Pengakuan dari Tangis dalam Pelukan
Dahlan Iskan ;
Mantan CEO JAWA POS
|
JAWA POS, 20 Juni
2016
Awalnya Donald Trump
seperti mendapat senjata baru: seorang beragama Islam menembaki orang Amerika
di sebuah night club bernama Pulse di Orlando.
Penembakan di Minggu
dini hari itu membuat 49 orang tewas. Sangat mengejutkan sekaligus wow:
terbesar dalam sejarah Amerika untuk sebuah penembakan yang dilakukan satu
orang.
Hanya dalam hitungan
jam Trump sudah mengeluarkan pernyataan. Intinya: benar kan? Dia pun
mendukung pernyataannya sendiri: untuk melarang orang Islam datang ke Amerika
Serikat (AS).
Bahkan, capres dari
Partai Republik itu langsung menuduh Presiden AS Barack Obama sengaja
membiarkan terorisme. Obama, kata dia, bahkan tidak pernah mau menggunakan
kata ”ekstremis Islam” selama ini.
Dengan kejadian ini
saja, katanya, sudah cukup alasan Obama harus turun.
Kalangan Islam Amerika
sendiri tidak kalah kagetnya: baru saja ada angin sejuk dari Muhammad Ali,
kok ada kejadian begini lagi.
Tapi, Amerika tetap
lebih rasional. Ketika fakta-fakta baru menunjukkan: ini aksi gila
perorangan. Dua senjata yang digunakan dia beli secara resmi. Dia kelahiran
Amerika meski bapaknya pelarian dari Afghanistan.
Dia bekerja di
perusahaan sekuriti: mula-mula penjaga penjara, lalu satpam sebuah realestat.
Sekolahnya pun di college jurusan hukum kriminal. Dia suka menghajar
istrinya. Hingga sang istri hanya tahan empat bulan untuk kemudian minta
cerai.
Dia tidak memiliki
hubungan dengan gerakan teroris. Apalagi dari Timur Tengah. Dia suka
marah-marah. Dengan siapa saja, mengenai apa saja. Termasuk mengenai negara
leluhurnya: Afghanistan. Begitulah kesaksian teman sekerjanya.
Dia, Omar Mateen, 29
tahun, ganteng. Juga macho. Seperti umumnya orang Afghanistan. Juga punya
sisi lembut dan ramah. Seperti yang dialami seorang penghuni kompleks
realestat yang dia jaga.
Penghuni itu mengalami
kesulitan membuka portal dengan kartu otomatisnya. Mateen membantunya dengan
sungguh-sungguh.
Memang ada kesaksian
dia menunjukkan kegembiraan saat tragedi 11 September di New York. Tapi, itu
lebih karena sakit hatinya atas serangan AS ke Afghanistan.
Ini sampai membuat
pengkhotbah di masjid terbesar Memphis Jumat lalu, seperti yang saya dengar
sendiri, menegaskan: ”Kita, umat Islam Amerika, harus menerima dan bersikap
inilah Amerika, negeri kita. Kita lahir di sini, akan mati di sini, anak-cucu
kita akan berkembang di sini. Jangan terus berpikir negeri leluhur kita.”
Memang tidak semua
orang seperti Trump. Pemilik rumah tempat saya tinggal juga punya komentar
spontan. Lebih spontan dari Trump. Tapi berbeda pandangan.
”Mungkin orang ini
juga punya kecenderungan gay,” katanya saat melihat breaking news di
televisi. Dua jam sebelum Trump berkomentar.
Dia pun menjelaskan
aspek kejiwaan mengapa dia punya respons spontan seperti itu. Besoknya
ternyata muncul kesaksian baru: istri Mateen membenarkan kecenderungan gay
itu.
Lalu ada kesaksian
lain: Mateen setidaknya 12 kali jadi pengunjung night club kalangan gay itu.
Pernah sampai sangat mabuk.
Pulse Night Club
memang sangat populer. Dan besar. Bangunannya bekas gedung surat kabar besar
di Orlando.
Pendirinya sudah
meninggal karena Aids. Nama Pulse (detak/nadi) diambil terinspirasi dari
hilangnya detak jantung si almarhum pendiri.
Muncul lagi fakta dari
jurusan lain: seorang anak muda, kulit putih, dari negara bagian di mana saya
tinggal, (negara bagian yang paling antigay) membawa senjata otomatis,
memarkir mobil di dekat acara parade kebanggaan kaum gay di Los Angeles,
mengaku akan mengacaukan acara itu. Indiana, negara bagian itu, tahun lalu
mengesahkan perda ”toko-toko boleh tidak melayani pembeli gay atau lesbian”.
Hari kedua setelah
penembakan di Pulse, arus diskusi publik pun berubah arah. Hanya satu hari
nama Islam banyak dikaitkan. Hanya di hari pertama. Yakni ketika fakta dan
kesaksian tersebut belum terungkap.
Memasuki hari kedua,
justru Trump yang jadi bulan-bulanan. Hillary Clinton dalam pidato khusus
menyikapi peristiwa itu menilai Trump bukan jenis warga Amerika seperti yang
diinginkan orang Amerika.
Isu pun beralih ke
soal upaya pengaturan kepemilikan senjata, ke soal gay dan bahkan ke soal
tatanan sosial baru yang harus dibangun. Ada juga seorang pendeta di gereja
di California yang berkomentar berlebihan: mestinya lebih banyak lagi gay
yang harus mati.
Seperti juga di Islam,
di Kristen menjadi gay adalah dosa. Injil, juga Alquran, mengatakan bahwa
Tuhan telah menghancurkan negeri yang mempraktikkan gay dan lesbian seperti
di zaman Nabi Luth (Alquran) di Kota Sodom dan Gomora (Injil).
Seperti umat Islam,
umumnya orang Kristen juga percaya itu. Hanya kalangan tertentu di Kristen
dan Islam yang mengatakan bahwa tafsir kitab suci tersebut tidak tepat.
Belum lama ini terbit
buku yang ditulis seorang pendeta yang menentang tafsir penyebab kehancuran
Kota Sodom (dari sini muncul istilah sodomi) dan Gomora itu.
Gambaran lain muncul
dari seorang remaja Kristen yang rumahnya dekat Pulse. Dia mengaku awalnya
sangat membenci gay. Juga sangat membenci night club itu.
Dia sendiri ternyata
tumbuh sebagai remaja yang menyukai laki-laki. Dia pun seperti ajaran
agamanya merasa jadi pendosa. Sangat tertekan.
Ketika makin dewasa,
dia dirayu temannya untuk masuk night club tersebut. Sejak itulah dia merasa
lepas dari tekanan. Night club tersebut jadi arena pembebasan bagi dirinya.
Dua hari setelah
kejadian di Pulse, seorang wartawan di Orlando melakukan investigasi. Dia
memasuki bar gay yang lain. Ingin meliput bagaimana perasaan para gay atas
kejadian di Pulse.
Sang wartawan
menyaksikan seorang gay merangkul erat seorang bartender. Sambil menangis.
Lama sekali.
Sang wartawan terus
membuntutinya saat gay tersebut meninggalkan bar. ”Mengapa Anda tadi menangis
begitu lama?” tanya sang wartawan. Jawabnya sangat mengejutkan si wartawan.
Dia mengaku sejak
remaja sudah menjadi gay. Dia merasa jadi pendosa yang tidak habis-habisnya.
Dia sudah berusaha keras untuk tidak menjadi gay. Sampai dia memutuskan
memasuki dunia yang sangat laki-laki: jadi tentara.
”Saya baru pulang dari
tugas di Afghanistan,” katanya.
Kejutannya adalah: dia
mengecam tindakan Mateen itu, tapi dia memahami betapa tertekannya Mateen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar