Perilaku Memilih Kelas Menengah
Wasisto Raharjo Jati ;
Peneliti di Pusat Penelitian
Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (P2P-LIPI)
|
KORAN SINDO, 20 Juni
2016
Masa depan demokrasi
Indonesia adalah demokrasi digital. Premis tersebut bisa disimak dari semakin
intensnya penggunaan media sosial sebagai media interaksi politik.
Menurut Intrans
(2016), terjadi kenaikan 10% bagi netizen aktif media sosial, yang sebelumnya
di tahun 2015 hanya 71, 19 juta orang, kini sudah mencapai 88 juta orang.
Kenaikan tersebut didominasi kenaikan jumlah pengguna smartphone di kalangan
kelas menengah yang sekarang ini sudah mencapai 326,3 juta orang.
Dengan kata lain,
platform media sosial menjadi kebutuhan esensial yang perlu ada dan dipenuhi
bagi kelas menengah Indonesia sekarang ini. Derasnya arus informasi yang
berkembang membuat kebutuhan untuk meningkatkan pengetahuan politik, terutama
preferensi politik menjadi kebutuhan utama. Maka kemunculan sosial media
menjadi hal urgen dan signifikan, dalam membentuk dan mengonstruksikan
perilaku memilih tersebut.
Perilaku memilih yang
didasarkan pada preferensi media sosial, didominasi kalangan generasi Y yang
kini berkembang menjadi aktor penekan politik yang efektif. Perilaku memilih
mereka didasarkan pada kebutuhan untuk eksis diikuti dengan pemikiran
rasional bahwa sudah saatnya melakukan perubahan. Namun hal itu juga menjadi
titik penting dalam mengkaji perilaku memilih kelas menegah Indonesia
kontemporer. Masihkah relevan disebut sebagai agen perubahan ataukah sebagai agen
pengekor rezim?
Studi klasik mengenai
perilaku memilih di Indonesia menempatkan mereka pada posisi partisipan,
parokial, dan subjektif (Gaffar, 2006). Ketiga posisi budaya politik tersebut
mengindikasikan adanya peran patron dan figur sebagai preferensi penting
dalam mengonstruksi perilaku memilih. Kecenderungan umum bagi perilaku
memilih politik di Indonesia adalah faktor perlindungan dan pembagian materi
sebagai basis penting dalam mengonstruki pilihan politik.
Oleh karena itu,
penting untuk melihat peran sosial media di kalangan kelas menengah justru
memperkuat legitimasi studi klasik tersebut atau malah justru membantah studi
tersebut dengan temuan baru. Adanya digitalisasi politik yang kini merambah
dengan semakin intensnya partai politik dan kandidat berkampanye dan
bersosialisasi di media, merupakan bentuk modernisasi dalam politik Indonesia
di mana pesan persuasif berganti pesan sugestif.
Selain itu melalui
media sosial, kelas menengah sebagai konstituen terbesar bisa dijangkau
dengan mudah. Namun hal itu belum tentu terkonversi menjadi dukungan tetap
dalam pemilu. Postur kelas menengah Indonesia hari ini adalah kelas menengah
yang lebih banyak berorientasi pada leisure time daripada exposure time. Berbagai informasi yang
mereka olah sekadar menjadi hiburan sesaat dan hanya akan menjadi dorongan
politik kuat bilamana terjadi gelombang masif dari kelas menengah tersebut
sehingga menjadi gerakan politik.
Dengan kata lain,
perilaku memilih politik kelas menengah Indonesia didominasi perilaku meniru
dan menanggapi (imitate and repond).
Premis tersebut terlahir dari perilaku memilih pada saat pemilu 2014 maupun
pelaksanaan pilkada serentak pada Desember 2015 silam. Terdapat tiga
kecenderungan utama yang bisa dipelajari dalam kelas menengah Indonesia.
Pertama, perilaku mimikri. Perilaku ini sebenarnya merupakan bentuk social proofing yang terjadi di mana
media sosial berhasil melakukan pencitraan heroisme figur. Hal itu
berimplikasi menimbulkan efek sugesti secara masif yang terjadi di kalangan
kelas menengah.
Kedua, perilaku
submisif, yakni perilaku memilih, karena mayoritas kelas menengah memilih
figur maupun partai tertentu yang dianggap populer. Dengan mengikuti logika
majoritarian tersebut, diasumsikan bahwa kandidat maupun partai tersebut
sudah mewakili demokrasi. Hal itu sebenarnya bisa terlacak dari jumlah follower maupun like yang dikumpulkan
dalam media sosial. Semakin banyak jumlah pengikut dan suka, maka figur
tersebut adalah figur populis.
Ketiga, perilaku
apatis. Perilaku yang tanpa melihat latar belakang partai maupun kandidat,
tetapi hanya spontanitas karena figur tersebut sering dibicarakan di kalangan
sosial media. Ketiga kecenderungan perilaku tersebut sebenarnya merupakan
implikasi penting mengenai intensitas masif kalangan kelas menengah Indonesia
hari ini. Premis penting yang perlu ditulis adalah seberapa penting atau
tidak penting informasi itu diulas dalam media sosial, itu saja sudah
memengaruhi orientasi politik kelas menengah.
Media sosial kini
menempati urutan teratas dalam penyampaian informasi setelah televisi,
majalah, dan koran dikarenakan media sosial menciptakan adanya ruang
negosiasi dan diskusi bagi kelas menengah untuk menelaah informasi untuk
diolah. Dari situlah kemudian terkristalkan dalam bentuk perilaku memilih.
Meskipun dikatakan perilaku memilih, kelas menengah berkat media sosial bisa
dikatakan kritis.
Namun dalam beberapa
aspek pengaruh kecil patronase masih terjadi, terutama bagi segmen kelas
menengah transisi dari desa ke kota di mana figur masih menjadi pertimbangan
penting. Selebihnya, perilaku memilih kelas menengah urban akan ditentukan
seberapa sering figur dan kandidat tersebut diberitakan, didiskusikan, dan
diikuti, dalam media sosial.
Oleh karena itulah,
meskipun trend kampanye kandidat dan partai politik kini sudah mengarahkan
pada konten digital, namun apabila tidak diberitakan secara masif maka akan
hanya sia-sia saja. Sekarang ini perilaku memilih lebih melihat kemasan
daripada program sehingga mampu menarik perhatian kelas menengah. Untuk
menjadi kelas menengah yang impresif secara politik, tentu bukan perkara
mudah. Namun bagaimana kelas menengah tersebut secara kontinu dan simultan
mengikuti isu tersebut sehingga mampu menjadi kelas menengah yang politis.
Pasalnya selama ini
watak politik yang ditampilkan kelas menengah Indonesia sendiri selalu
bernuansa spontan. Karena karakteristiknya yang dinamis dan cenderung
spontan, banyak lembaga survei sering melakukan kesalahan dalam membaca
perilaku memilih kelas menengah. Diskusi politik di media sosial memberikan
andil cukup penting dalam mengubah dinamika perilaku memilih tersebut.
Maka membaca perilaku
memilih kelas menengah Indonesia yang kini tergantung pada media sosial,
setidaknya perlu dibaca sebagai transformasi perilaku kelas menengah, bahwa
kini publik sudah sedemikian peka dengan urusan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar