Puasa dan Jalan Sufi
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan
Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA,
27 Juni 2016
SUFI ialah orang yang mengerjakan sesuatu
sebagaimana orang lain mengerjakannya--jika diperlukan. Ia juga orang yang
mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dilakukan orang lain-jika diminta. (Nuri
Mojudi)
Puasa ialah kewajiban mahaberat bagi setiap
individu karena sifat ibadah ini sangatlah individual. Jika salat, zakat,
haji, dan ritual ibadah lain dapat dilihat secara kasatmata karena bentuk
fisik dari ibadah tersebut bisa terlihat, tidak demikian dengan puasa. Puasa
sungguh unik karena dalam berpuasa seharian penuh seseorang dapat saja
mengaku berpuasa, padahal, misalnya, hari itu dia tidak berpuasa dan orang
lain tidak tahu sama sekali soal kebenaran berpuasanya itu. Dalam praktik
berpuasa, kejujuran diri seseorang benar-benar diuji karena hanya dirinya dan
Tuhan saja yang tahu apakah hari itu dia berpuasa atau tidak.
Karena sifatnya yang sangat individual, ibadah
puasa lebih tepat dikatakan sebagai cara Tuhan mengembalikan kesadaran
manusia bahwa pangkal dan pokok setiap amal dan usaha kita ialah keikhlasan
dan kejujuran diri. Aspek kesadaran intuitif dan afeksi dalam ibadah puasa
sangat tinggi karena perilaku ini sesungguhnya gambaran moral setiap orang
tentang hidup dan kehidupannya. Sama persis dengan tujuan pendidikan,
hakikinya setiap guru selalu memegang kesadaran intuitif siswa sebagai target
utama proses belajar-mengajar agar anak-anak memiliki karakter jujur sebagai
fondasi perilaku mereka ketika berinteraksi dengan manusia dan lingkungannya.
Esoteris dan eksoteris
Dalam studi agama, istilah esoteris dan
eksoteris selalu digunakan untuk menganalisis persamaan dan perbedaan
antaragama. Frithjof Schuon (1987) ialah salah satu penggagas tentang relasi
antaragama dengan menggunakan pendekatan ini.
Menurut Schuon, hidup ini mengandung
tingkatan-tingkatan. Dari segi metafisik, hanya pada Tuhanlah tingkat
tertinggi (adikodrati) dan terdapat titik temu berbagai agama, sedangkan di
tingkat bawahnya, agama-agama tadi saling berbeda. Inilah yang memungkinkan
kita memahami versi Schuon tentang perbedaan hakikat dan perwujudan agama
yang sangat penting artinya, menurut pandangannya.
Dalam konteks puasa, tujuan seseorang berpuasa
sebenarnya merupakan aspek esoteric, yaitu kenyataan terdalam dalam ibadah
ini sepenuhnya merupakan kesadaran dan tanggung jawab setiap orang. Pada
level yang sama, aspek esoteris ini juga harus menumbuhkan kesadaran
moralitas tingkat tinggi bahwa kejujuran, akhlak yang baik, serta terbuka dan
toleran merupakan aspekaspek instingtif dari setiap orang yang harus selalu
digali melalui sebuah proses belajar. Sebagaimana halnya berpuasa, belajar
juga sesungguhnya harus disadari sebagai proses penanaman moralitas di atas secara
terus-menerus. Komunitas sekolah harus memiliki kesadaran esoteris dalam
menjalankan proses belajar-mengajar.
Kenyataan yang kita hadapi saat ini justru
sebaliknya, sekolah terlalu pekat dan tertuju pada aspek eksoteris tujuan
pembelajaran, yaitu orientasi pada nilai dan hasil lebih mengemuka. Sekolah
hanya dipandang sebagai kebutuhan duniawi tanpa ada rekayasa psikologis yang
dapat menunjukkan hidup ada ujungnya, dan ujung dari kehidupan ialah kebaikan
pada sesama manusia. Padahal, melalui berpuasa, seharusnya setiap guru,
orangtua, dan siswa dewasa diajak untuk kembali kepada moralitas esoteris,
moralitas yang menyebarkan benih-benih kejujuran sebagaimana yang dicontohkan
Nabi Muhammad, nabi semesta alam.
Nabi Muhammad ialah penganut jalan Sufi yang
benar. Di saat dia kebingungan melihat kehidupan serbahedonis kaum pagan
Arab, Nabi berkontemplasi ke gua Hira untuk menenangkan diri, mengasah
batinnya.
Hingga akhirnya beliau menerima wahyu pertama
dan mengalami kenikmatan tersendiri dalam berhubungan langsung dengan Tuhan
melalui kontemplasi. Namun, setelah itu, beliau kembali lagi ke masyarakatnya
dengan membawa pesan-pesan tentang kebaikan dan keburukan berdasarkan
moralitas yang jujur.
Berjalan seimbang
Kesadaran sufistis Nabi inilah yang seharusnya
disadari semua yang melakukan ibadah puasa, yaitu puasa berfungsi sebagai
trigger kesadaran instingtif manusia untuk mengingat Tuhan secara mendalam
setiap saat, dalam beragam jenis kehidupan.Bukan hanya menyendiri, melainkan
juga menyadari tanggung jawab sosial setiap orang. Para guru (para bijak),
sekolah-sekolah, para penulis, ajaran-ajaran, humorhumor, sejumlah mistisisme
dan rumusan-rumusan Sufi, semuanya berkaitan dengan relevansi sosial dan
psikologi pemikiran manusia. Artinya proses pendidikan di sekolah seharusnya
memiliki pola pikir yang sama, yaitu jalan Sufi bukan hanya pro pada aspek
esoterik, melainkan juga pada aspek eksetorisnya.Keduanya harus berjalan
seimbang.
Karena tidak dibatasi waktu dan tempat,
perilaku esoteris sufi seharusnya dapat membawa pengalamannya ke dalam
kultur, negara, dan iklim di mana ia tinggal. Kajian tentang kegiatan Sufi
dengan kultur yang terpisah hanya bernilai bagi mereka yang bekerja pada
bidang keilmuan sempit. Menganggap kegiatan Sufi bersifat keagamaan semata, literatur,
atau fenomena filosofis akan menghasilkan penerjemahan terbalik tentang jalan
Sufi. Begitu juga mencoba mengintisarikan teori atau sistem serta berusaha
mengkajinya secara terpisah hanya merupakan kesia-siaan komparatif.
Pendek kata, jalan Sufi dan puasa ialah sebuah
milestones yang seharusnya disadari para guru, kepala sekolah, orangtua, dan
siswa dewasa agar proses kontemplatif selama puasa memiliki energi yang kuat
untuk melahirkan kesadaran kemanusiaan yang lebih besar dalam belajar. Belajar
dengan tanggung jawab ala Sufi dapat membawa kita pada kenyataan bahwa hidup
ialah salah satu tanda kesempurnaan Tuhan dalam wujud yang nyata. Belajar
dengan membawa semangat puasa dapat membawa seseorang pada kesadaran untuk
selalu ingat tanggung jawab kemanusiaan yang diterapkan Muhammad, rasul
semesta alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar