagai berikut: ”Kami memang membutuhkan tingkat kebergantungan
tertentu, dan bukan ketergantungan untuk hal-hal lainnya”, misalnya, apabila
kita membutuhkan mobil, tentu saja kita tidak akan membutuhkan kursi roda.
Jika kita membutuhkan rambut tertata rapi, tentu saja kita juga butuh penata
rambut, walaupun untuk mencuci tangan kita tidak membutuhkan perawat.
Sebagian orang merasa
malu kalau harus menyatakan bahwa dirinya menderita suatu penyakit, atau
mereka bahkan akan malu mengekspresikan keluhannya secara terbuka karena
tuntutan lingkungan untuk bisa mengelola kesulitan demi tumbuh-kembang
kepribadian kita seoptimal mungkin pada masa mendatang.
Memang benar bahwa
pada dasarnya kebergantungan dan penderitaan merupakan komponen penting dalam
kondisi kemanusiaan. Namun, aspek lain dari hal yang memalukan dari kondisi
itu adalah kecenderungan kita memantapkan keyakinan lingkungan yang palsu,
yang mengungkapkan bahwa manusia akan menjadi manusia tangguh, yang pasti
mendapatkan jalannya sendiri untuk memperoleh kesehatan, kekayaan, dan
kebahagiaan bagi dirinya tanpa harus melalui ketergantungan pada orang lain.
Padahal, pengalaman
seseorang untuk berkesempatan mengungkapkan kelemahan dan kekurangannya
menjadi faktor penting sebelum lingkungan memberikan pelajaran tentang betapa
pentingnya kebutuhan kita akan pertolongan lingkungan demi tumbuh kembang
kepribadian kita di kemudian hari. Betapa ”kebergantungan” di satu sisi
sangat penting perannya.
Lelaki dan perempuan
Memang, tuntutan
lingkungan budaya pada khususnya, pada lelaki, bahwa seyogianya lelaki tidak
terlalu cepat memutuskan meminta arahan dan nasihat lingkungan jika mengalami
masalah terkait dengan labilitas emosinya saat tertentu. Lelaki dituntut
lebih mandiri dan tangguh dalam proses perkembangan kepribadiannya, tanpa
banyak pengarahan dari lingkungannya.
Untuk itulah, pada
masa lalu sedikit sekali lelaki datang untuk meminta bantuan psikoterapis,
kecuali kalau didorong oleh istrinya. Namun, saat ini keadaan sudah jauh
berbeda, banyak lelaki datang berkonsultasi terkait dengan, misalnya,
relasinya dengan istrinya atau relasinya dengan atasannya.
Begitu pula halnya
pada anak perempuan pertama dalam satu keluarga. Biasanya karena dituntut
keluarga untuk menjadi orang kuat dan pelindung adik-adiknya, anak perempuan
pertama merasa diri kurang tangguh apabila mengungkap kelemahannya kepada
orang lain.
Padahal, setiap orang
memiliki kekuatan dan kelemahan. Jadi, jika kita sedang berada dalam situasi
labil, sebenarnya tidaklah tepat jika kita terpaku menjadi diri sendiri tanpa
mengungkap perasaan kita, bahkan tanpa bergerak. Namun, sebagai suatu
alternatif lain untuk mengatasi kondisi labilitas emosi kita tersebut, kita
butuh bergerak dan berubah dalam sikap terhadap pemahaman kebergantungan saat
ini, karena ternyata kita dapat memperluas perspektif lain saat kita mampu
berbagi kesulitan tertentu dalam lingkungan pergaulan di mana kita berada.
Kita membutuhkan jalan
untuk mengingatkan diri kita, sampai akhirnya kita mendapat insight baru yang
merupakan kenyataan bahwa kita sebenarnya memiliki kemampuan yang selama ini
terpendam untuk mengatasi labilitas emosi kita tersebut, yang baru akan
terungkap saat kita mampu berbagi dengan lingkungan terbatas yang sejalan
dengan nurani kita.
Hal lain yang perlu
kita pertimbangkan, pada umumnya orang mengalami kesukaran untuk secara
otomatis beralih dari kebiasaan yang tidak produktif, yang bisa disebabkan
karena apabila kita merasa diri kita paling ”hebat”, sehingga kita berpikir
bahwa tidak ada orang lain yang lebih mampu dari diri kita dalam mencari
jalan keluar dari kesulitan yang kita hadapi. Dalam situasi seperti ini, kita
seyogianya berlatih untuk berbagi dan mendiskusikan kelemahan-kelemahan kita
seraya berhenti sejenak menjadi penasihat utama bagi orang lain.
Orang-orang yang
cenderung merasa selalu berada di bawah kemampuan orang lain seyogianya mulai
melakukan aktivitas yang mengandung arti sebaliknya, yaitu tidak mengungkap
kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan, tetapi mulailah menggali
energi psikis dan kompetensi yang sebenarnya dimiliki, walaupun sebenarnya
pada dasarnya pada saat itu kita tidak merasa cukup tangguh dalam mengatasi
persoalan yang kita hadapi tersebut.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kebergantungan terhadap lingkungan pada batas tertentu
memang sangat dibutuhkan.
Jadi, seyogianya mitos
ketergantungan terhadap lingkungan dapat kita geser demi upaya memahami pola
perilaku yang memungkinkan kita untuk menyempatkan diri menggali suara nurani
yang lebih otentik, tentu saja kalau kita memiliki kemauan keras
mempraktikkan hal-hal dan kemampuan-kemampuan yang pada dasarnya tidak datang
secara alami, demi peningkatan kualitas hidup kita kelak di kemudian hari.
Bravo! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar