Sabtu, 04 Juni 2016

"Penghilangan Perempuan" dalam SDGs

"Penghilangan Perempuan" dalam SDGs

Misiyah ;   Direktur Eksekutif Institut KAPAL Perempuan
                                                         KOMPAS, 04 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Prinsip no one left behind dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tampaknya akan diabaikan oleh Pemerintah RI.

Dua isu krusial di negeri ini, yakni sunat perempuan dan perkawinan anak, terancam dihilangkan. Data Unicef 2015 berdasarkan survei di 33 provinsi, 497 kota dan 300.000 rumah tangga pada 2013 menunjukkan gambaran menohok: lebih separuh jumlah anak gadis di Indonesia mengalami penyunatan pada usia di bawah 12 tahun, bahkan tiga dari empat gadis mengalami sunat dengan pemotongan klitoris atau sejenisnya pada usia di bawah enam bulan!

Fakta itu menempatkan Indonesia pada urutan ketiga praktik kekerasan terkait seksualitas dan organ reproduksi perempuan, setelah Mesir dan Etiopia. Secara lebih rinci, praktik itu juga menebas habis hak anak bersuara, hak mendapat informasi dan mengetahui apa yang terjadi pada tubuhnya. Laporan pada 2016 menyebut sedikitnya 200 juta anak perempuan dan perempuan di 30 negara mengalami praktik mutilasi kelamin.

Representasi Indonesia sebagai negara terkemuka dunia anggota G-20 luruh di hadapan fakta bahwa Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara di dunia dengan praktik perkawinan anak tertinggi, atau pada posisi kedua di ASEAN setelah Kamboja.

Ironisnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang melegitimasi perkawinan anak umur 16 tahun dan memberlakukan fatwa Majelis Ulama Indonesia No 9A/2008 tentang Khitan Perempuan masih terus dipertahankan.

Belenggu berpikir

Peta jalan pembangunan global untuk mencapai seluruh sasaran SDGs 2030 mensyaratkan kesetaraan jender. Syarat ini dinilai penting karena tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, bahkan data internasional menunjukkan hampir separuh anak di bawah 15 tahun mengalami kekerasan fisik dan seksual. Planet 50 : 50 : Langkah untuk Kesetaraan Jender yang diluncurkan PBB pada peringatan Hari Perempuan Internasional 2016 bukan sekadar tema. Kesetaraan dan keadilan dalam relasi kuasa antara yang kuat dan yang dilemahkan, antara laki-laki dan perempuan, adalah dasar membangun masa depan demokrasi substansial.

Lalu, masa depan Indonesia seperti apa yang bisa dibayangkan dari generasi yang dibelenggu mitos dan moral sempit, yang melihat tubuh perempuan hanya seonggok daging mati? Generasi macam apa yang bisa dibayangkan dari praktik diskriminasi dan pembodohan yang terus berlanjut terhadap anak perempuan?

Budaya sunat perempuan, khususnya kasus pemotongan klitoris, juga berarti pemotongan separuh hidup perempuan. Bahkan, sunat secara simbolik pun telah mengajari anak-anak perempuan sejak dini berada dalam posisi subordinasi sebagai pihak yang ditundukkan dengan menerima mitos tentang keliaran hasrat seksualnya. Budaya perkawinan anak di bawah umur terus menuai kontroversi karena bersinggungan dengan ranah agama dan mendapat pengesahan berdasarkan interpretasi teks. Dalam perspektif kultural, konsep kepemilikan membuat anak perempuan 'harus dilindungi' dari perbuatan zina dan tindakan 'amoral' lainnya, dengan cara mengawinkan mereka. Dasar yang penuh prasangka itu memenuhi pikiran orang dewasa terhadap anak-anak mereka.

Konsep kepemilikan menempatkan anak dalam posisi paling bawah dalam struktur penindasan memicu tindak kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan di dalam rumah oleh orang-orang terdekat dalam hubungan darah.

Di wilayah pedesaan, selain kental motif ekonomi, stigma 'perawan tua' terus dihidupkan, menyebabkan anak, secara sosial, dipandang rendah kalau belum dinikahkan. Dampak perkawinan di bawah umur telah banyak dibahas, termasuk kematian saat melahirkan dan lingkaran kemiskinan yang semakin sulit diputus.

Penyebab utama berlanjutnya praktik pelanggaran adalah budaya dominasi; yakni cara pandang yang memberikan otoritas pada para patriarkh untuk menentukan semua aspek dalam masyarakat. Otoritas itu telah merasuki pikiran laki-laki dan perempuan dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi kebenaran.

Situasi itu menimbulkan berbagai dampak serius, satu di antaranya adalah dilenyapkannya perempuan dan seluruh kelompok yang dipinggirkan dari seluruh proses pembangunan. Fenomena disappearing women itu telah diantisipasi Program Pembangunan PBB (UNDP) dan Komisi Sosial Ekonomi PBB untuk Asia Pasifik (UNESCAP) dalam Laporan Pembangunan Manusia 2010.

Lonceng darurat

Lonceng darurat sudah harus dibunyikan. Mitos-mitos yang menghalangi kemajuan peradaban harus dipatahkan. Pemerintah Indonesia harus menempatkan pembangunan manusia setara atau bahkan lebih tinggi daripada pertumbuhan dalam pembangunan ekonomi. Penghapusan sunat perempuan dan perkawinan usia anak merupakan faktor penting dalam pemajuan peradaban, kemanusiaan, dan hak asasi manusia. Dengan mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan kekerasan fisik, psikologis, dan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, Indonesia bisa menegakkan kepala dalam pergaulan masyarakat internasional.

Cara pandang dalam relasi kuasa yang setara dan adil yang jelas tercantum pada Tujuan-5 SDGs merupakan kunci mencapai 169 target untuk menuju transformasi dunia pada 2030, terutama mengakhiri kemiskinan, kelaparan, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, serta keadilan dan keamanan dalam arti yang sangat luas. Dalam penyusunan rencana kebijakan yang melandasi pelaksanaan SDGs menuju Transformasi Indonesia 2030, sebaiknya juga dirancang peta jalan penghapusan sunat perempuan dan perkawinan anak serta seluruh upaya membangun masyarakat cerdas-bernalar. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar