Jalan Jokowi bagi Tito Karnavian
Refly Harun ;
Akademisi dan Praktisi Hukum
Tatanegara;
Mengajar di Program Pascasarjana
UGM
|
DETIKNEWS, 16 Juni
2016
Teka-teki siapa yang
akan dimajukan sebagai calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri)
terjawab sudah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mengajukan Komisaris
Jenderal (Komjen) Tito Karnavian, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Naiknya Tito ke tangga
Kapolri bisa dibilang "setengah kejutan". Jalan Tito sudah
disiapkan ketika ia dipromosikan sebagai Kepala BPNPT, Maret lalu. Pangkatnya
naik dari bintang dua (inspektur jenderal) menjadi bintang tiga (komisaris
jenderal). Dengan menyandang bintang tiga itulah, peluang Tito terbuka lebar
untuk dicalonkan sebagai Kapolri.
Soalnya, di situ masih
ada Komjen Budi Gunawan (BG), yang saat ini menjabat sebagai Wakil Kepala
Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri). Sudah rahasia umum, Ketua Umum
PDIP Megawati menginginkan BG menjadi Kapolri. Apalagi kini jabatannya orang
nomor dua di jajaran kepolisian. BG adalah skenario pertama yang diperkirakan
banyak pihak.
Namun, sikap Jokowi
untuk tidak cepat-cepat menyebut nama membuat skenario awal itu melemah.
Skenario yang muncul berikutnya adalah perpanjangan masa jabatan Jenderal
Badrodin Haiti. Meski kontroversial, saya termasuk yang masih dapat mengamini
bila masa jabatan Badrodin diperpanjang. Bukan jabatan Kapolri yang
diperpanjang, melainkan masa dinasnya sebagai polisi aktif. Sebab, Kapolri
hanya bisa dijabat oleh polisi aktif.
Skenario ini
sepertinya hampir pasti dijalankan. Skenario ini jalan tengah untuk
memelihara kohesivitas kepolisian. BG tetap tidak jadi Kapolri, tetapi tidak
ada orang lain juga yang melompatinya. Riak-riak pendukung BG, terutama dari
kalangan PDIP, bisa diredam andai perpanjangan terjadi ketimbang memajukan
nama lain – kecuali nama itu Komjen Budi Waseso, yang konon sangat direstui
BG bila dipromosikan sebagai Kapolri.
Presiden Jokowi
seperti terjepit dengan dua skenario awal. Namun, sedikit tanpa
disangka-sangka, justru Tito yang dimajukan sebagai satu-satunya calon
Kapolri. Tito melompat melewati empat generasi yang mengantre untuk jabatan
Tri Brata 1.
Dari pemberitaan yang
ada, belum ada yang menolak Tito. Partai-partai seperti Hanura dan Nasdem
sudah menyatakan dukungannya. Tito bisa dibilang paket lengkap: cerdas secara
akademik (memperoleh gelar Ph.D dari luar negeri) dan berpengalaman di
lapangan, terutama dalam hal pemberantasan terorisme. Sederet prestasi
akademik dan prestasi lapangan sudah diperoleh lulusan Akademi Kepolisian
(Akpol) Angkatan 1987 ini.
Bagi saya pribadi,
nominasi Tito, yang merupakan skenario ketiga, sudah menunjukkan bahwa
"Jokowi is the real president", presiden yang sesungguhnya. Jokowi
sudah bisa secara independen menentukan siapa yang dimauinya sebagai Kapolri.
Sangat berbeda bila dibandingkan fenomena 2015. Tahun lalu, Jokowi tidak cukup
percaya diri untuk menunjuk Kapolri yang ia maui. Banyak yang menilai,
nominasi BG adalah langkah 'rekonsiliasi' Jokowi dengan Megawati.
Percaya Diri
Memasuki tahun 2016,
posisi politik Jokowi makin menguat. Koalisi Merah Putih (KMP) kini sudah
pecah. Karenanya, Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang dibangun untuk menyaingi
KMP tidak dibutuhkan. Kini hampir semua parpol berdiri di belakang Jokowi.
Tiga serpihan KMP yang jelas-jelas berada di belakang Jokowi adalah PAN, PPP,
dan terakhir Golkar. Hanya Gerindra yang masih menjaga jarak. Sementara PKS
belum memiliki orientasi yang jelas, tetapi sekarang sudah jauh lebih lunak
terhadap Jokowi.
Konstelasi politik
terbaru itulah kiranya yang membuat Jokowi kini lebih percaya diri untuk
keluar dari bayang-bayang Megawati. Sebagai pengusung utama kepresidenan
Jokowi, Megawati dan PDIP justru bersikap anomali. Yang paling garang
mengkrirtik kebijakan Presiden Jokowi dan pembantu-pembantunya justru PDIP
sendiri. Yang paling kentara, Pansus Pelindo II yang diketuai politisi PDIP,
Rieke Diyah Pitaloka, merekomendasikan pemecatan terhadap salah seorang
pembantu Presiden, yaitu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini
Soemarno. Bahkan, hingga kini Rini dilarang untuk mengadakan rapat kerja
dengan DPR. Partai lain sudah tidak mempersoalkan lagi hasil Pansus Pelindo
II. Hanya PDIP yang teguh menolak Rini.
Cukup Waktu
Andai disetujui DPR
menjadi Kapolri, cukup waktu bagi Tito untuk membenahi wajah Polri. Pria
kelahiran Palembang, 26 Oktober 1964, ini baru akan pensiun enam tahun lagi.
Saya membayangkan, sebelum menominasikan Tito, Presiden Jokowi sudah
mewanti-wanti Tito untuk segera manambal wajah bopeng polisi yang masih
terlihat.
Dua hal yang paling
menonjol di kepolisian. Pertama, masih kentalnya persepsi publik bahwa polisi
banyak terlibat kolusi korupsi dan nepotisme (KKN). Kedua, wajah polisi yang
harusnya teduh justru seperti menjadi 'mesin kriminalisasi'. Masih segar
dalam ingatan kita penersangkaan dua komisioner KPK, Bambang Widjojanto dan
Abraham Samad, yang kasusnya akhirnya dikesampingkan (deponeering) oleh Jaksa Agung. Demikian pula dengan kasus yang
mendera mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana, yang
ditersangkakan justru ketika melakukan inovasi pelayanan publik.
Kapolri saat ini
setidaknya sudah berhasil meredam sepak terjang polisi yang terlihat di luar
rel. Namun, tidak cukup waktu bagi Badrodin, yang cuma menjabat selama satu
tahun, untuk membenahi wajah kepolisian secara menyeluruh.
Dengan lebih dari enam
tahun tersisa dari masa tugasnya, Tito diharapkan mampu menorehkan tinta emas
perbaikan polisi. Hal itu tak lepas pula dari peran Presiden Jokowi sebagai
atasan langsung Kapolri. Saya membayangkan, Presiden Jokowi sudah 'mengancam'
Tito agar bekerja benar selama menjabat Kapolri. Tidak membiarkan polisi
sebagai sarang korupsi. Tidak pula menjadi 'mesin kriminalisasi'.
Polisi seyogianya
untuk rakyat, bukan untuk polisi itu sendiri. Jadi, bila ada penyimpangan di
kepolisian, Tito tidak perlu segan untuk memecat polisi-polisi yang nakal.
Kegarangan Tito dibutuhkan tidak hanya terhadap para teroris, tetapi juga
terhadap polisi-polisi yang nakal dan korup. Tirulah Ahok dalam hal ini, yang
tak segan-segan memecat bawahannya yang dianggap berbuat jahat bagi rakyat.
Akhirnya, tanpa
bermaksud mendahului DPR, selamat untuk "Jenderal" Tito Karnavian.
Selamat juga bagi Presiden Jokowi yang sudah menunjukkan bahwa ia benar-benar
seorang presiden. Bukan "petugas partai" yang membeo terhadap
kemauan petinggi partai. Pak Jokowi, dalam membentangkan jalan bagian Tito
Karnavian, "you are the real
president." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar