Membumikan Pancasila
Muhammad Farid ;
Fellow pada Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas) RI
|
MEDIA INDONESIA,
02 Juni 2016
BEBERAPA
waktu belakangan ini, masyarakat kembali diramaikan kontroversi seputar perlu
tidaknya pemerintah meminta maaf atas pembersihan terhadap anggota Partai
Komunis Indonesia (PKI) ataupun simpatisan mereka yang terutama terjadi pada
1965-1966. Kontroversi ini menyeruak di tengah gencarnya kabar mengenai
munculnya berbagai atribut berlambang palu arit yang selama ini dikenal
sebagai simbol ajaran komunis maupun partai-partai komunis di berbagai
belahan dunia.
Hingga
kini Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Tap MPRS No XXV Tahun 1966
tentang Pembubaran PKI, PKI sebagai organisasi terlarang, serta larangan
menyebarkan paham komunis dan marxisme-leninisme belum dicabut; inilah yang
menjadi dasar dilakukannya pelarangan sesuatu hal yang berbau komunis atau
penyebaran ajaran komunis, mulai penyebaran atribut, buku, hingga pemutaran
film pada saat ini. Kontroversi ini akhirnya bermuara pada peringatan kembali
akan bahaya laten PKI dan komunisme yang mengancam eksistensi Pancasila
sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia.
Situasi
ini terjadi di tengah maraknya pula adanya ancaman dan tantangan terhadap
Pancasila yang datang dari kelompok yang mengklaim mengusung ajaran agama
tertentu secara radikal. Masih segar dalam ingatan kita akhir-akhir ini akan
serangan teroris yang diklaim dilakukan jaringan IS (Negara Islam di Irak dan
Suriah) di Jakarta pada Januari 2016. Kasus ini terjadi di saat maraknya isu
transnasionalime yang hendak menjadikan Indonesia sebagai bagian dari sistem
pemerintahan khilafah Islam, maupun berkembangnya isu tindakan intoleran yang
dilakukan sekelompok masyarakat terhadap golongan-golongan lainnya.
Tantangan ideology
Selain
dari komunisme dan radikalisme yang mengatasnamakan agama, berbagai kalangan
kerap menyebut pemikiran beraliran liberal sebagai ancaman atau tantangan
terhadap Pancasila. Pada konteks ini, liberalisme secara garis besar dapat
diartikan sebagai ideologi, pemikiran, atau pandangan terhadap tata
kemasyarakatan, sosial budaya, politik, dan ekonomi yang mengusung kebebasan
bagi para individu sebagai nilai yang utama. Dengan kata lain, liberalisme
secara umum menginginkan terjaminnya kemerdekaan individu karena masyarakat
sendiri terbentuk atas individu-individu.
Pada
tataran praksis, tantangan terhadap Pancasila sebenarnya tidak terbatas hanya
dari ketiga hal itu. Dari dalam negeri sendiri, sentimen kedaerahan yang
bahkan pada beberapa kasus berujung pada aspirasi menuntut kemerdekaan masih
terdengar sesekali di beberapa bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Berbagai
ancaman terhadap Pancasila itu semakin diperkuat globalisasi, yang secara
umum dipahami sebagai memudarnya batas-batas geografis wilayah sebagai
pembatas aktivitas manusia yang dimungkinkan perkembangan teknologi informasi
yang sangat pesat. Dengan mudah, individu di Tanah Air dapat berinteraksi
dengan individu yang berada di belahan dunia lain pada saat itu juga (real time). Dengan demikian, arus
informasi mengenai suatu kejadian maupun pemikiran yang berkembang di belahan
dunia lain akan dengan mudah diperoleh masyarakat di Tanah Air dengan bebas,
salah satunya melalui internet.
Secara
umum, jenis-jenis pemikiran, pandangan, dan ideologi yang menjadi ancaman
terhadap Pancasila sangat mudah untuk diidentifikasi. Demikian pula pertentangannya
dengan Pancasila. Sebagai contoh, marxisme yang menjadi sumber dari komunisme
menganggap agama sebagai candu bagi masyarakat, yang bertentangan dengan sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih jauh, kediktatoran proletar yang
diusung komunisme jelas bertentangan dengan sila keempat 'Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan'.
Sementara itu, radikalisme yang mengatasnamakan agama jelas bertentangan
dengan sila pertama, sila keempat, maupun sila ketiga, yaitu 'Persatuan
Indonesia'.
Akan
tetapi, di mana sebenarnya tantangan atau ancaman terhadap Pancasila
bersemayam? Jawaban pertanyaan itu tentu dapat beragam dan dapat ditelaah
dari berbagai sudut. Namun, barangkali jawaban pertanyaan itu dapat
ditelusuri dari sejauh mana Pancasila sudah diimplementasikan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Butir Pancasila
Pada
konteks ini, implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dapat ditelusuri dengan membandingkan butir-butir yang ada pada
Pancasila dengan kondisi nyata yang ada pada bangsa Indonesia pada saat ini.
Sebagai
contoh, butir pertama sila ketiga Pancasila mengamanatkan 'Menempatkan
kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau golongan'. Pada kenyataannya, butir ini belum
diamalkan dengan baik; salah satu buktinya ialah dengan masih mengguritanya
kasus korupsi yang dilakukan aparat pemerintah, anggota legislatif, serta
yudikatif selama ini. Selain itu, maraknya politik transaksional terutama
saat berlangsungnya pemilihan anggota legislatif maupun kepala daerah masih
menunjukkan bahwa kepentingan pribadi atau golongan masih diutamakan jauh di
atas kepentingan serta keselamatan bangsa dan negara.
Contoh
lain, butir ke-12 sila kelima mengamanatkan untuk 'Bersama-sama berusaha
mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial'. Namun, adalah hal
yang memilukan membaca pemberitaan yang mengatakan bahwa 1% orang terkaya di
Indonesia menguasai 50,3% kekayaan bangsa, sedangkan sisanya diperebutkan 99%
dari 247,5 juta jiwa penduduk Indonesia (Kompas, 16 Desember 2015).
Karena
keterbatasan ruang, contoh-contoh lain dari perbedaan antara nilai-nilai
Pancasila yang sejati dan implementasinya tidak dapat dielaborasi secara
menyeluruh dalam tulisan ini. Akan tetapi, contoh-contoh yang sudah
dijabarkan tersebut paling tidak menunjukkan bahwa Pancasila belum
diimplementasikan dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara saat ini.
Pada
tataran tertentu, hal itulah yang mendorong sebagian anggota masyarakat untuk
berpaling kepada ideologi atau pandangan alternatif yang menawarkan suatu
tatanan kehidupan ideal yang selama ini tidak pernah mereka lihat atau raih.
Membumikan
nilai-nilai dan ajaran Pancasila tentu saja ini menjadi tugas berbagai
komponen bangsa. Akan tetapi, budaya masyarakat Indonesia yang pada tataran
tertentu masih paternalistik membutuhkan keteladanan para elite bangsa ini
dalam mengimplementasikan Pancasila. Sejauh mana para elite bangsa ini
bersikap adil serta tidak bergaya hidup mewah (butir kedua dan kedelapan sila
kelima); atau sejauh mana para elite bangsa dapat menjadi teladan dalam
menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan
negara di atas kepentingan pribadi atau golongan (butir pertama sila ketiga)?
Sudah
saatnya bangsa Indonesia lebih mengutamakan mencari solusi untuk membumikan
nilai-nilai dan ajaran Pancasila daripada hanya menganalisis dan
memperdebatkan identifikasi jenis-jenis tantangan dan ancaman terhadap
Pancasila. Inilah misi ‘suci’ bangsa Indonesia saat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar