Puritanisme, seperti Kanak-Kanak Dua Tahun
AS Laksana ;
Sastrawan; Pengarang; Kritikus
Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 20 Juni
2016
PENYAIR Zen Hae
memberi tahu saya resep untuk melangsingkan tubuh. ’’Asuhlah anak ini barang
dua tiga hari saja,’’ katanya.
Kami bertemu dalam
acara buka bersama di rumah pelukis Hanafi. Ia datang bersama istri dan anak
bungsunya, berusia dua tahun, yang terus bergerak ke sana kemari selama enam
jam. Mereka sudah tiba pukul empat sore dan pulang pukul sepuluh malam. Zen
dan istrinya bergantian mengikuti si bocah.
Anak seumuran itu,
kita tahu, memang tidak boleh dibiarkan lepas tanpa pengawasan. Ia seperti
monster kecil yang mengacaukan apa saja. Kita lengah sebentar, ia mungkin
sudah mencaplok isi keranjang sampah, atau membakar jari-jarinya sendiri
dengan menggunakan korek api di tangan, atau menarik-narik ekor kucing.
Celakanya, anak seumuran itu nyaris tidak pernah duduk. Mengikutinya ke
mana-mana dalam waktu seminggu, saya pikir sama dengan kita menempuh jarak
Jakarta–Cirebon.
Tetapi, barangkali
kita semua seperti itu, selalu memiliki watak bocah usia dua tahun dalam diri
kita. Dan, seperti anak-anak yang tidak bisa mengatur diri sendiri, orang-orang
dewasa juga perlu terus diawasi. Bahkan, orang-orang yang berpuasa pun tidak
bisa dibiarkan tanpa pengawasan. Jika kita lengah mengawasi, mereka pasti
segera membatalkan puasa dan berpesta pora pada siang hari.
Karena itu, segala
godaan harus dienyahkan. Salah satu di antaranya, warung-warung makan tidak
boleh berjualan sejak imsak hingga sore hari dan baru boleh buka menjelang
waktu berbuka.
Pemerintah Daerah
Serang mengeluarkan kebijakan itu. Ada warung makan yang membandel dan warung
itu digerebek. Kejadian itu dialami Bu Saeni, pemilik warung makan di Kota
Serang, yang tetap berjualan pada siang hari. Pasukan satpol PP datang
kepadanya sebagai rombongan penghukum dan merampas semua makanan di warung
itu. ’’Sebagai efek jera bagi warung nasi,’’ kata salah seorang petugas yang
diwawancarai wartawan.
Rezeki pemilik warung membaik karena
kejadian itu. Orang-orang tersentuh atas nasib sial Bu Saeni. Mereka
menggalang dana untuk diserahkan kepada dia. Jumlah yang terkumpul, kabarnya,
lebih dari Rp 200 juta. Dalam tayangan televisi, saya melihat Bu Saeni
menangis menerima sumbangan dari masyarakat. Dia mengakui seumur hidup tidak
pernah memegang uang sebanyak itu.
Apa yang dilakukan
petugas satpol PP tidak bisa disalahkan. Mereka menjalankan peraturan. Dan,
Bu Saeni memang melanggar peraturan; ia berjualan pada siang hari, sementara
peraturan daerah yang dikeluarkan Pemda Serang menyebutkan bahwa
warung-warung makan baru boleh dibuka setelah pukul empat sore.
Masalahnya, apa yang
mendorong pemerintah daerah menerbitkan peraturan seperti itu?
Saya yakin peraturan
seperti itu muncul karena Pemda Serang menganggap bahwa mereka yang berpuasa
adalah orang-orang lemah yang tidak tahan terhadap godaan sekecil apa pun.
Mereka tidak boleh dibiarkan melihat makanan tersaji di atas meja makan,
tidak boleh dibiarkan lewat di depan warung makan yang tetap buka pada siang
hari, tidak boleh dibiarkan melihat orang makan dan minum sebelum tiba azan
magrib.
Pendeknya, seperti
anak dua tahun yang harus selalu diawasi, mereka belum mampu mengendalikan
diri sendiri dan akan memesan makanan tiga porsi sekaligus begitu melihat ada
warung makan buka pada siang hari.
Saya tidak berharap
Pemda Serang atau pemda-pemda lain yang mengeluarkan peraturan serupa
berkeyakinan seperti itu. Jika pemda-pemda itu lebih dewasa, mereka akan
mampu menyadari bahwa puasa, sebagaimana ibadah-ibadah yang lain, adalah
sesuatu yang bersifat personal. Para pelaku ibadah puasa tentu saja bukan
kanak-kanak di bawah usia lima tahun yang selalu harus dilindungi dari segala
hal yang mengancam keselamatan mereka.
Anak-anak dua tahun
mungkin akan mengulum kerikil atau melakukan segala sesuatu yang membuat kita
khawatir jika sebentar saja kita lalai mengawasi mereka. Namun, orang-orang
dewasa yang berpuasa tahu bahwa mereka harus menahan diri dan sanggup
melakukannya. Mereka tahu bahwa pada siang hari tidak boleh makan dan minum,
bahkan tidak boleh melakukan hal-hal seremeh apa pun yang membatalkan puasa
mereka. Tanpa pengetahuan dan kesanggupan itu, mereka niscaya memutuskan
tidak berpuasa.
Para pemilik warung
juga tahu kapan mereka akan membuka warungnya di sepanjang bulan puasa.
Mereka menyadari bahwa warungnya akan lebih sepi pada siang hari dan baru
penuh nanti pada petang hari saat orang-orang berbuka. Sejumlah warung
mungkin tetap buka seperti biasa, bukan untuk mengganggu orang yang berpuasa,
tetapi karena mereka memang harus berjualan.
Itu urusan simpel yang
sudah kita jalani dari generasi ke generasi. Tetapi, sekarang kita mungkin
cenderung suka memperumit diri.
Kemungkinan lain,
perda-perda semacam itu muncul bukan untuk kepentingan publik, melainkan
untuk kepentingan politik para pembuatnya. Mereka ingin dianggap sebagai
kepala daerah yang taat beragama, kepala daerah yang membela kepentingan mayoritas,
kepala daerah yang mengerti kebutuhan orang-orang yang berpuasa.
Agama, kita tahu,
selalu menjadi alat politik yang ampuh serta murah untuk mendapatkan simpati
publik dan meraih dukungan. Dengan agama, orang bisa dengan mudah membuat
pernyataan politik yang mengatasnamakan kepentingan ’’kita’’ dan
menakut-nakuti orang tentang adanya berbagai ancaman terhadap ’’kita’’ yang
sedang dilakukan oleh ’’mereka’’.
Politisasi agama akan
menjadi berlebihan ketika kecenderungan-kecenderungan puritan menguat di
masyarakat semakin kuat. Saya agak khawatir dengan gejala semacam itu karena
ingatan tentang masyarakat puritan dalam novel Nathaniel Hawthorne berjudul
Scarlet Letter.
Itu novel yang
memperhadapkan sebuah masyarakat abad ke-17 yang stagnan dengan satu pribadi
yang tumbuh dan berkembang melalui kesalahan (dosa) yang ia lakukan. Dalam
tradisi Judeo-Christian, dosa dan pengetahuan tidak ubahnya dengan dua
permukaan sekeping mata uang yang sama. Adam dan Hawa melakukan dosa memakan
buah terlarang dan tindakan itu membuat mereka memahami kemanusiaan mereka
dan menyadari bahwa mereka bukan bagian dari para penghuni langit. Mereka
adalah penghuni bumi, tempat bagi kesalahan dan ketidaksempurnaan, tempat di
mana lumpur (manusia) bisa memperbaiki kualitas dan menjadikan dirinya
cahaya.
Masyarakat puritan
dalam Scarlet Letter digambarkan sebagai sekumpulan orang yang suka
mencemooh, suka menghukum, dan tidak toleran terhadap dosa yang dilakukan
orang lain. Ia tipikal masyarakat yang sulit menerima perubahan dan membuat
kita tidak berani berbuat apa pun karena dihantui perasaan takut keliru. Ia
adalah sekumpulan orang ’’suci” yang siap mengadili orang lain yang dianggap
berdosa atau siapa pun yang tidak sama dengan mereka.
Hawthorne mengangkat
kasus yang sangat berat dalam novelnya: perzinaan –sebuah dosa besar yang
menurut Alkitab harus diganjar hukuman mati. ’’Bila seorang laki-laki berzina
dengan istri orang lain, yakni berzina dengan istri sesamanya manusia,
pastilah keduanya dihukum mati, baik laki-laki maupun perempuan yang berzina
itu.’’ (Imamat 20:10)
Hester Prynne, tokoh
utama dalam novel itu (di film dengan judul yang sama ia diperankan oleh Demi
Moore), adalah perempuan Inggris yang baru datang di Boston dan hidup di
tengah-tengah masyarakat puritan. Suaminya yang berangkat belakangan tidak
pernah tiba setelah dua tahun. Belakangan ada kabar lelaki itu sudah
meninggal dan ternyata lelaki itu masih hidup.
Prynne dalam novel itu
mewakili jiwa yang memberontak terhadap kebekuan. Ketika mendapat kabar suaminya
meninggal, ia terlibat skandal dengan pastor dan beberapa waktu kemudian
melahirkan bayi. Orang-orang tahu ia telah berzina karena suaminya tak ada.
Di panggung hukuman,
ia berdiri dengan kain dibubuhi huruf A berwarna merah terang di dadanya. Orang-orang
mencemoohnya dan memaksanya membuka siapa lelaki yang telah berzina
dengannya. Hester tak pernah mengungkapkan siapa lelaki itu. Ia teguh
menghadapi tekanan masyarakat sendirian. Ia tidak lari ke daerah lain untuk
menghindari tekanan.
Huruf A di dada Hester
merupakan singkatan dari Adultery, perzinaan. Bagi masyarakat, itu simbol
bahwa ia telah melakukan dosa besar dan harus disingkirkan. Bagi Hester,
huruf tersebut menjadi pengingat bahwa ia telah melakukan dosa dan harus
menebusnya dengan tindakan-tindakannya di kemudian hari. Ia tidak mau
melepaskan huruf itu dari dadanya, bahkan ketika ada peluang untuk
melepaskannya.
Dosa membuat Hester
memperbaiki diri dan tumbuh menjadi manusia yang melakukan kebaikan-kebaikan
bagi orang-orang sekitarnya. Masyarakat yang puritan menghendaki semua orang
harus diawasi, seperti kanak-kanak usia dua tahun. Hester memberontak dan ia
membuktikan diri bahwa sebongkah lumpur bisa berubah menjadi cahaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar