"Beriman" pada Hiburan
Indra Tranggono ;
Pemerhati Kebudayaan; Sastrawan
|
KOMPAS, 25 Juni 2016
Galibnya, beriman itu
hanya kepada Tuhan, dzat mutlak yang wajib disembah dan dimintai pertolongan.
Namun, ada kecenderungan lain pada orang-orang modern: beriman pada yang
selain Tuhan, baik yang bersifat bendawi (tangible) maupun tak bendawi
(intangible).
"Beriman"
kepada benda, misalnya menyembah konsumerisme. Adapun beriman pada tak benda,
salah satunya adalah mengabdi pada hiburan demi keuntungan. Lihatlah tayangan
di televisi swasta selama bulan Ramadhan. Hampir 90 persen didominasi
hiburan, baik lawak, sinetron, variety show, kuis, maupun musik yang digeber
dari magrib hingga sahur (subuh). Sisanya berupa pengajian, dakwah, dan features
bernuansa agama.
Mereka yang punya
sikap kritis pasti lelah dan bosan pada tayangan hiburan itu, yang intinya
cuma guyon atau mengeksploitasi
kedangkalan. Jika ada yang berbeda dari guyonan sebelum Ramadhan,
hanyalah pada kostum yang digunakan para artis yang kini lebih brukut (rapat,
tertutup dengan aksesori formal-agamis). Padahal, sebelum Ramadhan, dandanan
dan gaya berkostum mereka cenderung tak seronok, mengumbar sensualitas.
Industri hiburan harus
luwes, fleksibel, dan kompromis pada tuntutan pasar. Maka, para penghibur pun
wajib meniru sifat bunglon, mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.
Ketika pasar menghendaki berbagai citraan bernuansa "religius",
industri hiburan pun harus "religius" meskipun semua itu tak ada
hubungannya dengan religiositas dalam makna yang sesungguhnya. Mereka sekadar
patuh memenuhi selera pasar demi meraup keuntungan. Bagi para saudagar, apa
pun harus bisa dijual.
Tentu saja euforia
hiburan di televisi swasta yang memanfaatkan Ramadhan itu menjadi ironi yang
menyedihkan ketika hal itu dikaitkan dengan spirit puasa Ramadhan yang
menekankan asketisme, pengendalian diri, refleksi, evaluasi spiritual, dan
mesu budi (penajaman akal budi dan batin). Industri hiburan di televisi
swasta justru mereproduksi berbagai sajian yang berlawanan dengan spirit
puasa Ramadhan. Ibaratnya, di tengah orang-orang yang sedang
"bertapa" dan bertafakur, mereka justru menghadirkan teater
kebodohan atas nama kepentingan kuasa modal dan keuntungan.
Kenapa dunia hiburan
di televisi swasta tidak memberi ruang pada produser dan desainer program
yang cerdas, visioner, serta mau sedikit kerja keras untuk membuat paket
acara yang lebih bermutu? Ukuran acara bermutu tentu saja berbasis pada
etika, estetika, dan logika.
Pertanyaan yang serupa
juga berlaku pada produsen, para pemasang iklan. Apakah dari mereka tidak ada
yang punya pandangan ideal tentang publik? Bahwa, publik itu layak diberi
asupan gizi intelektual, emosional, dan spiritual melalui berbagai sajian
yang mencerminkan nilai-nilai budaya dan keadaban.
Tidak tunggal
Sejak era analog
hingga digital, problem dunia hiburan di negeri ini masih klasik. Yakni,
pandangan tunggal dari pemilik modal dan kreator yang menganggap publik
selalu berselera dan punya cita rasa rendah. Implikasi pandangan ini adalah:
(1) ketakutan memproduksi karya bermutu karena khawatir tidak laku; dan (2)
menyerah pada selera massa dengan memproduksi karya-karya kurang bermutu.
Yang perlu diyakini
adalah publik penonton televisi tidak tunggal, karena itu selera dan cita
rasa mereka juga beragam. Karya bermutu pun selalu mendapat ruang dan
apresiasi publik. Ada banyak contoh acara televisi yang bermutu sekaligus
laku, sebut saja misalnya Si Doel Anak Sekolahan (karya sutradara Rano Karno
dengan skenario Harry Tjahyono), Bajai Bajuri, lawak Srimulat, film televisi Anak Seribu
Pulau (Garin Nugroho, dkk) serta sinetron religius Para Pencari Tuhan (Deddy Mizwar, dkk).
Setiap kreator selalu
dituntut untuk menjawab tantangan kreatif karena mereka adalah anak zaman. Di
negeri ini selalu lahir para kreator baru, muda, dan segar serta memiliki
cara pandang yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Pertanyaannya, apakah
mereka mendapatkan ruang ekspresi atau tidak?
Media televisi
memiliki posisi dan makna strategis di dalam memperkuat civil society. Media
ini hadir setiap detik di ranah publik, bukan sekadar jadi wahana penyampai
pesan, melainkan sudah menjadi pesan itu sendiri.
Posisi televisi kini
sudah menjadi mentor, guru masyarakat. Kita tidak bisa membayangkan mutu produk
didikannya jika sang mentor hanya mengeksploitasi kedangkalan alias selera
rendah. Mestinya, media televisi menjadi bagian penting untuk dimasukkan di
dalam RUU Kebudayaan sehingga ada regulasi baginya. Mutu peradaban bangsa
kita, salah satunya, ditentukan oleh televisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar