Pesan Damai Al-Azhar dan Vatikan
Zuhairi Misrawi ;
Alumnus Universitas Al-Azhar,
Kairo;
Ketua Moderate Muslim Society
|
KOMPAS, 04 Mei 2016
Kunjungan Imam Besar
Al-Azhar Kairo Syekh Ahmed Tayeb ke Vatikan, (24/5), jadi perhatian dunia.
Paus Fransiskus Asisi menyebut pertemuan tersebut membawa pesan penting bagi
umat agama-agama di dunia agar senantiasa menjadi perdamaian dan
koeksistensi.
Sejak lama Al-Azhar dan Vatikan sudah
mempunyai program dialog antaragama yang ditandai dengan kunjungan Paus
Paulus Yohanes II ke Al-Azhar pada tahun 2000. Sebagai dua institusi
keagamaan terbesar di dunia, khususnya bagi umat Islam dan Katolik, Al-Azhar
dan Vatikan mempunyai misi mulia untuk menjadikan umat manusia semakin
bahagia di muka bumi.
Pertemuan
bersejarah
Bagi Syekh Ahmed Tayeb, kunjungannya ke
Vatikan merupakan kunjungan bersejarah karena ia merupakan Imam Besar
Al-Azhar pertama yang berkunjung ke Vatikan setelah kunjungan Paus Paulus
Johanes II ke Al-Azhar pada 2000. Kunjungan Syekh Ahmed Tayeb kali ini dalam
rangka memenuhi undangan Paus Fransiskus Asisi. Kedua sosok berpengaruh di
dunia itu sepakat menggelar konferensi internasional tentang perdamaian dan
dialog antaragama.
Pertemuan bersejarah antara Syekh Ahmed
Tayeb dan Paus Fransiskus Asisi punya tiga makna penting. Pertama, sebagai
antitesa terhadap pihak-pihak yang selama ini mengatasnamakan agama sebagai
sumber dan sumbu diskriminasi.
Komentar Donald Trump, kandidat presiden AS
dari Partai Republik yang akan melarang umat Islam masuk ke AS merupakan
sebuah kemunduran bagi hubungan antaragama dan demokrasi. Trump menggunakan
isu islamofobia untuk meraup dukungan politik kalangan konservatif.
Pemandangan ini dijawab langsung Syekh
Ahmed Tayeb dan Paus Fransiskus Asisi, bahwa siapa pun-khususnya Donald
Trump-tidak pada tempatnya menjadikan agama sebagai komoditas politik.
Agama-agama pada dasarnya mengajarkan kedamaian, dan karena itu setiap
pemimpin politik harus menjaga harmoni di antara pemeluk agama. Bukan
sebaliknya, justru memperkeruh suasana dengan memupuk diskriminasi terhadap
kelompok minoritas.
Kedua, pertemuan tersebut merupakan pesan
bagi kelompok teroris yang kerap mengeksploitasi isu konflik antara agama
untuk menjustifikasi aksi mereka. Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sering
menggunakan narasi "perang melawan kaum Salibis".
Para teroris selalu mendakwahkan aksi
mereka sebagai perang melawan umat Kristiani. Karena itu, pertemuan Imam
Besar Al-Azhar dan Paus Fransiskus Asisi membawa pesan bahwa agama bisa
membangun dialog dan mendorong perdamaian. Narasi para teroris sama sekali
tidak dibenarkan karena dalam sejarah agama-agama terbukti setiap agama dapat
berangkulan, hidup berdampingan secara damai, dan menjadi inspirasi untuk
menjaga harmoni di tengah-tengah masyarakat.
Begitu pula menguatnya kelompok ekstrem
kanan di Eropa yang kerap membawa isu anti imigran dari Timur Tengah bisa
menjadi isu liar yang dapat membangkitkan kembali sentimen islamofobia.
Peran Al-Azhar dan Vatikan sangat strategis
untuk memberikan pencerahan: bahwa agama-agama dapat saling bahu-membahu
untuk mewujudkan peradaban dunia yang adil dan damai. Bahkan, sikap Paus
Fransiskus Asisi membawa beberapa pengungsi Suriah ke Vatikan memberikan
bukti bahwa agama-agama mesti hadir untuk membela mereka yang tertindas.
Masalah pengungsi korban konflik politik di Timur Tengah merupakan kepedulian
bersama, dan semua umat agama-agama harus memberikan perhatian penuh terhadap
para pengungsi tersebut.
Ketiga, pertemuan tersebut dapat menjadi
harapan baru bagi umat Islam agar terus menonjolkan wajah Islam moderat, yang
di dalamnya menyimpan pesan luhur toleransi dan perdamaian. Dalam beberapa
tahun terakhir, Al-Azhar sangat aktif dalam menyebarluaskan paham Islam
moderat ke seantero dunia. Syekh Ahmed Tayeb merangkul para ulama dari
berbagai penjuru dunia, baik Timur dan Barat, termasuk Quraish Shihab sebagai
perwakilan dari negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia. Ia membentuk
Dewan Kaum Muslim Bijak (Majlim Hukama al-Muslimin).
Al-Azhar sadar bahwa begitu banyak ulama
atau cerdik cendekia di dunia Islam, tetapi sedikit kaum bijak. Maka, yang
diperlukan dunia Islam tidak hanya para ulama, tetapi juga dibutuhkan kaum
bijak yang membimbing umat dengan keteladanan, bukan melahirkan fatwa-fatwa
ekstrem yang dapat merangsang kekerasan dan diskriminasi.
Dialog
antaragama
Langkah Al-Azhar membangun kerja sama
dialog antaragama dengan Vatikan merupakan langkah besar mengabarkan kepada
dunia bahwa jalan menuju perdamaian dunia akan selalu terbuka. Jika para
politisi kerap menjadikan agama sebagai komoditas politik yang cenderung
memecah-belah relasi antaragama, para agamawan yang diwakili Al-Azhar dan
Vatikan memberikan pencerahan bahwa agama-agama harus selalu hadir untuk
membawa pesan damai dan kasih sayang.
Para ulama dan tokoh agama di negeri ini
harus meneladani dan menindaklanjuti langkah besar yang dilakukan Al-Azhar
dan Vatikan. Lebih-lebih wacana dialog antaragama di negeri ini sudah
menggema sejak 1990-an yang diprakarsai KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur,
Johan Effendi, Romo Mangunwijaya, dan tokoh lintas agama lainnya.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir wacana
dialog antaragama mengalami kemandekan. Bahkan, jika dibandingkan dengan
pengalaman dialog antaragama di masa lalu, justru dialog antaragama tidak
terdengar lagi. Padahal, tantangan yang dihadapi saat ini jauh lebih besar
karena mereka yang mempunyai ideologi "benturan antaragama" lebih
nyaring suaranya, terutama melalui media sosial.
Beberapa kasus yang disinyalir sebagai
konflik antaragama, seperti di Aceh Singkil, Tolikara, dan beberapa daerah
lainnya membutuhkan sebuah dialog antaragama yang terus-menerus. Dialog
antaragama yang melibatkan para tokoh agama, pun juga dialog antaragama yang
juga melibatkan warga. Dialog diharapkan dapat menemukan titik-temu, serta
membangkitkan kesadaran bahwa perbedaan dan keragaman merupakan sebuah
keniscayaan.
Kita mempunyai Pancasila dan nilai-nilai
luhur yang terkandung dalam setiap agama yang dapat dijadikan sebagai modal
penting untuk menggemakan kembali dialog antaragama, sebagaimana dilakukan
Al-Azhar dan Vatikan. Bahkan, jika memungkinkan, kita bisa terlibat langsung
dalam inisiatif dialog antaragama yang telah dilakukan Vatikan dan Al-Azhar.
Dengan demikian, keberagamaan kita akan
mempunyai pengaruh yang lebih luas dalam konteks global. NU, Muhammadiyah,
dan beberapa organisasi keagamaan lainnya sejatinya dapat membangun aliansi
strategis dengan institusi keagamaan yang mempunyai pengaruh luas, seperti
Al-Azhar dan Vatikan. Gerakan ini akan mempunyai dampak yang luas tidak hanya
di dalam negeri dalam rangka memperkuat solidaritas kebangsaan, tetapi juga
akan memperluas pengaruhnya bagi solidaritas kemanusiaan pada tataran global.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar