Pemimpin Karbitan
M Subhan SD ;
Wartawan Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 30 Juni 2016
Jabatan Perdana
Menteri pada 1950-1951 dan Menteri Penerangan (1946-1947 dan 1948-1949),
serta pemimpin Fraksi Masyumi di parlemen (dekade 1950-an) tidak membuat Mohammad
Natsir (1908-1993) silau dengan semua jabatan itu. Natsir tidak mau
menggunakan politik aji mumpung atau mentang-mentang. Bagi Natsir, jabatan
bukanlah tempat untuk berburu fasilitas atau privilese.
Maka, ketika ada
seseorang yang hendak "membantu" dengan menghadiahkan mobil sedan
Chevrolet Impala pada tahun 1956, Natsir menolaknya. Padahal, anak-anaknya
yang nguping sudah senang bukan main. "Mobil itu bukan hak kita, lagi
pula yang ada masih cukup," kata Natsir kepada anak-anaknya (Natsir,
Politik Santun di Antara Dua Rezim, 2011). Kala itu Natsir punya mobil DeSoto
produksi Chrysler yang sudah tua.
Pelajaran dari Natsir
bahwa menjadi pemimpin janganlah jalan enaknya saja yang dibayangkan,
melainkan amanah dan tanggung jawabnya yang besar. Pemimpin sejati barangkali
tak pernah berpikir untuk dirinya, tetapi kemaslahatan publik. Seorang
pemimpin harusnya memahami betul teladan yang dilakukan pemimpin bangsa
seperti Agus Salim (1884-1954). "Memimpin adalah menderita (leiden is
lijden)," kata Agus Salim yang sering dikutip tokoh bangsa Kasman
Singodimedjo (1904-1982).
Kisah Natsir, Agus
Salim, dan pendiri bangsa lainnya yang memiliki integritas kuat sepertinya
belum menyadarkan para pemimpin-tepatnya pejabat-sekarang ini. Hari-hari
belakangan ini, publik dihebohkan beredarnya surat Sekretariat Jenderal DPR
yang meminta Kedutaan Besar RI di Washington dan Konsulat Jenderal RI di New
York untuk menjemput dan mendampingi anak Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang
politisi Partai Gerindra. Isi surat itu: "penjemputan dan
pendampingan". Jadi, kalau dibantah minta fasilitas, surat itu sudah
jelas banget, kok. Mengembalikan uang jemputan sebesar Rp 2 juta tentu tak
bisa menghapus ketidakpantasan kasus tersebut. Saking gemas publik
sampai-sampai muncul meme di media sosial "Lo pikir KBRI travel
agent?".
Kasus sejenis rasanya
cukup sering. Sekitar akhir Maret lalu, beredar surat Sekretaris Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan
RB) yang meminta Konsulat Jenderal RI di Sydney, Australia, meyiapkan
transportasi dan akomodasi Wahyu Dewanto Suripman, kolega Menteri Yuddy
Chrisnandi Partai Hanura. Wahyu juga anggota DPRD DKI Jakarta.
Belum selesai
pergunjingan surat itu, beredar lagi surat anggota Komisi I DPR dari Fraksi
Partai Gerindra, Rachel Maryam. Rachel pergi ke Paris, Perancis, bersama
keluarga pada 20-24 Maret 2016. Rachel meminta bantuan Duta Besar RI untuk
Perancis untuk penjemputan dan transportasi selama di Paris. Belum terdengar
seperti apa sanksi keras yang dijatuhkan terhadap kasus-kasus minta fasilitas
seperti itu?
Meskipun kerap
"lumrah" dalam panggung politik, minta fasilitas semestinya
dihentikan. Supaya tidak tuman. Jangan campur adukkan kepentingan pribadi
dengan kepentingan bangsa. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (682-720) adalah
pemimpin paling takut jika kepentingan pribadinya berbaur dengan kepentingan
masyarakat (umat).
Dalam kasus minta
fasilitas ini, sesungguhnya bukan persoalan materi an sich, melainkan faktor
kekuasaan (power) yang menonjol. Bisa jadi ada semacam hasrat untuk
menerapkan praktik-praktik kuasa; apakah pengaruh, otoritas, dominasi, yang
melekat dalam diri pejabat dapat bekerja efektif. Kalau begitu, rasanya jauh
sekali dengan pemimpin sejati seperti Agus Salim atau Natsir. Jangan-jangan
sekarang ini memang banyak pemimpin karbitan, yang belum saatnya tampil. ●
|
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusHarga Kaos Dakwah
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Punya Pasangan Sempurna Nggak Indah Kelihatannya