Analisis-Brexit dan China
Dinna Wisnu ;
Pengamat Hubungan
Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 22 Juni
2016
Sebagian rakyat
Inggris yang mendukung Inggris keluar dari Masyarakat Eropa (EU) mungkin
adalah kelompok masyarakat di dunia yang paling tidak populer saat ini. Sederetan ahli ekonomi, politik, dan sosial
di media massa lebih dominan menyerukan agar Inggris tetap berada di dalam EU
yang cikal bakalnya telah diletakkan melalui Perjanjian Paris tahun 1957. Dua
negara yang saling bersaing pengaruh di dunia, yakni Amerika Serikat (AS) dan
China, pun memberikan pendapatnya bahwa Inggris akan diuntungkan dan menguntungkan
masyarakat dunia bila tetap berada di dalam EU.
China yang biasanya
enggan turut campur dalam masalah rumah tangga negara lain pun tidak bisa
menahan diri memberikan pendapatnya untuk menolak Inggris keluar dari EU.
Seandainya ini menjadi
ukuran, referendum yang akan terjadi besok bisa dikatakan sangat penting bagi
dua raksasa ekonomi dunia tersebut.
Bagaimana dengan
dampak Brexit kepada Indonesia? Dampak negatif secara langsung bagi Indonesia
mungkin tidak demikian besar dibandingkan dengan AS dan China.
Investasi kita di
Inggris tidak sebanyak investasi kedua negara tersebut. Wajah hubungan
perdagangan Indonesia dengan Inggris lebih didominasi ekspor produk-produk
yang terkait dengan ekspor produk sepatu/alas kaki/ garmen, tekstil, industri
kerajinan kayu, kopi, permesinan, dan udang.
Sementara di sisi
impor didominasi oleh produk-produk padat modal atau barang konsumsi seperti
obat-obatan, pipa, komponen industri penerbangan, bahan dasar alumunium, atau
kosmetika.
Sebaliknya, dalam jangka
pendek, Indonesia dan negara-negara berkembang lain yang menyandarkan
ekspornya di sektor manufaktur dan agrikultur mungkin justru bisa diuntungkan
dengan keluarnya Inggris dari Eropa.
Produk-produk
agrikultur negara berkembang seperti minyak kelapa sawit, kopi, atau teh
adalah produk yang sangat kompetitif di pasar Eropa.
Petani-petani minyak
nabati (kedelai, bunga matahari, dll) di Eropa selama ini menikmati proteksi
yang dilakukan oleh EU terhadap impor minyak nabati kelapa sawit Indonesia.
Apabila peraturan di
Inggris lebih longgar maka produkproduk tersebut niscaya bisa lebih terserap
di pasar Eropa.
Namun demikian, saya
juga masih pesimistis kemungkinan itu bisa berjalan karena produk-produk yang
sudah terintegrasi dalam global supply chain
maka tata kelolanya tidak lagi diarahkan oleh sebuah kedaulatan hukum tunggal
negara tertentu, tetapi juga melibatkan nonstate
actors seperti konsumen, serikat buruh, asosiasi perdagangan, atau
lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Artinya walaupun
Inggris, misalnya, mendukung produk-produk agrikultur dan manufaktur
Indonesia, tidak lantas segalanya menjadi selesai karena secara diplomasi
Indonesia perlu tetap berhubungan dengan non-state actors yang jumlahnya
tidak sedikit dengan kepentingan dan tujuan berbeda-beda.
Bentuk tantangan yang
harus dihadapi misalnya berupa hambatan nontariff berupa sertifikasi dan
bentuk lain yang mirip, yang menyebabkan biaya produksi kita menjadi lebih
besar daripada produsen di Eropa sendiri.
Dampak negatif
seandainya Inggris keluar dari EU terhadap Indonesia mungkin berjalan secara
tidak langsung, khususnya melalui China. Inggris bagi China dapat disebut
sebagai Hong Kong-nya China di Eropa.
Perdagangan mata uang
yuan terbesar kedua di dunia adalah Inggris setelah Hong Kong bahkan Bank
Sentral China, juga telah memiliki rencana untuk membuka cabangnya di London.
Apalagi sejak IMF
menetapkan yuan sebagai special drawing rights atau mata uang yang bisa
dijadikan sebagai mata uang transaksi perdagangan dunia, China dapat
memberikan utang ke negara-negara lain tidak lagi dalam dolar tetapi dalam
yuan.
Bagi Inggris, membuat
London sebagai offshore pertama dari yuan juga memberikan keuntungan sendiri
dalam bentuk pajak dan pendapatan transaksi.
Hasil ini tidak lepas
dari usaha keras Chancellor George Osborne untuk meyakinkan China untuk tidak
memilih Frankfurt atau Brussels.
Hal ini mendorong
secara teoretis negara-negara lain untuk menyimpan cadangan devisanya dalam
bentuk yuan, seiring dengan semakin mendominasinya monopoli China dalam
perdagangan dunia.
Apabila hasil
referendum besok lebih banyak rakyat yang memilih Inggris tetap dalam
pangkuan EU, secara teoretis skenario di atas juga akan menguntungkan
perdagangan Indonesia karena ada alternatif digunakannya mata uang yuan.
Menguntungkan karena
selama ini transaksi perdagangan Indonesia lebih sering dilakukan dengan
dolar, padahal kebutuhan akan dolar kerap membuat neraca perdagangan kita
defisit.
Tentu dalam
praktiknya, para ekonom kita yang harus menghitung berapa besar transaksi
harus melalui dolar dan berapa besar melalui yuan.
Investasi China di
Inggris, walaupun tidak sebesar EU (6%) dan tidak sebesar ke Asia (68%), juga
sudah sangat signifikan nilainya. Dengan begitu, hal itu tentu akan membuat
pusing para pejabat Partai Komunis China apabila mayoritas rakyat Inggris
memutuskan keluar dari EU.
Hal ini yang
menyebabkan keterikatan China dengan Inggris sedemikian kuat sehingga apa
yang terjadi di Inggris, juga akan berdampak pada China.
Inggris juga menikmati
hubungan dengan China yang diformalkan dalam bentuk ”Strategic Comprehensive
Partnership”. Inggris pun menggabungkan diri dalam Bank Infrastruktur Asia
yang dikomandani oleh China.
Namun demikian, bagi
China, kerugian yang paling besar apabila Inggris keluar dari EU adalah
berkurangnya pengaruh China atas Eropa dari sisi ekonomi dan politik.
Khususnya karena
Inggris selama ini dibangun sebagai ”pintu masuk” ke pasar EU yang lebih
luas. Inggris telah membantu melobi Eropa agar China mendapatkan market
economy status (MES).
Kolom ini mungkin
tidak cukup untuk menjelaskan hubungan antara MES dan WTO namun penetapan
status ini penting bagi China yang telah banyak menerima tuduhan dumping dari
negara-negara lain atas produk-produk ekspor mereka.
Selain itu, hubungan
dengan Inggris juga bermanfaat untuk mengimbangi perdagangan bebas AS di kawasan
Eropa. Indonesia mungkin cukup lega tidak terlalu terkena dampak yang besar
dari apapun keputusan rakyat Inggris besok.
Namun demikian, kita
juga dapat mempelajari posisi China yakni bahwa suka atau tidak suka sebuah
kebijakan politik luar negeri akan mengandung risiko dan konsekuensinya
sendiri.
China mengambil risiko
untuk menjadikan London, dan bukannya Frankfurt atau negara lain di Eropa,
untuk menginternasionalisasikan yuan karena mereka harus mewujudkan strategi
”One Belt, One Road ” yang menghubungkan Asia Tengah, Asia Barat, Timur
Tengah, dan Eropa.
Menengok ke belakang,
Indonesia dan China pernah sama-sama menjadi negara berkembang 10 atau 20
tahun lalu. Pada saat itu, ciri utama dari perdagangan negara berkembang
selain pendapatan minyak- gas adalah mengandalkan produk ekspor dari sektor
manufaktur karena limpahan tenaga kerja.
Namun, China cepat
beranjak untuk meninggalkan sektor manufaktur. Sektor manufaktur sangat
ringkih karena lebih kental gejolak sosialpolitik daripada ekonominya.
Oleh sebab itu, China
mulai mengalihkan diri dan meningkatkan kelas bermainnya di sektor yang padat
modal dan teknologi dalam berkompetisi dengan negara lain.
Sektor ini lebih
stabil dan menghasilkan nilai tambah yang berlipat daripada sektor manufaktur.
Pilihan ini membuat China tidak bisa lepas dari pasar Eropa dan AS yang
memang menjadi surga bagi pasar yang padat modal dan teknologi.
Mereka harus masuk dan
menggunakan sistem yang berlaku di sana. Konsekuensinya, mereka menjadi lebih
terintegrasi dan mudah terimbas dengan gejolak politik dan ekonomi di Eropa.
Inilah pilihan China.
Ini pertanda bahwa Indonesia perlu bergegas memilih kelas bermainnya di pasar
global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar