Menguak Mitos Segitiga Masalembo
dalam Perspektif Oseanografi
Adi Purwandana ;
Peneliti Pusat Penelitian
Oseanografi LIPI; Mahasiswa Doktoral
di Sorbonne Universite Pierre et Marie Curie (UPMC), Paris, Prancis
|
MEDIA INDONESIA,
03 Juni 2016
JIKA
dunia mengenal Segitiga Bermuda di perairan Atlantik sebelah timur Benua
Amerika dan Segitiga Formosa di kawasan Asia Tenggara, di dalam perairan
Indonesia, kita mengenal kawasan perairan Segitiga Masalembo yang berkembang
mitos sebagai kawasan perairan yang rawan bagi perjalanan laut dan udara.
Fenomena buruk di atmosfer
Perairan
laut dangkal dan perairan laut dalam memberikan respons yang berbeda terhadap
penyinaran sinar matahari. Laut Jawa, yakni perairan di sebelah barat
Kepulauan Masalembo, merupakan perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata
kurang dari 50 meter. Sementara itu, perairan di sebelah timurnya merupakan
perairan laut dalam dengan kedalaman lebih dari 500 meter, yakni Laut Flores.
Di
perairan laut dangkal, intensitas penyinaran matahari akan memungkinkan
pemanasan kolom air yang lebih cepat jika dibandingkan dengan perairan laut
dalam akibat intensitas matahari yang mencapai dasar perairan sehingga suhu
perairan akan relatif lebih hangat. Dampak lebih lanjut ialah laju penguapan
dan potensi terbentuknya awan di perairan laut dangkal akan lebih intensif
jika dibandingkan dengan di perairan laut dalam.
Menghangatnya
perairan yang diikuti dengan menghangatnya lapisan atmosfer di atasnya dan
diikuti meningkatnya tutupan awan sebagai dampak penguapan pada akhirnya akan
menghasilkan tekanan udara yang lebih rendah jika dibandingkan dengan di atas
perairan laut dalam yang lebih tinggi. Perbedaan tekanan udara yang secara
tiba-tiba itulah yang menghasilkan fenomena turbulensi ketika pesawat udara
melintasinya.
Batas
pertemuan keduanya di wilayah Indonesia ialah di perairan Masalembo. Tingkat
kefatalannya, yakni seberapa besar turbulensi yang bisa terbentuk, sangat
ditentukan dengan pola pembentukan awan di wilayah ini. Pada musim barat,
yakni pada Desember, Januari, Februari, Maret, yang dikenal sebagai musim
hujan, pembentukan awan hujan akan lebih intensif di wilayah Indonesia bagian
barat.
Selain
turbulensi akibat perbedaan tekanan udara karena tutupan awan, potensi
turbulensi juga dapat terjadi akibat perubahan besar dan arah kecepatan angin
yang jamak terjadi saat memasuki musim peralihan, baik dari musim barat ke
musim timur (April-Mei) maupun dari musim timur ke musim barat (Oktober-November).
Perpaduan antara kedua fenomena yang dipicu pengaruh angin musim inilah yang
menjadikan perairan Masalembo unik dan berpotensi mengurangi kenyamanan
penerbangan.
Fenomena buruk bawah air
Perairan
Indonesia merupakan penghubung Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia, yang
mengalirkan massa air dari Pasifik menuju Hindia (Arus lintas Indonesia,
Arlindo), akibat lebih tingginya muka laut Samudra Pasifik jika dibandingkan
dengan ketinggian muka laut Samudra Hindia. Di samping melalui Selat Makassar,
Arlindo juga mengalir melalui perairan laut dangkal, Laut Jawa, yang dibawa
dari Laut China Selatan.
Kedua
arus ini selanjutnya bertemu di wilayah Segitiga Masalembo sehingga
menimbulkan pengacakan arus dan turbulensi yang diduga tidak hanya
menghasilkan pusaran/eddy secara horizontal, tapi juga secara vertikal.
Dampaknya, hal itu akan mengurangi kenyamanan moda transportasi laut,
terutama untuk kapal-kapal bertonase kecil. Pada musim barat, arus dari Laut
Jawa akan menguat sehingga diperkirakan intensitas turbulensi di wilayah itu
juga akan lebih intensif. Gambar: Pengukuran arus laut oleh Kapal Riset
Baruna Jaya VIII Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI pada 2014 berhasil
membuktikan perubahan arah/pengacakan pola arus lapisan atas saat memasuki
perairan Masalembo.
Surga di Perairan
Masalembo
Di
balik ‘garangnya’ wilayah perairan Masalembo, sejatinya perairan itu
menyimpan potensi kekayaan laut yang luar biasa sebagai perairan tersubur di
Indonesia, yaitu kaya akan perikanan tangkap. Dua fenomena oseanografi fisika
yang terjadi di perairan Masalembo yang mendukung hal itu adalah upwelling
dan turbulensi (pergolakan) vertikal-horizontal.
Upwelling
adalah proses penaikan massa air dari lapisan bawah menuju lapisan atas,
yaitu tempat ikan-ikan pelagis berada. Proses itu terjadi akibat embusan
angin musim timur yang memasuki puncaknya pada Juni, Juli, dan Agustus.
Di
dekat pesisir Pantai Makassar, embusan angin itu akan mengakibatkan
perpindahan massa air lapisan atas di dekat pesisir Makassar untuk bergerak
menuju laut lepas, yang diikuti dengan naiknya lapisan air lapisan bawah yang
menggantikannya. Sifat massa air lapisan bawah yang naik ke permukaan ini
lebih dingin dan memiliki kandungan nutrien yang tinggi.
Dampaknya,
lapisan air bagian atas akan menjadi subur karena pasokan nutrien itu.
Nutrien sangat penting bagi pertumbuhan fitoplankton (tumbuhan renik laut).
Melimpahnya fitoplankton akan diikuti dengan melimpahnya zooplankton (hewan
renik seperti larva udang) yang memangsanya. Zooplankton inilah yang
selanjutnya dimangsa ikan-ikan bernilai ekonomis. Arus Laut Jawa dan Arlindo
selanjutnya menjadikan proses upwelling yang pada awalnya hanya di selatan
Makassar meluas hingga mendekati Pulau Flores.
Fenomena
kedua yang menunjang suburnya perairan Masalembo ialah fenomena turbulensi
vertikal. Fenomena ini berpotensi terjadi di dua titik di Segitiga Masalembo,
yakni di sebelah utara Pulau Kangean dan di sebelah barat Ujungpandang
(Ambang Dewakang). Di sebelah utara Pulau Kangean, perubahan kedalaman laut
yang drastis berakibat pada bervariasinya struktur vertikal arus laut.
Dampaknya,
terbentuklah turbulensi vertikal yang selanjutnya terjadi pengadukan dan
pengangkatan lapisan dekat dasar perairan yang kaya akan nutrien, yang
berpotensi meningkatkan produksi perikanan tangkap. Di ambang Dewakang,
tersandungnya Arlindo oleh ambang (tonjolan bukit bawah laut) juga
menghasilkan turbulensi vertikal yang berdampak pada penyuburan massa air
lapisan atas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar