Masa Depan Industri Pertahanan Nasional
Silmy Karim ;
Direktur Utama PT Pindad
(Persero)
|
KORAN SINDO, 28 Juni
2016
Lembaga independen
internasional pengkaji bidang militer, Stockholm
International Peace Research Institute (SIPRI), pada 2015 melansir data
yang menarik untuk dicermati mengenai impor senjata di kawasan Asia Tenggara.
Laporan tersebut mengungkap, Indonesia merupakan importir alat utama sistem
persenjataan (alutsista) terbesar kedua di Asia Tenggara dengan nilai USD683
juta (sekitar Rp9,3 triliun). Jumlah tersebut hanya kalah dari Vietnam yang
mengimpor senjata senilai USD870 juta (sekitar Rp11,8 triliun).
Adapun impor alutsista
Indonesia terbanyak berasal dari China (648 unit), Inggris (505 unit), dan
Amerika Serikat (462 unit). Lantas bagaimana memaknai data tersebut seiring
dengan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kemandirian pertahanan dengan
mengembangkan industri pertahanan dalam negeri, khususnya dalam konteks
membangun kemandirian industri pertahanan nasional Indonesia dalam jangka
panjang?
Quo Vadis Kemandirian Industri Pertahanan
Pada dasarnya
pengadaan alat pertahanan keamanan bermuara pada dua garis besar kebijakan:
impor atau produksi sendiri. Kedua pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan. Sebab bagaimanapun penting untuk diketahui, kemandirian industri
pertahanan yang sepenuhnya merupakan hal yang sulit dicapai.
Bahkan oleh
negara-negara maju sekalipun lantaran penyebaran bahan baku, teknologi, dan
efisiensi produksi di beberapa negara membuat sebagian pelaku industri
pertahanan harus saling mendukung. Kendati demikian, hal tersebut tidak
serta-merta menjadi pembenaran dalam jangka panjang untuk terus-menerus
mengimpor alutsista dari negara lain.
Setidaknya ada dua
pertimbangan mendasar mengapa kita harus mempersiapkan sedini mungkin kemampuan
dan dukungan dari pemerintah untuk mengembangkan industri pertahanan nasional
kita yang kompetitif, sebagaimana pilihan kebijakan yang telah diamanatkan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan dan regulasi
lain bahwa Indonesia akan mengambil jalan kemandirian untuk membangun
industri pertahanannya.
Kemandirian yang
dimaksud negara memegang kendali dalam menentukan pembuatan, perawatan,
penggunaan, serta pengadaan alutsista. Pertama, Indonesia dapat belajar dari
pengalaman masa lalu ketika Amerika Serikat dan sekutunya pada 1999–2005
mengembargo Indonesia sehingga kita tidak boleh membeli alutsista dan suku
cadangnya dari mereka.
Tidak sebatas itu,
berbagai alutsista milik Indonesia yang sudah dibeli juga tidak boleh
digunakan. Yang lebih menyedihkan, Amerika Serikat dan Inggris juga tidak
menyediakan suku cadang untuk berbagai alutsista milik Indonesia. Kondisi
tersebut ketika itu secara langsung memengaruhi kekuatan pertahanan Indonesia
sehingga pada akhirnya memengaruhi banyak hal, terutama menurunnya efek deterrence dalam menjaga kedaulatan
Indonesia.
Ringkasnya dari
pengalaman masa lalu tersebut, kita dapat menarik pelajaran penting bahwa
kekuatan pertahanan yang tercipta dari impor senjata sesungguhnya merupakan
kekuatan semu. Kedua, keuntungan jika Indonesia memiliki industri pertahanan
yang maju dan mandiri adalah keuntungan ekonomi yang diharapkan akan
memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam negeri karena uang
negara tidak banyak mengalir ke negara lain yang memiliki kemampuan
memproduksi alutsista.
Selain itu industri
pertahanan yang sehat juga akan mendorong adanya kluster-kluster yang dapat
memberikan efek domino bagi pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Jika dilihat
dari sisi APBN, jumlah anggaran pertahanan Indonesia beberapa tahun
belakangan ini sesungguhnya trennya selalu naik sejalan dengan proyeksi yang
pernah dibuat Jane’s Defence Budget
bahwa anggaran pertahanan Indonesia akan naik dua kali lipat dari sekitar
Rp50 triliun pada 2010 menjadi sekitar Rp100 triliun pada 2017.
Jumlah tersebut dari
sisi ideal jumlah anggaran pertahanan suatu negara sebesar 2% produk domestik
bruto (PDB) memang belum tercapai mengingat dari tahun 2013 hingga 2017
anggaran pertahanan masih sekitar 0,8% PDB. Namun hal tersebut tidaklah
berarti membuat kita harus pesimistis.
Justru adanya
keterbatasan anggaran saat ini mesti ditempatkan dalam skenario optimistis ke
depannya untuk pengembangan industri pertahanan. Beberapa lembaga riset
terkemuka di dunia seperti Standard
Chartered Research, International Monetary Fund (IMF), Citi Investment Research and Analysis,
Lembaga Kajian VOX (tentang Global
Growth Generators), dan Jim O’Neill, ekonom Goldman Sachs menunjukkan
Indonesia akan menjadi raksasa ekonomi baru dan dinilai punya potensi untuk
masuk ke 4 atau 5 besar kekuatan ekonomi dalam 20 tahun mendatang hingga
2050.
Membayangkan Indonesia
akan menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia,
tetapi dengan industri pertahanan yang minim tentu akan menjadi kekurangan
besar. Tidak hanya menyianyiakan kesempatan, tetapi juga akan menguras uang
negara untuk membeli alutsista dari negara lain. Karena itu, dalam kaitan
dengan industri pertahanan, potensi besar ini harus diantisipasi sedini
mungkin.
Peran Pemerintah
Kondisi industri
pertahanan Indonesia masihlah jauh dari ideal. Masih banyak kekurangan sehingga
perlu pembenahan dan keberpihakan pemerintah. Sebagai perbandingan dengan
industri pertahanan negara lain, data yang dilansir SIPRI menunjukkan
industri pertahanan asal Indonesia belum ada yang masuk 100 besar perusahaan
bergengsi di dunia.
Di kawasan Asia ada
beberapa perusahaan yang masuk dalam daftar tersebut, yaitu Mitsubishi Heavy Industries asal
Jepang yang pada 2012 mencatat penjualan peralatan pertahanan sebesar
USD3,010 miliar dan mempekerjakan 31.111 karyawan. Kemudian perusahaan asal Singapura,
ST Engineering, yang dimiliki Tamasek Holding dengan mempekerjakan 22.000
karyawan dan mencatat penjualan pada 2012 senilai USD1,890 miliar.
BAE System Australia
juga masuk dalam daftar tersebut dengan jumlah karyawan 5.500 orang dan
mencatat penjualan pada 2012 senilai USD1,760 miliar. Berikutnya ada
perusahaan Samsung dari Korea Selatan dengan total penjualan USD1,557 miliar.
Di luar dominasi tersebut, ada perusahaan bernama Bharat Electronics yang memproduksi berbagai alat elektronik
untuk kebutuhan pertahanan milik India yang pada 2012 mencatat penjualan
sebesar USD960 juta.
Indonesia sesungguhnya
bisa belajar dari pengalaman negara lain yang sukses membangun industri
pertahanannya seperti India, Turki, China, Brasil, dan Korea Selatan. Kunci
sukses negara tersebut terletak pada dibangunnya relasi yang kuat antara
pemerintah dan industri pertahanannya.
Peran pemerintah
menduduki tiga kursi sekaligus dalam skema industri pertahanan yang ideal,
yaitu sebagai konsumen, sponsor, dan regulator atau disebut sebagai the defense industrial triptych.
Dengan demikian kita harus mendorong agar pemerintah kita optimal memainkan
ketiga perannya tersebut dan konsisten dengan mendorong keberpihakan terhadap
pembangunan kemandirian industri pertahanan nasional sehingga suatu saat
tentara Indonesia harus menggunakan peralatan tempur yang berasal dari
Indonesia.
Ini agar kita lebih
mandiri dan di pasar alutsista global kita dapat bersaing dengan produk
negara lain, minimal menguasai pasar regional. Sesungguhnya titik terang
kemajuan industri pertahanan kita khususnya kualitas produknya mulai menjadi
perhatian internasional.
Saat ini beberapa
produk buatan industri pertahanan kita terbukti mampu bersaing dengan negara
maju lainnya karena berhasil menjuarai kejuaraan tembak internasional
beberapa waktu lalu dengan menggunakan senjata buatan PT Pindad (Persero)
seperti senapan serbu SS-2 V-4 dan pistol G-2.
Itu artinya persepsi
dan kekhawatiran kita bahwa produk industri pertahanan kita tidak memiliki
daya saing dengan produk buatan luar negeri tidak sepenuhnya benar. Memang
patut disadari kerja membangun kemandirian industri pertahanan nasional
adalah kerja panjang dan melelahkan.
Tidak ada satu pun
industri yang pada awal pendiriannya langsung besar dan berpengaruh, terlebih
industri pertahanan. Dua industri pertahanan kelas dunia seperti Thales dan
BAE System juga mengalami pasang surut dalam mengembangkan bisnisnya sebelum
menjadi industri pertahanan yang berpengaruh di dunia.
Karena itu mau tidak
mau, untuk mengatasi ketertinggalan dari industri pertahanan negara maju, ada
beberapa langkah yang dapat kita lakukan. Di antaranya, pertama, kita harus
cerdik menggandeng mitra strategis di luar negeri untuk mengatasi
ketertinggalan teknologi alutsista.
Selain kebijakan
normatif dengan mengirim sumber daya manusia kita sekolah ke luar negeri,
kita juga perlu mempertimbangkan langkah pragmatis jangka pendek, misalnya
dengan kerja sama dengan luar negeri seperti joint venture, joint production, bahkan perlu juga
dipertimbangkan BUMN industri pertahanan membeli industri pertahanan di luar
negeri yang sedang collapse atau
membeli sebagian saham industri tersebut. Kedua, strategi transfer teknologi
yang tepat.
Jangan sampai upaya
transfer teknologi justru menjadi penghambat pengadaan alutsista. Kita dapat
mencontoh kisah sukses banyak negara yang berhasil menyusun strategi transfer
teknologinya sejalan dengan kepentingan industri pertahanan mereka. Ketiga,
penyusunan kebijakan pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia haruslah
disusun sejalan dengan keberpihakan pembangunan kemandirian industri
pertahanan.
Dengan konsistensi dan
pendekatan tersebut, dalam jangka panjang kita akan semakin optimistis bahwa
kemandirian industri pertahanan kita akan tercapai dan diharapkan sudah
menjadi salah satu industri pertahanan yang terkemuka di dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar