Menakar Implikasi Brexit
A Prasetyantoko ;
Ekonom di Unika Atma Jaya
|
KOMPAS, 25 Juni 2016
Dalam arti tertentu,
kemenangan kubu Brexit tak terlalu mengejutkan. Pergulatan masyarakat Inggris
Raya menjelang referendum terlihat mencemaskan, bahkan cenderung menuju
pertarungan hidup dan mati. Puncaknya, penembakan Jo Cox, anggota parlemen
Partai Buruh, saat kampanye anti Brexit.
Tak hanya rakyat
jelata, politisi serta media pun terbelah dengan kekuatan yang relatif
berimbang. Keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (UE) disokong media besar,
seperti The Sun, The Sunday Times, The Sunday Telegraph, dan The Telegraph.
Sementara sebagian besar media ekonomi, seperti The Financial Times, dan
media umum terkemuka, seperti The Observer dan Mail on Sunday, gencar
menyuarakan agar menolak Brexit.
Implikasi ekonomi
Akhirnya, kubu Brexit
menang tipis (sekitar 51,9%) terhadap kubu pendukung tetap (48,1%). Dan,
proses politik masih akan berlanjut, baik di lingkungan Inggris sendiri
maupun Uni Eropa. Diskusi dipastikan akan panjang dan aneka mitigasi pasti
akan diupayakan.
Meski opsi keluar tak
terhindarkan, integrasi adalah soal derajat. Mengendur belum tentu putus.
Mungkin saja keluar secara politik, tetapi format integrasi ekonomi masih
tetap dipertahankan. Paling tidak dalam jangka pendek ini upaya untuk
menambal "kebocoran" kekuatan Uni Eropa akan terus dilakukan,
bahkan dengan dukungan global.
Risikonya, jika
dinamika ekonomi semakin tak mendukung, bisa jadi kekuatan politik pun turut
melemah. Dan, kalaupun tak sampai mengguncang keberadaan Uni Eropa, Brexit
sangat mungkin menjadi guncangan bagi blok perdagangan 28 negara anggota Uni
Eropa. Dan, fakta itu bisa jadi pintu masuk untuk menggerogoti kemegahan Uni
Eropa yang dibangun sangat panjang dari debu Perang Dunia II.
Bisa diduga, dampak
paling cepat dari fenomena Brexit adalah guncangan pasar keuangan yang
berlanjut dengan ketidakpastian global. Mata uang poundsterling merosot
sangat tajam mencapai nadir terendahnya selama 31 tahun terakhir terhadap
mata uang euro dan mata uang utama lainnya. Sementara itu, mata uang euro
juga tertekan terhadap dollar Amerika Serikat.
Sebaliknya bagi
perekonomian AS, menguatnya mata uang justru akan menimbulkan efek negatif,
khususnya pada ekspor yang makin tertekan. Jika ekspor turun, pertumbuhan
ekonomi juga akan melambat. Itulah mengapa Janet Yallen tidak jadi menaikkan
suku bunga The Fed pada awal Juni lalu.
Implikasi Brexit akan
menjadi sumber keresahan baru bagi pasar keuangan global. Jika pasar keuangan
tak pasti, sementara pertumbuhan rendah, neraca perusahaan akan memerah. Jika
neraca perusahaan yang melantai di bursa memburuk, bursa turut terseret ke
bawah dan terjadi migrasi kapital. Efek baliknya akan menghantam indikator
makroekonomi.
Lingkaran setan persoalan
tengah melilit negara maju. Jika negara maju melemah, perekonomian global pun
akan tertekan. Bisa jadi, revisi Bank Dunia atas pertumbuhan global dari 2,9
persen menjadi 2,4 persen masih akan berlanjut. Efek berikutnya, jika
pertumbuhan global meredup, dampaknya akan menerpa negara-negara berkembang
juga.
Bagi perekonomian
kita, ditilik dari jalur keuangan, bisa jadi kita termasuk salah satu negara
yang diuntungkan. Keluarnya modal dari negara maju akan mencari tempat baru
di negara berkembang. Mengingat perbedaan suku bunga dan imbal hasil
investasi di pasar keuangan kita dengan sebagian besar negara maju masih
begitu besar, likuiditas bisa jadi akan mengalir ke pasar keuangan kita.
Namun, dari jalur
perdagangan, kita akan semakin tertekan dengan perkembangan baru ini. Meski
tak punya banyak relasi langsung dengan Inggris, jalur perdagangan dengan
Eropa cukup tinggi. Belum lagi mempertimbangkan efek globalnya, di mana
permintaan global juga akan cenderung menurun. Ekspor kita ke beberapa negara
maju yang mulai pulih akan kembali surut.
Sementara dari jalur
investasi, dengan perkembangan dunia yang semakin gloomy, suram, arus investasi asing swasta juga akan menurun.
Paket kebijakan I hingga XII berisiko tak memberikan efek signifikan. Bukan
karena salah arah kebijakannya, melainkan memang dilakukan di saat yang tak
tepat.
Melemahnya integrasi
Majalah terkemuka The Economist edisi seminggu sebelum
referendum menulis kolom khusus cukup panjang tentang Uni Eropa. Dijelaskan,
pendirian Uni Eropa itu melibatkan proses panjang dan rumit yang tak bisa
dibayangkan, bahkan oleh para pendukungnya, apalagi pengkritiknya. Tersirat
ingin menyampaikan, terlalu naif membiarkan proses panjang pendirian Eropa
diruntuhkan oleh proses yang begitu singkat. Referendum merupakan proses
paling demokratis, tetapi di sisi lain juga bisa jadi paling tidak rasional.
Pilihan mereka dipengaruhi faktor emosional dan situasi sesaat saja.
Keputusan para pemilih
dalam referendum tentu saja tidak bisa dilepaskan dari perkembangan terkini
di kawasan Eropa. Perkembangan isu imigran tentu menjadi pemicu penting,
terutama bagi kelompok tua. Mereka tidak rela tanah air leluhurnya dibanjiri
pendatang. Sementara generasi muda jauh lebih fleksibel melihat isu sosial
seperti ini.
Situasinya mirip
tatkala mata uang euro akan dirilis. Generasi tua cenderung resisten dengan
argumen sentimental, tak ingin memori masa lalunya lenyap bersama hilangnya
simbol kebanggaan yang ada di mata uang setiap negara.
Berlarutnya krisis
ekonomi di kawasan Eropa juga menjadi faktor penting. Sejak krisis 2007/2008,
negara di kawasan Uni Eropa tak lagi merasa senasib, saling menuding sebagai
sumber kekacauan ekonomi. Dalam konteks referendum, Inggris merasa salah satu
faktor yang membuat mereka tak segera pulih adalah dinamika kawasan yang
sulit dikendalikan. Belum lagi fakta, neraca perdagangan Inggris makin besar
defisitnya terhadap Jerman.
Tak simetrisnya relasi
ekonomi antar-anggota Uni Eropa menjadi salah satu ganjalan serius. Tak hanya
Inggris; Yunani, Portugal, dan Italia pun mengeluh soal dominasi ekonomi
Jerman di tengah keterpurukan perekonomian negara lain di satu kawasan.
Secara umum, negara Eropa bagian selatan merasa defisit neraca perdagangan
mereka terjadi di tengah membesarnya surplus negara Eropa bagian utara,
khususnya Jerman.
Berangkat dari fakta
ini, keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan menimbulkan implikasi panjang,
bukan saja di sektor keuangan, melainkan juga perdagangan dan ekonomi, baik
kawasan maupun global. Fakta empiris ini bisa pula memunculkan minat akademis
untuk mempersoalkan regionalisasi, kebebasan ekonomi kawasan, hingga
unifikasi politik.
Format integrasi penuh
seperti Uni Eropa sepertinya tak lagi populer. Selain ekonomi, mereka juga
mengintegrasikan politik dan hukum sehingga markas Uni Eropa di Brussel
menjadi otoritas paling penting di kawasan tersebut. Belum lagi Bank Sentral
Eropa yang dinilai terlalu bias kepentingan Jerman. Sementara kelompok
masyarakat lain mengkhawatirkan integrasi kekuatan militer.
Arah pengembangan
Masyarakat Ekonomi ASEAN semakin sulit menuju pada integrasi menyeluruh.
Penyatuan mata uang yang tadinya sempat dipikirkan terasa tak relevan lagi.
Akibatnya, kebijakan menyesuaikan besaran nilai mata uang kita dengan negara
tetangga (redenominasi) menjadi kehilangan relevansinya.
Bagi perekonomian
domestik kita, efek jangka pendeknya diyakini tak banyak. Bahkan, banyak
asumsi yang cenderung positif dengan masuknya modal di pasar keuangan kita.
Namun, sejatinya dampak jangka menengahnya lebih serius, di mana pertumbuhan
global cenderung surut, disertai turunnya aktivitas perdagangan dan
investasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar