Menguji Kewenangan Pembatalan Perda
Oce Madril ; Dosen
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
|
KORAN SINDO, 25 Juni
2016
Pemerintah telah membatalkan 3.143 peraturan
daerah (perda). Menteri dalam negeri (Mendagri) sebagai pihak yang berwenang
dalam pembatalan ribuan perda ini beralasan bahwa perda-perda tersebut telah
mengganggu iklim ekonomi dan investasi. Tercatat bahwa ini merupakan
pembatalan perda secara masif dari sisi kuantitas yang pernah dilakukan oleh
pemerintah. Namun, pembatalan ribuan perda ini telah menimbulkan perdebatan.
Banyak pihak mempertanyakan aspek
konstitusionalitas kewenangan mendagri untuk membatalkan perda-perda
tersebut. Bahkan menurut Mahfud MD, mekanisme pembatalan perda itu keliru
secara hukum. Dalam tulisannya di koran ini, Mahfud berpendapat bahwa
seharusnya upaya yang ditempuh untuk membatalkan perda-perda yang dianggap
bermasalah itu melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung (MA), bukan melalui
mendagri. Sementara di sisi lain, pemerintah bersikukuh bahwa pembatalan
perda ini semata-mata dilakukan karena memang dibenarkan oleh UU Pemerintahan
Daerah.
Polemik perihal kewenangan mendagri ini muncul
lantaran tidak sinkronnya berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam hal
ini ada dua UU yang saling bertabrakan, yaitu UU Pemda dan UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian, UU Pemda
juga dinilai bertentangan dengan konstitusi, khususnya mengenai mekanisme
pengujian terhadap perda.
Rezim Pengawasan
Dari perspektif hukum pemda, mekanisme
pembatalan perda bukanlah hal baru. Mekanisme ini telah diperkenalkan sejak
era pemerintahan orde lama melalui UU Nomor 22 Tahun 1948 tentang
Pemerintahan Daerah. Aturan tersebut bermetamorfosa hingga saat ini. UU Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemda yang digunakan saat ini juga memuat aturan
serupa.
UU Pemda menggunakan pendekatan executive
review atau pengujian sebuah aturan yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal
ini yang melakukan pengujian atas Perda adalah kementerian dalam negeri.
Seolah-olah, pemerintah pusat menjadi hakim yang melakukan review atas produk hukum daerah. Dalam perspektif
hukum pemda, pembatalan perda merupakan bagian dari mekanisme pengawasan
pusat atas daerah.
Ada dua model pengawasan yang dilakukan.
Pertama, pengawasan represif (repressief toezicht) dan kedua, pengawasan
preventif (preventief toezicht). Kedua model pengawasan ini dilakukan sebagai
mekanisme kontrol pusat atas produk hukum daerah, baik berupa perda maupun
peraturan kepala daerah, sehingga setiap penyusunan regulasi di daerah harus
dikonsultasikan ke pemerintah pusat dan jika ditemukan perda yang dianggap
bermasalah maka pemerintah pusat berwenang membatalkannya.
Kewenangan pembatalan perda ini telah secara
tegas diatur dalam UU Pemda. Akan tetapi memang tidak ada pengaturan lebih
rinci bagaimana kewenangan pembatalan itu dilakukan. UU hanya mengatur bahwa
ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dasar pembatalan, yaitu bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum,
dan/atau kesusilaan.
Bertentangan dengan kepentingan umum meliputi;
terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat, terganggunya akses terhadap
pelayanan publik, terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya
kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan
diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, dan
gender.
Alasan-alasan yang digunakan sebagai dasar
pembatalan masih sangat umum-abstrak sehingga memberikan ruang penafsiran yang
sangat luas bagi pemegang kewenangan ini.
Rezim Judicial Review
Berbeda dengan UU Pemda, konstitusi menganut
rezim judicial review atau pengujian
melalui mekanisme peradilan bagi peraturan yang diduga melanggar konstitusi
atau peraturan di atasnya. Dalam Pasal 24A dan 24C ditegaskan bahwa bagi UU
yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 diuji di MK, sementara peraturan
di bawah UU diuji di MA.
Pengaturan ini ditegaskan lagi dalam Pasal 9
UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa
dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah UU diduga bertentangan
dengan UU, pengujiannya dilakukan oleh MA.
Menurut ketentuan Pasal 7 UU 12/2011, perda
merupakan salah satu jenis aturan dalam hierarki peraturan perundang-undangan
yang posisinya berada di bawah UU. Dengan demikian, berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut, hanya MA-lah yang berwenang menguji sebuah
perda. Sehingga dari sudut pandang konstitusi, ketentuan pembatalan perda
yang dilakukan oleh mendagri jelas bertentangan secara vertikal dengan UUD
1945 dan secara horizontal dengan UU 12/2011.
Hak pemda untuk membuat perda dilindungi oleh
konstitusi. Ditegaskan dalam Pasal 18 ayat 6 UUD 1945 bahwa pemerintahan
daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Ini artinya, kewenangan pemda
dalam membuat perda bersumber langsung dari konstitusi.
Di samping itu, kita juga harus ingat bahwa
penyusunan perda bukanlah perkara sederhana. Ada berbagai tahapan yang harus
dilalui, termasuk konsultasi dengan pemerintah pusat. Perda tidak hanya
disusun oleh pemda dan DPRD saja. Ada banyak stakeholder yang terlibat melalui partisipasi
masyarakat. Bahkan ada perda yang memang diinisiasi oleh kelompok masyarakat
sipil. Secara biaya, penyusunan sebuah perda bisa memakan ratusan juta rupiah
dana APBD. Karenanya, pembatalan sebuah perda harus betul-betul melalui
pertimbangan yang matang.
Selain berpotensi melanggar konstitusi,
mekanisme pembatalan perda ini juga masih menyisakan banyak pertanyaan.
Misalnya bagaimana mekanisme yang digunakan kementerian dalam negeri dalam
mengkaji perda-perda yang diduga bermasalah itu? Apakah pembatalan dilakukan
terhadap keseluruhan perda atau hanya sebagian pasal saja? Bagaimana akibat
hukum atas kebijakan yang lahir atas dasar perda yang dibatalkan? Upaya hukum
apa yang tersedia jika pemda dan/atau masyarakat daerah merasa dirugikan
karena pembatalan perda itu?
Tidak ada pengaturan yang lebih lanjut yang
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Minimnya pengaturan memberikan
kewenangan yang sangat luas bagi mendagri. Luasnya diskresi mendagri ini
sayangnya tidak diikuti dengan adanya mekanisme kontrol. Di sinilah rentan
terjadi penyalahgunaan wewenang.
Ke depan, perdebatan ini bisa dibawa ke
hadapan Mahkamah Konstitusi. Pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan
kewenangan pembatalan perda ini, bisa mengajukan judicial review atas UU Pemda. MK akan memberikan kata final atas
pertanyaan-pertanyaan terkait konstitusionalitas kewenangan pemerintah untuk
membatalkan perda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar