"Penghilangan Perempuan" dalam SDGs
Misiyah ;
Direktur Eksekutif Institut
KAPAL Perempuan
|
KOMPAS, 04 Mei 2016
Prinsip
no one left behind dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tampaknya akan diabaikan oleh Pemerintah RI.
Dua
isu krusial di negeri ini, yakni sunat perempuan dan perkawinan anak,
terancam dihilangkan. Data Unicef 2015 berdasarkan survei di 33 provinsi, 497
kota dan 300.000 rumah tangga pada 2013 menunjukkan gambaran menohok: lebih
separuh jumlah anak gadis di Indonesia mengalami penyunatan pada usia di
bawah 12 tahun, bahkan tiga dari empat gadis mengalami sunat dengan
pemotongan klitoris atau sejenisnya pada usia di bawah enam bulan!
Fakta
itu menempatkan Indonesia pada urutan ketiga praktik kekerasan terkait seksualitas
dan organ reproduksi perempuan, setelah Mesir dan Etiopia. Secara lebih
rinci, praktik itu juga menebas habis hak anak bersuara, hak mendapat
informasi dan mengetahui apa yang terjadi pada tubuhnya. Laporan pada 2016
menyebut sedikitnya 200 juta anak perempuan dan perempuan di 30 negara
mengalami praktik mutilasi kelamin.
Representasi
Indonesia sebagai negara terkemuka dunia anggota G-20 luruh di hadapan fakta
bahwa Indonesia menjadi salah satu dari 10 negara di dunia dengan praktik
perkawinan anak tertinggi, atau pada posisi kedua di ASEAN setelah Kamboja.
Ironisnya,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang melegitimasi
perkawinan anak umur 16 tahun dan memberlakukan fatwa Majelis Ulama Indonesia
No 9A/2008 tentang Khitan Perempuan masih terus dipertahankan.
Belenggu berpikir
Peta
jalan pembangunan global untuk mencapai seluruh sasaran SDGs 2030
mensyaratkan kesetaraan jender. Syarat ini dinilai penting karena tingginya
angka kekerasan terhadap perempuan, bahkan data internasional menunjukkan
hampir separuh anak di bawah 15 tahun mengalami kekerasan fisik dan seksual.
Planet 50 : 50 : Langkah untuk Kesetaraan Jender yang diluncurkan PBB pada
peringatan Hari Perempuan Internasional 2016 bukan sekadar tema. Kesetaraan
dan keadilan dalam relasi kuasa antara yang kuat dan yang dilemahkan, antara
laki-laki dan perempuan, adalah dasar membangun masa depan demokrasi
substansial.
Lalu,
masa depan Indonesia seperti apa yang bisa dibayangkan dari generasi yang
dibelenggu mitos dan moral sempit, yang melihat tubuh perempuan hanya
seonggok daging mati? Generasi macam apa yang bisa dibayangkan dari praktik
diskriminasi dan pembodohan yang terus berlanjut terhadap anak perempuan?
Budaya
sunat perempuan, khususnya kasus pemotongan klitoris, juga berarti pemotongan
separuh hidup perempuan. Bahkan, sunat secara simbolik pun telah mengajari
anak-anak perempuan sejak dini berada dalam posisi subordinasi sebagai pihak
yang ditundukkan dengan menerima mitos tentang keliaran hasrat seksualnya.
Budaya perkawinan anak di bawah umur terus menuai kontroversi karena
bersinggungan dengan ranah agama dan mendapat pengesahan berdasarkan
interpretasi teks. Dalam perspektif kultural, konsep kepemilikan membuat anak
perempuan 'harus dilindungi' dari perbuatan zina dan tindakan 'amoral'
lainnya, dengan cara mengawinkan mereka. Dasar yang penuh prasangka itu
memenuhi pikiran orang dewasa terhadap anak-anak mereka.
Konsep
kepemilikan menempatkan anak dalam posisi paling bawah dalam struktur
penindasan memicu tindak kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan di dalam
rumah oleh orang-orang terdekat dalam hubungan darah.
Di
wilayah pedesaan, selain kental motif ekonomi, stigma 'perawan tua' terus
dihidupkan, menyebabkan anak, secara sosial, dipandang rendah kalau belum
dinikahkan. Dampak perkawinan di bawah umur telah banyak dibahas, termasuk
kematian saat melahirkan dan lingkaran kemiskinan yang semakin sulit diputus.
Penyebab
utama berlanjutnya praktik pelanggaran adalah budaya dominasi; yakni cara
pandang yang memberikan otoritas pada para patriarkh untuk menentukan semua
aspek dalam masyarakat. Otoritas itu telah merasuki pikiran laki-laki dan
perempuan dan diwariskan dari generasi ke generasi sehingga menjadi
kebenaran.
Situasi
itu menimbulkan berbagai dampak serius, satu di antaranya adalah
dilenyapkannya perempuan dan seluruh kelompok yang dipinggirkan dari seluruh
proses pembangunan. Fenomena disappearing
women itu telah diantisipasi Program Pembangunan PBB (UNDP) dan Komisi
Sosial Ekonomi PBB untuk Asia Pasifik (UNESCAP) dalam Laporan Pembangunan
Manusia 2010.
Lonceng darurat
Lonceng
darurat sudah harus dibunyikan. Mitos-mitos yang menghalangi kemajuan
peradaban harus dipatahkan. Pemerintah Indonesia harus menempatkan
pembangunan manusia setara atau bahkan lebih tinggi daripada pertumbuhan
dalam pembangunan ekonomi. Penghapusan sunat perempuan dan perkawinan usia
anak merupakan faktor penting dalam pemajuan peradaban, kemanusiaan, dan hak
asasi manusia. Dengan mengakhiri segala bentuk diskriminasi dan kekerasan
fisik, psikologis, dan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan,
Indonesia bisa menegakkan kepala dalam pergaulan masyarakat internasional.
Cara
pandang dalam relasi kuasa yang setara dan adil yang jelas tercantum pada
Tujuan-5 SDGs merupakan kunci mencapai 169 target untuk menuju transformasi
dunia pada 2030, terutama mengakhiri kemiskinan, kelaparan, pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan, serta keadilan dan keamanan dalam arti yang sangat
luas. Dalam penyusunan rencana kebijakan yang melandasi pelaksanaan SDGs
menuju Transformasi Indonesia 2030, sebaiknya juga dirancang peta jalan
penghapusan sunat perempuan dan perkawinan anak serta seluruh upaya membangun
masyarakat cerdas-bernalar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar