Koordinasi Polri-OJK Bisa Cegah Investasi Bodong
Bambang Soesatyo ;
Ketua Komisi III DPR RI Fraksi
Partai Golkar;
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
|
KORAN SINDO, 13 Juni
2016
Investasi bodong atau
bank gelap itu jelas-jelas tindak pidana penipuan. Jika Otoritas Jasa
Keuangan (OJK) mau menjalin kerja sama dengan institusi penegak hukum, modus
penipuan terhadap orang banyak itu seharusnya bisa diminimaliisasi.
Namun, kalau investasi
bodong kini makin marak, itu pertanda minimnya perlindungan terhadap
masyarakat. Baru-baru ini OJK mengemukakan bahwa perusahaan yang
mempraktikkan bank gelap atau investasi bodong makin marak. Kalau pada 2014
ada 262 perusahaan terindikasi melakukan investasi bodong, saat ini jumlahnya
meningkat jadi 406 perusahaan.
Sudah barang tentu
ratusan perusahaan ilegal itu tidak memiliki izin dari OJK. Kalau usaha
ilegal itu leluasa beroperasi, OJK curiga perusahaan-perusahaan ilegal itu
mendapatkan izin dari instansi lain. Pertanyaannya, kalau OJK sudah memiliki
temuan berikut data-datanya, apa tindak lanjutnya? Sekadar disimpan sebagai
temuan atau ditindaklanjuti sebagai kasus penipuan masyarakat?
Kalau efektif
menjalankan fungsi melindungi masyarakat, OJK seharusnya mengambil prakarsa
menertibkan atau menghentikan praktik penipuan yang dilakukan ratusan
perusahaan ilegal itu. Tentu OJK tidak bisa bertindak sendiri. Inisiatif yang
seharusnya segera diambil adalah melaporkan kecurigaan itu kepada penegak hukum,
Polri misalnya, untuk kemudian bersama- sama melakukan penertiban atau
penangkapan di lapangan.
Mekanismenya kurang
lebih sama dengan ketika Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menindaklanjuti
dugaan tindak pidana pada hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP) setiap tahun. Bila ditemukan unsur pidana pada hasil pemeriksaan, BPK
melaporkan temuan itu kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan,
paling lama satu bulan sejak diketahui ada unsur pidana.
Tentu saja instansi
berwenang yang dimaksud adalah pejabat penyidik. Laporan BPK itu akan
dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik sesuai peraturan perundang-
undangan. OJK dengan hasil temuannya itu seharusnya juga sigap menempuh
mekanisme yang demikian. Kesigapan mengambil inisiatif seperti itu jelas
sangat dibutuhkan dan masuk akal.
Sebab, mengendapkan
temuan kasus dan data tentang dugaan pidana penipuan di laci tidak akan
menyelesaikan masalah. Dugaan pidana penipuan, apa pun modusnya, wajib
direspons sesegera mungkin agar masyarakat terlindungi. Sebaliknya,
membiarkan dugaan tindak penipuan merajalela sama saja dengan menjerumuskan
masyarakat.
Apalagi, praktik
investasi bodong atau bank gelap itu sendiri bukan modus atau cerita baru.
Bisnis ilegal seperti itu sudah berlangsung sangat lama. Menemukannya pun
tidak sulit karena model investasi seperti itu selalu menjadi bahan
pembicaraan masyarakat. Jadi, jika rajin bertanya, cukup mudah menemukan
perusahaan jasa keuangan ilegal itu.
Kalau di tahun-tahun
terdahulu investasi bodong atau bank gelap hanya ditawarkan kepada masyarakat
di kota-kota besar, bisnis ilegal itu kini telah melebarkan sayapnya hingga
ke daerah atau kota-kota kecil. Mereka leluasa bergerak karena minimnya
pengawasan. Sepak terjang mereka tidak dicurigai karena ketidaktahuan
masyarakat maupun aparatur pemerintah daerah.
Bahkan, dalam banyak
kasus, sejumlah aparatur pemerintah daerah juga menjadi nasabah investasi
bodong atau bank gelap itu. Ketika pada akhirnya para nasabah menyadari telah
ditipu, tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali melaporkan masalahnya kepada
kepolisian setempat.
Biasanya, ketika
laporan itu dibuat, pihak terlapor atau pemilik perusahaan investasi bodong
itu sudah tidak diketahui lagi rimbanya, yang tersisa hanya karyawan di
kantor sewaan. Pemilik atau pelaku utama pidana penipuan sudah lari dan
bersembunyi entah di mana. Nasabah harus menunggu tanpa kejelasan, saat
polisi melakukan pencarian. Dan, dalam banyak kasus, nasabah akhirnya pasrah.
Uang yang mereka investasikan itu tidak pernah bisa kembali.
Perbaiki Perizinan
Pengalaman buruk
seperti itulah yang kini dirasakan belasan ribu warga Larantuka dan
sekitarnya di Kabupaten Flores Timur, NusaTenggara Timur (NTT). Dirayu dengan
iming-iming imbal hasil tinggi, belasan ribu warga di kabupaten setempat
menyimpan uang mereka pada Lembaga Kredit Finansial (LKF) Mitra Tiara.
Terhitung sejak
beroperasi pada 2009 hingga pemiliknya melarikan diri pada paruh pertama
2013, LKF Mitra Tiara menjaring sedikitnya 16.000 nasabah dengan jumlah dana
masyarakat Rp418 miliar. Untuk daerah dengan sumber ekonomi yang terbatas dan
peredaran uang relatif kecil, dana masyarakat yang dihimpun LKF Mitra Tiara
itu terbilang sangat besar.
LKF Mitra Tiara
menjanjikan bunga deposito 10% per bulan. Mempekerjakan warga lokal untuk
menjaring sanak keluarga mereka, dalam sekejap LKF Mitra Tiara didatangi
ribuan nasabah dengan ragam latar belakang. Guru, pegawai negeri sipil,
petani, pedagang, hingga pekerja swasta memercayakan dana mereka di LKF ini.
Sebagian nasabah bahkan nekat menguras dana mereka yang disimpan di bank
untuk kemudian dipindahkan ke LKF tersebut.
Konon, ada warga yang
berani mengajukan permintaan kredit ke bank untuk ditempatkan di Mitra Tiara.
Muncul sejumlah kejanggalan dalam kasus ini. Pertama, LKF Mitra Tiara
beroperasi pada lokasi yang tidak jauh dari kantor pemerintah, kantor polisi,
dan dua kantor cabang bank BUMN. Modus LKF minimal bisa dipertanyakan oleh
institusi pemerintah di sekitarnya, mengingat apa yang ditawarkan Mitra Tiara
kepada masyarakat tidak wajar.
Namun, kalau semua
institusi pemerintah di sekitarnya diam saja, boleh jadi karena para pejabat
lokal tidak memahami legalitas bisnis LKF Mitra Tiara itu. Kejanggalan kedua
tentang minimnya reaksi dua kantor cabang BUMN di situ. Padahal, dua kantor
cabang bank itu terkena dampak langsung dari bisnis ilegal Mitra Tiara.
Dampak pertama, ketika
nasabah bank ramai-ramai menarik dana mereka untuk dipindahkan ke Mitra Tiara
yang menawarkan besaran bunga deposito tidak masuk akal itu. Dampak kedua,
saat banyak warga mengajukan permintaan kredit untuk juga ditempatkan di
Mitra Tiara.
Logikanya, dengan dua
dampak itu saja, dua kantor cabang bank itu bisa mengendus informasi tentang
ada praktik bank gelap di dekat mereka. Kalau dua bank itu responsif, apa
yang dipraktikkan Mitra Tiara itu seharusnya dilaporkan ke pihak berwajib
setempat. Sayang, asumsi ini tidak pernah terjadi sampai menghilangnya
pemilik LKF Mitra Tiara.
Nasabah sudah
menderita kerugian besar karena pemilik LKF menjadi buron hampir selama dua
tahun. Contoh kasus penipuan oleh LKF Mitra Tiara di Larantuka itu memberi
gambaran sangat jelas betapa masyarakat begitu tidak terlindungi oleh praktik
bank gelap. Benar bahwa masyarakat salah karena memercayakan uang mereka pada
sebuah perusahaan yang ilegal.
Tetapi, menjadi tugas
dan pekerjaan OJK membantu dan menuntun masyarakat untuk bisa tahu mana yang
ilegal dan legal. Keawaman masyarakat itulah yang perlu menjadi perhatian
bersama. Siapa yang memberi izin kepada perusahaan-perusahaan ilegal itu
menghimpun dana masyarakat? Ketika OJK menduga izin untuk bisnis ilegal itu
diterbitkan instansi lain, berarti ada persoalan serius.
OJK yang sudah
memiliki banyak contoh kasus tentu harus turun ke lapangan untuk melakukan
penyelidikan. Hasil penyelidikan itu bisa menjadi pijakan untuk melakukan
perbaikan dan penataan mekanisme perizinan bagi pendirian
perusahaanperusahaan pengelola investasi.
Prakarsa OJK untuk
melakukan perbaikan tentu ditunggu agar pada waktunya nanti bisa dituangkan
sebagai kebijakan pemerintah pusat yang harus ditaati semua pemerintah
daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar