Antisipasi Pembatalan Perda
Irfan Ridwan Maksum ;
Guru Besar Tetap dan Ketua
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi UI
|
KOMPAS, 29 Juni 2016
Baru-baru ini
pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri telah membatalkan serentak sebanyak 3.143
peraturan daerah yang dinilai menghambat investasi dan alasan lainnya. Sebagai produk hukum tertinggi di daerah
dan menjadi landasan bagi jalannya roda pemerintahan di daerah, pembatalan
tersebut menimbulkan dampak cukup serius di daerah-daerah yang terkena
pembatalan.
Pemerintah setempat
harus menyiapkan instrumen untuk mengantisipasi dampak tersebut. Jika tidak
dilakukan antisipasi, sedikit banyak akan memengaruhi kehidupan
sosial-ekonomi dan politik lokal. Karena itu, layak disikapi.
Dua kemungkinan
Hal utama yang menjadi
perhatian dari pencabutan sebuah peraturan adalah dampak yang terjadi terkait
regulasi yang sudah berjalan. Apakah terjadi kekosongan hukum atau tidak.
Apakah terdapat hukum sejenis sebelumnya, apakah dengan mudah dapat dibuat peraturan
baru sejenis yang lebih sesuai.
Terdapat dua
kemungkinan terhadap keputusan pemerintah membatalkan peraturan daerah
(perda) yang dinilai bermasalah tersebut. Pertama, keberatan. Kedua, mematuhi
keputusan. Kemungkinan mengabaikan dapat saja muncul, tetapi di daerah-daerah
yang mengabaikan keputusan pemerintah dapat terjadi keresahan sosial-politik.
Tentu ini akan dihindari pemerintah setempat.
Kemungkinan pertama
yang mengajukan keberatan adalah jika perda yang dibatalkan di tempatnya
dirasa sudah kondusif dan berjalan efektif, bahkan jika tidak dijalankan
dapat menimbulkan efek negatif. Di daerah-daerah seperti ini harus dipikirkan
bukan saja proses mengajukan keberatan, tetapi bagaimana menyosialisasikan
bahwa selama proses pengajuan keberatan, perda tersebut tidak perlu dicabut
langsung.
Perda, sebagaimana
kita tahu, proses pencabutan harus dilakukan oleh daerah masing-masing. Tidak
mungkin oleh pemerintah pula. Jika dianggap perda tersebut sudah dicabut,
perlu dilakukan sosialisasi.
Jika pemerintah pun
menganggap bahwa pembatalan dilakukan sekaligus mencabut, maka telah terjadi
kekeliruan pandangan hukum di tingkat nasional. Perda yang dibatalkan tidak
otomatis tercabut jika daerah otonom tersebut belum mencabutnya sendiri.
Keberlakuan perda
tersebut memiliki dua kemungkinan. Jika daerah otonom mengajukan keberatan,
perda tersebut tetap berlaku sampai keputusan final mengenai keberatan telah
ditetapkan.
Jika tidak mengajukan
keberatan, perda tersebut tetap dapat diacu menunggu proses pencabutan oleh
daerah otonom yang bersangkutan. Seyogianya jika tidak mengajukan keberatan,
daerah otonom tersebut segera mencabutnya. Karena itu, rapat memutuskan
diajukan keberatan atau tidak oleh pemerintahan setempat, dapat sekaligus
diputuskan untuk menetapkan pencabutan atau tidak melakukan pencabutan. Jika
sudah dicabut, maka peraturan lama dapat diberlakukan kembali dalam hal yang
sama.
Kemungkinan kedua
adalah bagi yang tidak mengajukan keberatan, daerah otonom tersebut harus
mengetahui apakah terdapat perda sebelumnya yang mengatur hal yang sama. Jika
ada, perda lama tersebutlah yang berlaku setelah mereka menetapkan pencabutan
perda yang dibatalkan tadi.
Jika tidak ada perda
lama yang sama, daerah otonom tersebut haruslah menyiapkan pengganti yang kurang
lebih memperbaiki sesuai arahan pemerintah. Mungkin perlu disiapkan terlebih
dahulu peraturan kepala daerah yang lebih mudah dibuat dalam rangka
mengantisipasi kekosongan hukum. Kekosongan hukum akan dirasakan para
pemangku kepentingan dan dapat membingungkan berbagai pihak.
Bangun sistem regulasi
Penyusunan perda dalam
rangka pemerintahan daerah tidak terlepas dari sistem regulasi yang diatur
dalam UU pemerintahan daerah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah
menyiapkan begitu kompleks sistem regulasi daerah.
Sifat antisipasi
terhadap perda yang dianggap bermasalah oleh pemerintah dapat ditangkap
dengan jelas oleh penyusun UU tersebut. Proses perumusan perda dan bahkan
peraturan kepala daerah diatur tahap demi tahap, mulai dari perencanaan sampai
penegakan hukumnya, bahkan evaluasi, terhadap peraturan tersebut setelah
implementasi.
Pemerintah daerah
harus menunggu produk hukum dicek oleh pemerintah pusat untuk bidang-bidang
tertentu setelah register oleh pejabat berwenang. Di tengah-tengah upaya
Presiden Joko Widodo yang menginginkan kecepatan proses investasi, ternyata
masih muncul berbagai hambatan, sehingga berdampak pada berbagai peraturan
tentang investasi yang tidak kondusif harus dicabut, UU pemerintahan daerah
yang baru menambah kompleksitas penetapan perumusan perda.
Memang tujuannya
adalah untuk memastikan suatu perda tidak bertentangan dengan peraturan di
atasnya, dan hal-hal lain yang dianggap penting. Namun, ini bukan membuat
lebih lambat. Sangat beralasan kemudian bila Kementerian Dalam Negeri
membuate-perda. Namun, tetap saja e-perda melalui proses pengecekan
antarkementerian/lembaga (K/L) negara yang dianggap terkait terhadap sebuah
produk perda.
Dalam hal ini
diperlukan terobosan proses manajemen perumusan perda dalam satu sistem satu
atap di tingkat nasional untuk perda provinsi, dan di tingkat provinsi untuk
perda kabupaten/ kota. Bahkan di tiap kabupaten untuk produk hukum desa jika
diperlukan. Daerah tidak perlu menunggu lama pekerjaan Kementerian Dalam
Negeri menghubungi K/L terkait karena terdapat manajemen satu atap.
Sudah saatnya
Kementerian Dalam Negeri membuka diri dengan mengajak berbagai K/L untuk
persoalan perumusan perda ini. Di tingkat provinsi, dengan demikian K/L perlu
mengirimkan orang atau lembaganya menjadi bagian dari sistem ini sehingga
perlu instansi vertikal. Dapat pula dibantu oleh sektor di provinsi tersebut.
Jika ini dibuat, niscaya perumusan perda lebih cepat lagi tidak sekadar
e-perda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar