Membongkar Mafia Peradilan
Aradila Caesar Ifmaini Idris ;
Peneliti Hukum Indonesia
Corruption Watch (ICW)
|
KORAN SINDO, 14 Juni
2016
Berikanlah aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang
baik. Dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang dicapai
pasti akan lebih baik (Prof BM Taverne).
Pernyataan ini
memperlihatkan realita penegakan hukum sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh
individu-individu di dalamnya. Dinamika penegakan hukum amat bergantung pada
komitmen serta sosok pribadi yang menjadi aparat penegak hukum itu sendiri.
Dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, kebenaran pernyataan tersebut tak
dapat terelakan.
Penegakan hukum di
Indonesia ibarat menegakkan benang basah, banyak persoalan terutama korupsi menjadikan
penegakan hukum hanya sebagai slogan. Karena pada kenyataannya penegakan
hukum tak murni mencerminkan keadilan, tetapi identik dengan uang. Keadilan
bagi banyak orang adalah barang yang mahal yang tak terbeli dengan kantong
mereka. Tapi bagi segelintir orang yang memiliki uang, keadilan bisa dibeli
bagaikan barang dagangan. Keadilan menjadi barang yang mahal di republik ini.
Judicial Corruption
Beberapa waktu
terakhir pemberitaan tentang mafia peradilan semakin masif. KPK dalam
beberapa bulan terakhir berhasil membongkar sejumlah perkara korupsi yang
melibatkan hakim dan pegawai pengadilan. Melalui operasi tangkap tangan, KPK
menangkap Edy Nasution, Andri Tristianto yang merupakan pegawai pengadilan,
serta Hakim Janner Purba.
Terbongkarnya kasus
tersebut semakin mencoreng wajah pengadilan. Terbongkarnya kasus tersebut
secara beruntun menunjukkan reformasi peradilan tidak signifikan mengubah
citra pengadilan yang buruk di mata publik. Praktik korupsi yudisial masih
terus terjadi secara sistematis dan mengakar di institusi pengadilan. Secara
umum, praktik korupsi yudisial terjadi dalam tahapan penanganan perkara di
pengadilan.
Baik mulai pendaftaran
perkara hingga minutasi putusan. Dalam berbagai tahapan inilah mafia
peradilan bekerja secara tersembunyi, tertutup dan saling melindungi.
Setidaknya ada empat tahapan yang rentan disusupi praktik mafia peradilan.
Pertama, tahap pendaftaran perkara. Di tingkat pengadilan, praktik mafia
peradilan mulai terjadi pada tahap awal, yakni pendaftaran perkara di
pengadilan.
Modus yang umum
terjadi adalah adanya permintaan biaya tak resmi dalam proses pendaftaran.
Bahkan dalam penelitian ICW (Menyingkap Mafia Peradilan; 2002), tak jarang
ditemukan pegawai pengadilan yang menawarkan penggunaan jasa advokat tertentu
yang memiliki hubungan dekat dengan hakim yang akan menangani perkara.
Kedua,tahap penetapan majelis hakim.
Setelah proses
pendaftaran perkara, modus yang sering ditemukan adalah berupa pengaturan
majelis hakim yang akan mengadili perkara tersebut. Pihak yang beperkara baik
secara langsung atau tidak langsung meminta ketua pengadilan untuk menunjuk
hakim tertentu yang dianggap mau bekerja sama. Ketiga, tahap pemeriksaan
persidangan. Pada proses persidangan, mafia hukum bekerja dengan merekayasa
sebuah persidangan.
Persidangan dapat
dilakukan secara maraton, atau memotong tahapan tertentu dalam persidangan,
mengatur barang bukti, menyusun pertanyaan hakim dan jawaban hingga
pengaturan putusan hakim. Tahapan ini melibatkan banyak pihak, tak terkecuali
jaksa selaku penuntut umum. Praktik yang lazim dilakukan oleh oknum jaksa
nakal adalah dengan ketidakaktifannya dalam membuktikan kesalahan terdakwa.
Tak jarang oknum jaksa
juga mengajukan tuntutan yang rendah sebagai bagian dari kesepakatan. Proses
menjelang musyawarah hakim merupakan salah satu titik paling rawan. Pada
tahap ini sering kali pihak yang beperkara berusaha membeli putusan hakim
sesuai dengan keinginan mereka. Keempat,tahap minutasi putusan. Setelah
putusan dibacakan bukan berarti praktik mafia hukum selesai.
Untuk sampai ke tangan
para pihak, putusan tersebut harus melewati proses minutasi atau pengetikan
putusan. Dalam proses minutasi, mafia hukum juga bekerja dengan mengubah
putusan yang dibacakan hakim dalam persidangan dengan salinan putusan yang
diterima. Selain itu tak jarang ditemukan upaya memperlambat pengiriman
salinan putusan untuk tujuan tertentu.
Akar Masalah
Meski pada praktiknya
mafia peradilan bekerja di wilayah teknis penanganan perkara, akar masalah
utama mafia peradilan terletak pada persoalanpersoalan yang lebih mendasar.
Setidaknya ada tiga persoalan mendasar yang menjadi akar masalah mafia
peradilan. Pertama, lemahnya kepemimpinan.
Dalam hal ini,
lemahnya kemampuan untuk mendorong perubahan juga berkontribusi terhadap
terpeliharanya jaringan mafia peradilan. Ketua mahkamah agung serta ketua
pengadilan tidak memiliki arah dan sikap yang jelas dalam memberantas praktik
mafia peradilan. Kedua, kelemahan manajemen sumber daya manusia. Maraknya
praktik mafia peradilan tidakbisadilepaskandari rusaknya manajemen promosi,
mutasi, rekrutmen, dan evaluasi kinerja.
Dalam konteks promosi
dan mutasi, sering kali faktor utama yang menentukan bukanlah berbasis
evaluasi kinerja, melainkan hubungan baik dengan atasan atau adanya uang
pelicin. Ketiga, kelemahan pengawasan internal dan eksternal. Dalam konteks
pengawasan internal, tampaknya masih belum memiliki komitmen yang kuat
membangun lembaga peradilan yang bersih.
Hal ini terlihat dari
berbagai masalah mendasar yang dialami pengawasan internal, seperti lembaga
pengawas internal tidak didukung staf yang memadai, sifatnya pasif hanya
menunggu laporan pengaduan, tidak didukung mekanisme akuntabilitas dan
transparansi sehingga sulit bagi publik untuk mengetahui sejauh mana kerja
pengawasan dilakukan, serta sistem pengawasan melekat yang dilakukan pimpinan
satuan kerja tidak berjalan karena kurangnya komitmen.
Selain itu, pengawasan
eksternal juga tidak memiliki kedudukan dan kewenangan yang kuat sehingga
desain pengawasan eksternal pun tak maksimal dilakukan. Komisi Yudisial (KY)
sebagai pengawas eksternal justru mendapat upaya perlawanan guna mempersempit
kewenangan KY.
Dalam banyak
kesempatan, KY tidak dianggap sebagai bagian dari upaya menyelamatkan marwah
lembaga pengadilan. KY sering kali dianggap sebagai gangguan terhadap
independensi kekuasaan kehakiman. Melihat persoalan yang begitu besar di
lembaga pengadilan, sudah sepantasnya ada langkah revolusioner yang diambil
oleh pemerintah dan Mahkamah Agung.
Setidaknya upaya
represif melalui kegiatan pengawasan dan penindakan harus diperkuat antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Selain itu, upaya preventif dengan
membenahi sistem penanganan perkara dan manajemen sumber daya manusia mutlak
menjadi prioritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar